Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Permendikbud 49/2014 Pasal 1:14)

Sekolah Tinggi Teknologi Garut

Diselenggarakan mulai tahun 1991 dan bernaung di bawah Yayasan Al-Musaddadiyah. http://www.sttgarut.ac.id/

Program Studi Teknik Informatika

Berdiri pada tanggal 30 Juni 1998 dan terakreditasi B. http://informatika.sttgarut.ac.id/

Rinda Cahyana

Dosen PNS Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dpk Sekolah Tinggi Teknologi Garut sejak tahun 2005

Senin, 27 Agustus 2018

Temu Darat Pertama Saya di Munas Semarang


Forum Dosen Indonesia adalah perkumpulan dosen berbadan hukum yang digagas pendiriannya oleh sejumlah pegiat Facebook GDI (Grup Dosen Indonesia). Berdiri pada tanggal 24 Agustus 2013. Sebagai anggota komunitas maya GDI, saya menyediakan diri secara sukarela membantu organisasi ini dalam pekerjaan terkait TIK. Dalam rentang waktu dari tanggal 18 - 22 Januari 2014 saya membantu pembuatan logo dan situs web FDI. Didorong oleh totalitas kerelawanan, saya gratiskan semuanya untuk FDI, termasuk sewa hosting web nya. Saya memahami bahwa relawan tidak hanya bersedekah waktu dan keterampilan saja, tetapi juga uang. 

Pada awalnya logo FDI hanya lingkaran merah dengan teks FDI di tengahnya. Dalam perjalanan perancangan logo tersebut saya menawarkan penambahan tiga warna di sekeliling lingkaran merah tersebut yang mewakili Tridharma. Tidak lupa saya sampaikan makna relasi warna dengan Tridharma nya sebagai berikut : 1) Kuning / Emas : Pendidikan, mencetak generasi emas Indonesia, 2) Biru Langit : Penelitian, seperti langit tanpa batas yg dapat dicapai sebatas kekuatan manusia, 3) Hijau : Pengabdian masyarakat yang lebih bersifat kerelawanan, bekerja demi amal, 4) Merah dan putih : Indonesia. 


Tidak berhenti di logo dan situs web, saya juga ikut serta dalam diskusi perancangan terkait grafis lainnya, seperti rancangan bendera / panji FDI pada tanggal 13 April 2015 yang ternyata bermanfaat dan disetujui oleh pengurus pusat. Saya juga membantu mendaftarkan FDI ke Techsoup Asia sehingga FDI dapat memanfaatkan bantuan Google for Nonprofit. Semua itu saya lakukan semata karena kesadaran bahwa saya adalah relawan TIK. Tidak perlu temu darat untuk beramal sukarela, selama layanan relawa TIK bisa dilaksanakan secara online. 


Bertepatan dengan Milad FDI yang ke-2 diselenggarakan MUNAS (Musyawarah Nasional) FDI di Bandung, tanggal 24 - 25 Agustus 2015. Walau saya ikut terlibat dalam pembuatan situs web MUNAS nya, namun saya belum bisa hadir dalam temu darat anggota FDI yang kedua tersebut. Mungkin karena amal relawan tersebut nama saya dituliskan dalam jajaran Dewan Pengurus Pusat FDI yang diputuskan pada tanggal 25 September 2015. Sebenarnya dengan atau tanpa menjadi pengurus, insya Allah saya membantu FDI selama mampu. 

Usulan grafis terakhir pada tahun 2017 adalah rancangan sampul buku antologi berjudul : "Sang Pendidik : Jalan Terang Penuh Cinta". Alhamdulillah, rancangan tersebut digunakan oleh perancang sampulnya dengan perbaikan pada beberapa bagian hingga buku tersebut diterbitkan. Tulisan pengalaman dosen dari berbagai perguruan tinggi, termasuk saya, ada di dalam buku tersebut.


