Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Permendikbud 49/2014 Pasal 1:14)

Sekolah Tinggi Teknologi Garut

Diselenggarakan mulai tahun 1991 dan bernaung di bawah Yayasan Al-Musaddadiyah. http://www.sttgarut.ac.id/

Program Studi Teknik Informatika

Berdiri pada tanggal 30 Juni 1998 dan terakreditasi B. http://informatika.sttgarut.ac.id/

Rinda Cahyana

Dosen PNS Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dpk Sekolah Tinggi Teknologi Garut sejak tahun 2005

Rabu, 27 Februari 2013

Pancasila Menolak Sekulerisme dan Mewajibkan Rakyat Indonesia Berorientasi Dunia dan Akhirat





Sukarno dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, "Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Maka atas dasar-dasar tersebut di atas, KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG, Menetapkan pembubaran Konstituante; Menetapkan Undangt-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-undang Dasar Sementara"

Disebutkan dalam buku Piagam Jakarta, KH Saifudin Zuhri, seorang tokoh utama NU dalam kedudukan sebagai Menteri Agama berkata, "Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959 maka hapuslah segala selisih dan sengketa mengenai kedudukan yang legal dari pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Piagam yang menjadi pengobar dan pembuka revolusi nasional kita itu tegas-tegas memiliki kedudukan dan peranan ketatanegaraan kita sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian kesatuan dengannya dengan sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata terhadapp setiap perundang2an negara dan kehidupan idiologi seluruh bangsa" Dengan kata "menjiwai" KH Saifudin Zuhri sudah mengambil pemahaman bahwa Piagam Jakarta mempunyai pengaruh yang nyata terhadapp setiap perundang2an negara dan kehidupan idiologi seluruh bangsa. Dan pengaruh itu tidak mungkin tanpa implementasi. 

Pancasila meletakan kekuasaan ditangan rakyat, di mana pemimpinnya dipilih melalui perwakilan rakyat, dan kedaulatannya di tangan Tuhan YME. Karenanya pemilihan langsung itu tidak sesuai dengan Pancasila, dan kedaulatan itu bukan ditangan rakyat tetapi di tangan Tuhan. Kenapa ditangan Tuhan? Karena sila kedua dan seterusnya harus sejalan atau berdasar sila pertama. Artinya, keputusan atau aturan yang dibuat oleh wakil rakyat harus berdasar Ketuhanan YME, yakni sejalan dan tidak menyalahi kehendak Tuhan YME. Terkait musyawarah yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan, jika dikaitkan dengan sila pertama, maka yang dimaksud hikmah kebijaksanaan itu syariat Tuhan YME bagi pemeluknya. Karenanya kehendak Tuhan YME disebut juga sebagai syariat agama-Nya. Jadi Pancasila ini dari sisi kedaulatan tidak sama dengan Demokrasi Barat.

Hikmat itu lebih ke arah ketinggian batin sementara kebijaksanaan itu lebih ke arah ketinggian fikir. Dan ketinggian batin ini berkaitan dengan Ketuhanan YME secara langsung. Sementara kebijaksaan itu karena disatukan dengan hikmat, maka kebijaksanaan atau penggunaan akal itu harus dinafasi atau dilandasi oleh spiritual. Dengan kata lain, produk wakil rakyat seharusnya berorientasi dunia dan akhirat karena dalam proses musyawarahnya menggunakan akal dan spiritual. Pada titik ini pintu sekuler ditutup rapat. Dengan mengamalkan sila keempat dengan benar, maka wakil-wakil rakyat adalah insan berketuhanan YME, yang mampu membawa negara dan bangsa ini sesuai dengan kehendak-Nya, sesuai dengan syariat agama-Nya. Untuk setiap ummat ada syariat agama masing-masing, maka untuk setiap pemeluk agama di Indonesia berlaku syariat agamanya masing-masing. Syariat itu diterapkan untuk menjawab persoalan bangsa, melalui musyawarah wakil rakyat. Jadi, jika ada wakil rakyat yang menolah hal berbau syariat seperti menolak UU Pornografi dst, mereka pada hakikatnya tidak ber-Pancasila.

Sila pertama mewajibkan keempat sila lainnya dilaksanakan dengan memperhatikan syariat agama masing-masing. Jadi kewajiban menjalankan syariat agama sekarang ini bukan hanya untuk muslim saja tapi juga non muslim. Karena negara kita berdasarkan Ketuhanan YME, di mana bukan sekedar percaya akan ada-Nya tetapi juga taat kepada syariat-Nya. Dan karenanya pula, kerakyatan dalam permusyawaratan dan perwakilan yang berasaskan Ketuhanan YME mewajibkan setiap wakil rakyat bermusyawarah menghasilkan sesuatu dengan dipandu atau yang sesuai dan tidak melanggar ajaran Tuhan YME. Produk perdundang-undangan harus diuji bukan hanya dengan UUD 45 tapi juga dengan ajaran Tuhan YME.


Jika pemikiran berbasis syariat ditolak wakil rakyat, jelas itu pelanggaran konstitusi di Indonesia. Wakil rakyat yang melecehkan ide berbasis syariat sama halnya dengan melecehkan Pancasila itu sendiri. Yang jelas, sama dengan negeri Madinah, syariat Islam di Indonesia tidak boleh diterapkan dengan cara kekerasan tetapi melalui dialog. Syariat Islam sebagai solusi akan diterima kelompok manapun yang "berakal". Pancasila telah meletakan Ketuhanan YME, menjelaskan kepercayaan bangsa Indonesia kepada Tuhan dan syariat agama-Nya. Masalahnya, Pancasila ini pengamalannya sering diganggu atau dibajak kelompok sekuler dan kelompok pembebasan.

Pengambilan hukum itu dilakukan di dalam kelompoknya masing-masing, dan hasil akhirnya dimusyawarahkan dengan kelompok agama lain di dalam lembaga perwakilan rakyat. Tidak ada pentingnya kelompok agama lain mendengar bagaimana hukum itu dibuat oleh kelompok muslim dengan pendekatan agamanya. Saat semuanya berkumpul, maka bahasa yang dikedepankan adalah bahasa "rahmat", bahasa universal. Tidak perlu menunjukan dalil naqli pentingnya perbankan syariat bagi bangsa ini kepada kelompok non muslim, tetapi cukup dalil aqli nya saja. Jika suatu syariat Islam memiliki tujuan yang sama dengan syariat agama lainnya, tidak mustahil akan dicapai kesepakatan akan sesuatu yang bersumber dari syariat Islam. Yang jadi persoalan, banyak wakil rakyat kita yang tidak mendasarikan akalnya kepada hikmat, kepada syariat agamanya.

Jika muncul perbedaan pandangan tentang hukum antara dua kelompok wakil rakyat berdasarkan syariat agamanya masing-masing, seperti misalnya kelompok kristen mengusung monogami dan muslim membolehkan poligami, maka keputusan akhirnya sudah cukup terang, bukan memaksakan salah satunya tetapi memberlakukan hukum-hukum tersebut secara khusus pada pemeluknya. Namun jika dua hukum agama melarang riba, maka UU anti riba wajib diberlakukan kepada rakyat Indonesia yang agamanya mengharamkan riba. Jika syariat agama ini tidak dibawa dalam pembuatan UU di negeri ini, maka terjadi penghilangan kata hikmat dari frasa "hikmat kebijaksaan" dan juga penghilangan kalimat "ketuhanan YME". Hal ini sama dengan mengingkari atau mengebiri Pancasila, menghianati founding father.