Generasi Muslim al-Muhajirin (GMA) merupakan organisasi masyarakat yang dibangun oleh para pemuda di lingkungan tempat tinggal saya sewaktu di Subang. Organisasi berbasis keagamaan ini diprakarsai berdirinya oleh Yudho Hertono Rifangi yang kemudian menjadi ketua umumnya yang pertama. Saya termasuk angkatan ke-3 dan bergabung sewaktu duduk di kelas 3 SMP pada masa-masa kejenuhan saya dengan lingkungan kepanduan yang saat itu didominasi oleh isme senioritas.
GMA merupakan awal perjalanan saya dalam kegiatan organisasi masjid. Langkah kaki pertama dimulai sewaktu saya berdialog dengan mas Yudho di masjid al-Muhajirin tentang kepemimpinan islami dalam perspektif beliau. Namun yang membuat saya terlempar masuk ke dalam organisasi ini adalah sebuah buku yang dipinjam dari mas Yudho karangan Imam al-Ghazali yang berjudul Minhajul Abidien. Buku ini menawarkan dunia lain yang lebih terang dibandingkan kegelapan suasana jenuh kegiatan kepanduan di SMP.
Hal unik yang ditemukan pada organisasi ini adalah kemampuannya dalam menerapkan kultur islami melalui dialog dari hati ke hati. Sebagian besar pengurus akhwat yang awalnya kebanyakan tidak berjilbab, lambat laun kemudian dapat berjilbab karena keberhasilan dialog. Namun hal terpenting yang membuat organisasi ini berhasil adalah kratifitas para personilnya. Banyak kegiatan berorientasi dakwah yang kreatif dan di kalangan aktifiis masjid Subang saat itu dianggap baru. Seperi misalnya yang dianggap berhasil adalah kegiatan dakwah dengan teater yang digerakan oleh aktivis seni yang kebetulan bergabung di GMA, pesantren alam sebagai formulasi antara implementasi pramuka yang dilakukan oleh aktivis pramuka yang kebetulan menjadi pengrus GMA dengan kegiatan dakwah, dan tadabur alam yang merupakan kegiatan silaturahmi di alam terbuka.
Kreatifitas tersebut menjadi daya tarik yang kuat dan opportunity bagi GMA, bahkan menyebabkan GMA pada suatu masa menjadi referensi kegiatan masjid di Subang. Beberapa sekolah setingkat SMP dan SMA seringkali bekerja sama menyelenggarakan kegiatan teater dan pesantren ramadhan.
Satu hal yang saya anggap fenomenal adalah saat GMA menyelenggarakan pesantren ramadhan di Masjid Agung Subang. Malam itu, gabungan antara tradisi jurit malam pramuka, teater, dan dakwah dihadirkan di lorong menara masjid. Peserta pesantren berjalan dari titik tengah menara ke lantai dasar, dan lorong menara masjid pada malam itu bersuara, dipenuhi energi muhasabah.
Perkembangan oganisasi GMA juga baik. Pengembangan GMA menjadi sistem lembaga membuat GMA lebih berkembang karena bidang-bidang tertentu digarap secara khusus oleh lembaga. Hasilnya, sejumlah kegiatan yang menguntungkan kepentingan rekrutment dan dakwah organisasi hadir dengan rating market luar biasa. Bahkan beberapa diantaranya menjadi bidang bisnis yang menguntungkan, seperti tour & travel. Semua lembaga dikelola kualitas informasi dan proses bisnisnya oleh lembaga yang saya pimpin, yakni Badan Pelaksana Harian.
Khusus untuk penjaminan kualitas dan kelengkapan organisasi, digunakan sebuah framework. Sejujurnya framework tersebut merupakan sebuah gambar yang tidak sengaja tapi kemudian dapat diterjemahkan menjadi kelengkapan dan aturan organisasi. Melalui framework tersebut tergambar relasi antar unsur organisasi, aturan relasi, media koordinasi yang terkategori, dan lain sebagainya. Berbagai aturan pelengkap diadopsi dari sistem pemerintahan Islam, seperti Pakistan misalnya. Sementara sistem administrasi BPH dibangun mengikuti sistem adminsitrasi Indonesia.
Sketsa Logo BPH
Saat pesantren alam rutin digelar, kelompok pengamanan yang disebut Satuan Jihad dibentuk untuk mengamankan. Penggunaan istilah Jihad dan slogan Takbir di GMA sebenarnya tidak untuk membangkitkan semangat militan para anggotanya tetapi untuk menguatkan semangat dalam menyukseskan kegiatan dakwah semata. Terminologi perang yang selalu dikaitkan dengan istilah Jihad sangat jauh dalam pembicaraan di antara anggota ataupun pengurus. Walau demikian, saya merasa yakin dengan seringnya GMA menyelenggarakan kegiatan masa pada malam hari saat itu, dan sering dikumandangkannya Takbir dan salam Jihad, GMA pernah menjadi daftar pengawasan dari pihak Kepolisian.
Sketsa Logo Laskar
Masalah muncul di GMA begitu sejumlah anggota GMA mulai mencapai pemahaman yang mendalam seputar fiqh dan bahkan cenderung fanatik. Sementara GMA tetap bertahan pada status quo untuk tidak menerapkan sistem fanatis dalam aturan dan kultur organisasi. BPH melalui laporan pertanggung jawabannya telah menyarankan agar dibentuk dua wilayah yang dikelola oleh lembaga Pendidikan dan Dakwah, di mana wilayah pertama untuk anggota yang fanatik dengan kegiatan khusus, dan wilayah kedua untuk anggota yang masih berjalan menuju pemahaman dengan kegiatan umumnya untuk menangani masalah tersebut. Tapi karena gejolak begitu besar dan mulai ada perbedaan pendapat, semangat, dan cara berfikir sejumlah anggota dengan kepemimpinan organisasi, maka friksipun tidak dapat dihindarkan. Friksi ini berakhir dengan dibentuknya kepengurusan baru dengan pimpinan yang baru dengan harapan semoga saja sejumlah anggota yang tidak sefaham dengan kepemimpinan sebelumnya menjadi tenang.
Namun peralihan kepemimpinan dan perginya sebagian besar anggota untuk keperluan studi dan bekerja membuat GMA kehilangan api. Barangkali yang bertahan hingga kini adalah organisasi Ikatan Pelajar Muslim (IPM) yang kelahirannya dibidani oleh Lembaga Pendidikan dan Dakwah. Masjid al-Muhajirin sudah lama tidak diramaikan oleh aktivitas GMA lagi. Bahkan kegiatan IPM atau GMA mulai diselenggarakan ditempat lain, seperti masjid al-Amien dan lain sebagainya. Sangat disayangkan masjid besar dengan menara yang tinggi itu kini sepi kegiatan besar yang biasa diselenggarakan oleh para pemuda. Mudah-mudahan, masjid ini kembali ramai seperti semua.
Bersama istri di Masjid al-Muhajirin Subang