Tanggal 12 Juli 2018, serta 18, 23, dan 24 Agustus 2018, bu Irma, sekretaris FDI menanyakan kepastian saya hadir di MUNAS FDI Semarang. Saya menjawab, diupayakan datang. Saya dikondisikan sekamar dengan pak Yanuardi Syukur yang akan menjadi salah satu pemateri di MUNAS FDI. Saat itu saya merasa perlu datang karena selain belum pernah temu darat, juga karena laptop bu Irma belum berhasil dipasangi Office 365 yang dibeli melalui saya, walau sudah dicoba dipasang di mana-mana.

Alhamdulillah, ada bantuan dana dari Area 306 untuk akomodasi saya ke Semarang. Saya harus singgah dulu ke Subang satu hari sebelum berangkat ke Semarang. Ada acara reuni GMA (Generasi Muslim al-Muhajirin) yang harus saya ikuti di Subang, di mana saya dipercaya untuk menyampaikan pengalaman sebagai anggota dan pengurusnya. 

Acara GMA tersebut bersamaan harinya dengan keberangkatan saya ke Semarang. Kakak saya membantu menguruskan tiket Pesawat pulang-pergi Semarang-Bandung. Dan seperti biasa pesawatnya delay hingga satu jam lebih. Saya segera menghubungi bu Irma bahwa kemungkinan datang setelah pak Yanuardi mendarat di Semarang sehingga mungkin tidak bisa memenuhi permintaan bu Irma untuk pergi bersama-sama ke Hotel Gracia. 

Setibanya di Semarang, saya dihubungi oleh bu Irma. Beliau menanyakan posisi saya di Bandara, karena beliau dan yang lainnya setelah menjemput pak Yanuardi terus jalan untuk mencari makan. Saya sampaikan bahwa saya sudah tiba dan tidak perlu menjemput ke Bandara. Teman saya dari Relawan TIK Semarang batal menjemput karena istrinya sakit. Tadinya saya mau memanfaatkan voucher Taksi yang saya peroleh di acara Sebangsa. Namun taksi yang ditunggu tidak terlihat. Akhirnya saya menggunakan taksi lainnya.

Setibanya di hotel langsung saya menanyakan harga kamar. Lalu saya hubungi kakak untuk membantu booking melalui internet supaya harganya lebih murah. Hari itu akan ada banyak peserta MUNAS yang datang, dan mungkin saja jumlah kamar hotel yang disiapkan oleh panitia belum memadai. Dan ternyata benar saja, ada beberapa peserta yang tidak tertampung. 

Kamar yang saya pesan bermanfaat sehingga ada dua peserta yang bisa memanfaatkannya. Saya terbangun dari tidur yang kedua saat pak Djadja masuk ke kamar selepas subuh. Setelah salat subuh saya berbincang dengan pak Djadja, mulai dari kepemimpinan di Perguruan Tinggi hingga kepemimpinan di FDI. Beliau menyarankan agar saya ikut bursa calon ketua FDI atau menjadi sekretaris FDI. Namun saya sampaikan ke beliau bahwa saya merasa nyaman membantu FDI di bidang teknologi informasi. Lagi pula saya tidak bisa menghadiri MUNAS karena harus menghadiri rapat kampus.  

Temu darat pertama saya adalah dengan bu Irma. Beliau menunggu saya di depan hotel yang di belakang. Baru keesokan harinya saya bertemu dengan pengurus FDI lainnya yang selama ini berinteraksi di media sosial Facebook dan Whatsapp. Hari pertama MUNAS diisi oleh seminar. Sepanjang hari tersebut saya gunakan untuk memasang Office 365 di laptop nya bu Irma. Alhamdulillah, setelah berjam-jam berusaha akhirnya terpasang juga. 

Setelah mencicipi empek-empek Palembangnya bu Raden Ayu, saya pamit kepada semuanya karena harus segera menuju Bandara. Saya sampai di Bandung lepas Maghrib. Setelah itu saya menjalankan motor NMAX agak santai ke Garut, dan menyempatkan makan malam di Ampera. Sayangnya, makanan yang saya inginkan tidak ada, udang galah yang biasanya tersedia di rumah makan tersebut. Temu darat tersebut semoga memberikan tambahan rasa silaturahmi, yang tidak sekedar bertemu raga, tetapi tersampaikannya amaliah kasih di alam nyata. Dapat tersenyum di alam nyata merupakan tambahan sedekah bagi seorang relawan TIK. 


Minggu, 26 Agustus 2018

Temu Kangen Generasi Muslim al-Muhajirin


Subang, 26 Agustus 2018. Hari ini saya memenuhi undangan panitia Temu Kangen GMA (Generasi Muslim al-Muhajirin) di kolam renang Ciheuleut Subang. Ada tugas yang harus ditunaikan dalam acara tersebut, yakni menyampaikan pengalaman selama aktif di Generasi Muslim al-Muhajirin. Karena itulah saya menyempatkan diri untuk ke Subang sebelum siangnya berangkat ke Semarang untuk menghadiri Musyawarah Nasional Forum Dosen Indonesia. 

Ternyata hari itu juga merupakan Milad GMA yang ke-25. Panitia sudah menyiapkan kue, lengkap dengan angka 25. Potongan pertama dilakukan oleh kang Heri yang dianggap yang paling dituakan oleh semua anggota GMA yang hadir. Potongan pertama tersebut diberikannya kepada ketua umum GMA pertama yang juga merupakan founder, mas Yudho Hertono Rifangi. 


Di dalam acara tersebut, saya menceritakan kronologis bergabung dengan GMA, pengalaman, serta pengaruh GMA bagi diri sendiri dan masyarakat. Diceritakan pada sore hari di tahun 1993 itu saya pulang dari kegiatan Pramuka dengan fikiran kalut oleh sebab konflik kubu-kubuan dalam kepengurusan penggalang yang saya pimpin. Tepat depan jembatan masjid al-Muhajirin, mas Yudho yang tengah duduk di jembatan tersebut memanggil saya untuk berbincang. Saya lupa isi lengkap pembicaraannya, hanya yang saya ingat, itulah kali pertama saya diberikan jalan untuk mengenal Islam sebagai solusi untuk keluar dari kekalutan tersebut.

Melalui mas Yudho saya dikenalkan sebuah buku berjudul Minhajul Abidien karya Imam al-Ghazali r.m. Buku tersebut sangat berpengaruh dalam perjalanan spiritual awal saya pada masa studi saya di SMA Negeri 1 Subang. Buku tersebut merupakan buku pembuka, sebelum buku-buku karangan guru-guru tarikat Syadziliyyah berdatangan saat saya kuliah di Garut. Saya menyebut fase tersebut sebagai fase langit, karena kekhasannya dalam "ketidakhadirannya" di "dunia".

Yang membuat saya begitu terikat dengan pemikiran tarikat ini adalah buku kedua yang ditunjukan oleh mas Yudho, yakni al-Hikam karya Ibnu Athoillah r.m. Buku itu sangat menakjubkan, sehingga walau dikhatamkan berulang-ulang selalu ingin mebacanya lagi. Karya spiritual ini ajaib karena mampu "menggerakan ruh". Dan karena penyaksian inilah saya semakin terikat dengan pemikiran tarikat ini. Oleh karena itulah anak lelaki saya yang kedua diberi nama Syazwan Asy-Syadziliyyah sebagai monumen kecintaan saya kepada para guru tarikat ini, khususnya Ibnu Athaillah r.m. 

Selama menjadi anggota GMA saya lebih banyak menghabiskan waktu di masjid al-Muhajirin dan di rumah mas Yudho dari pada di rumah. Bahkan sering kali saya baru pulang malam hari ke rumah atau menginap di rumah mas Yudho. Di rumah itu saya sering mendengar pemikiran Cak Nun dari tape dan menyanyikan lagu Kyai Kanjengnya yang berjudul Tombo Ati. Dakwah Islam dengan pendekatan socio-kulturan memang menjadi penciri GMA.

GMA tumbuh di tengah masyarakat yang saat itu sangat partisipatif. Kalangan mudanya aktif di organisasi kepemudaan (karang taruna), dan kalangan tua nya aktif di DKM. GMA menjadi jembatan antara kalangan muda dan tua. Sebagian tokoh kalangan tuanya ada yang tidak sejalan dengan pendekatan socio-cultural, sehingga saat GMA membawa keseniaan berupa nasyid gamelan atau teater ke dalam lingkungan masjid, hal tersebut menimbulkan persoalan. Tetapi GMA berhasil menjaga silaturahmi, walau disebut sebagai anak muda yang "mempermainkan agama".

Pengalaman memanfaatkan media itulah yang juga mempengaruhi saya saat menjadi santri di Ponpes Mahasiswa Sekolah Tinggi Teknologi Garut al-Musaddadiyah. Saya ingat kala itu organisasi santri yang saya pimpin mengundang santri siswa untuk menyimak video keislaman yang diputar melalui TV milik KH Asep Saepudin Musaddad - ketua Ponpes di pelataran masjid kecil al-Musaddadiyah. Beberapa waktu kemudian, KH Abdullah Margani Musaddad - ketua Ponpes Siswa al-Musaddadiyah membeli proyektor dan layarnya untuk kegiatan nobar santri mingguan di aula mini Ponpes. Penggunaan media (proyektor) / multimedia dalam dakwah ini sebenarnya merupakan penciri Prof KH Anwar Musaddad. 

Beberapa tahun yang silam saya mendorong mahasiswa pegiat TIK di kampus untuk melebarkan manfaatnya ke luar kampus. Saya ingin agar manfaat relawan dalam bidang TIK bagi institusi juga dirasakan institusi lainnya melalui relawan pelajar. Kumpulan relawan mahasiswa dan pelajar tersebut disebut Kelompok Penggerak TIK dan Kelompok Pengembang Platform TIK yang kemudian dilebur dalam satu wadah bernama Komunitas TIK dan bersatu di bawah Komunitas TIK Garut. Atas peranannya di tengah masyarakat, Komunitas TIK Garut mendapatkan penghargaan sebagai Komunitas TIK terbaik se Jawa Barat dari Gubernur Jawa Barat dan Bupati Garut. Upaya membangun jejaring pegiat TIK dari kalangan pelajar tersebut terinsfirasi dari Ikatan Pelajar Muslim Subang yang merupakan underbow nya bidang Pendidikan dan Dakwah GMA. 

Walau demikian, ada masa di mana saya keluar dari kebiasaan praktik socio-culture GMA saat mulai membaca karya pemikiran Ibnu Taimiah, Ibnul Qayyim Jauziyah, Ibnul Jauzi, dan lain sebagainya. Di antara praktik yang saat itu mulai saya tidak sepakati adalah tentang bersatunya ikhwan dan akhwat dalam pengajian cahaya. Saya adalah satu-satunya anggota dan pengurus GMA yang hadir dalam pengajian tersebut di belakang hijab dengan niat menghijabi diri dari akhwat. Era tersebut saya sebut sebagai era bumi. 

Namun syukurlah ikatan hati dengan Ibnu Athaillah ini yang membuat saya kembali bisa bersikap lunak terhadap tradisi dan memahami bahwa Islam dapat tumbuh di dalam local socio-culture. Walau demikian, perjalanan saya mengembara di alam pemikiran langit dan bumi memberi bekal dalam berinteraksi dengan kedua kelompok yang dianggap saling besebrangan ini. Saya mempelajari sikap moderat di tengah perbedaan dua kelompok ini dari Ibnul Qayyim Jauziyah melalui karyanya Madarijus-Salikin dan dari KH Choer Affandy saat mengaji buku Akidah Islamiyahnya di Ponpes al-Musaddadiyah, walau dalam praktiknya di media sosial banyak dimusuhi oleh kedua kelompok tersebut karena disalahfahami sebagai keberpihakan kepada salah satu kelompok.

Alhamdulillah, hari itu saya merasa senang menyampaikan ucapan terima kasih kepada mas Yudho dan anggota lainnya yang ikut membentuk Keislaman saya selama di GMA. Saya menyampaikan bahwa sedekah jariyah yang berbuah amal kebajikan penerimanya menjadi pahala atau investasi akhirat yang tidak terputus, yang harus disyukuri. Selepas salat Dzuhur dan makan siang, saya mohon pamit kepada semua anggota GMA yang hadir karena harus berangkat ke Bandung untuk mengejar waktu boarding di Bandara Husein. Dalam perjalanan menuju Bandung, saya mengingat tanggapan mas Yudho atas pemaparan pengalaman saya tersebut, bahwa manfaat GMA bagi kehidupan akan dicapai oleh mereka (anggota GMA) yang ikhlas berbuat semata mengharap ridha Allah. Mardhatillah ini merupakan ajaran utama beliau di GMA yang sangat diingat oleh banyak anggota dan pengurus GMA hingga kini. Semoga Allah membimbing kita untuk senantiasa Mardhatillah. Amin. 


Senin, 06 Agustus 2018

Kurikulum Informatika untuk Mewujudkan Gagasan Kyai Anwar Musaddad


Kurikulum Prodi (Program Studi) Informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut yang baru dibuat untuk membangun sikap, pengetahuan, dan keterampilan mahasiswa sesuai visi atau luaran pembelajaran Prodi. Beberapa matakuliah di dalamnya ada yang membentuk pondasi, pilar, dan atap bangunan tersebut. Tahun pertama difokuskan pada pembangunan pondasi bangunan sikap, pengetahuan, dan keterampilan mahasiswa. Tahun kedua hingga ketiga difokuskan pada pembangunan pilar bangunannya. Dan tahun keempat difokuskan pada pembangunan atap bangunan yang merupakan puncak bangunannya.  

Pemahaman mahasiswa terhadap kehidupan sosial khas dan ragam budaya di Indonesia dibangun melalui matakuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar yang berada dalam kelompok matakuliah Penciri Perguruan Tinggi. Mahasiswa didorong secara aktif untuk turut serta memetakan aktivitas sosial dan warisan budaya lokal Garut dengan menggunakan teknologi. Pengetahuan dan pengalaman lapangan tersebut diharapkan dapat mendekatkan mahasiswa kepada kearifan lokal sehingga dapat menjadi insfirasi atau pegangan dalam menghasilkan luaran pengajaran atau pemanfaatan teknologi / aplikasi informatika. Hal ini selaras dengan visi PS yang menekankan luaran harus berbasis kearifan lokal. Matakuliah penciri perguruan tinggi ditentukan memperhatikan visi PS. 

Visi : Menjadi Penyelenggara Program Studi Informatika Yang Unggul di Bidang Rekayasa Perangkat Lunak dengan Luaran Yang Berdaya Saing Global Berbasis Kearifan Lokal pada Tahun 2030

Pengetahuan dan pengalaman lapangan tersebut diharapkan dapat memudahkan mahasiswa untuk memahami Pancasila yang merupakan konsensus hidup bersama dari bangsa Indonesia yang memiliki karakteristik sosial khas nusantara dan budaya yang beragam. Penerimaan terhadap kekhasan karakteristik sosial dan keragaman budaya Indonesia menguatkan penerimaan mahasiswa terhadap Pancasila. 

Budaya masyarakat Indonesia tentu saja berkembang sebagaimana budaya bangsa lainnya, di antaranya dipengaruhi oleh perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi. Indonesia sebagaimana bangsa lainnya tengah memasuki era revolusi industri 4.0 dengan struktur budaya baru yang dikenal dengan masyarakat informasi. Tujuan umum masyarakat informasi adalah mendapatkan keuntungan kompetitif dari informasi yang tersedia secara global menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Penyediaan informasinya melibatkan berbagai jenis sistem informasi yang aktivitasnya ditunjang oleh komponen sumber daya teknologi informasi (perangkat lunak, perangkat keras, perangkat jaringan, dan perangkat data), serta sumber daya manusia (pengguna akhir dan pengguna spesialis). 

Untuk melengkapi pemahaman mahasiswa terhadap budaya Indonesia yang berkembang, khususnya terhadap masyarakat informasi Indonesia sebagai budaya baru di Indonesia, maka diberikan matakuliah Komputer dan Masyarakat yang menjelaskan bagaimana masyarakat memanfaatkan komputer dalam kehidupannya sehari-hari. Pemahaman mahasiswa terhadap sistem informasi yang dimanfaatkan oleh masyarakat informasi secara personal atau di dalam organisasi sebagai sumber informasi dibangun melalui matakuliah Sistem dan Teknologi Informasi. Keterampilan teknologi informasi dan komunikasi dasar yang dikuasai oleh pengguna akhir diberikan melalui matakuliah praktikum Sistem dan Teknologi Informasi agar mahasiswa dapat menjadi bagian masyarakat informasi atau berperilaku sebagaimana halnya individu dalam masyarakat informasi. Dengan demikian mahasiswa telah menempuh dua tahapan penting dalam membangun struktur budaya masyarakat informasi, yakni penyadaran serta pelatihan teknologi informasi dan komunikasi dasar. Hal tersebut sejalan dengan semboyan Prodi yakni the Power of Digital Culture

Visi PS mengamanatkan agar luaran pembelajaran mahasiswa berdaya saing global. Sementara budaya baru masyarakat informasi di era revolusi industry 4.0 mengkondisikan setiap individu untuk menguasai dan mengendalikan informasi di dunia nyata dan maya agar mendapatkan kesuksesan atau daya saing global. Matakuliah Bahasa Inggris diberikan agar mahasiswa memiliki kemampuan untuk berkomunikasi yang memudahkan akses serta penyebaran data dan informasi global.

Prof KH Anwar Musaddad merupakan tokoh nasional yang ikut serta merumuskan gagasan Pesantren Luhur. Beliau mendirikan Yayasan al-Musaddiyah untuk mewujudkannya gagasan tersebut. Gagasannya diwujudkan dalam boarding schools dengan tujuan untuk mencetak socio-religious leader. Prodi Informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut yang berada di bawah naungan Yayasan al-Musaddadiyah mengemban amanat mewujudkan gagasan tersebut. Mahasiswanya harus dibentuk sebagai pemimpin di tengah masyarakatnya yang selalu mempertimbangkan faktor atau melibatkan kombinasi elemen sosial dan agama. Prof KH Anwar Musaddad menyebutkan sifat pemimpin tersebut, antara lain : tidak emosional, terbuka, berorientasi ke depan, tidak “kurung batok”, efisien, dan produktif. Hal tersebut dapat mewujudkan pribadi Pancasilais yang Berketuhanan YME dan berkeadilan sosial. 

Matakuliah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah merupakan landasan bagi pembangunan pribadi socio-religious leader. Matakuliah kelompok penciri perguruan tinggi ini disediakan upaya untuk mempertahankan Sekolah Tinggi Teknologi Garut agar senantiasa menjadi boarding school, sebagai upaya Prodi dalam melanjutkan gagasan Pesantren Luhur Prof KH Anwar Musaddad selaku pendiri Yayasan al-Musaddadiyah. Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dipilih oleh Prof KH Anwar Musaddad sebagai elemen agama yang membentuk socio-religious leader. Karakteristik pribadinya dibangun oleh sikap, pengetahuan, dan keterampilan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah yang meliputi akidah, akhlak / adab, dan ibadah / amaliah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah

Elemen sosialnya diidentifikasi oleh mahasiswa dari matakuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Komputer dan Masyarakat, dan Pancasila. Pemahaman terhadap struktur budaya baru yang dibentuk oleh matakuliah Komputer dan Masyarakat serta penempatan diri di dalamnya melalui matakuliah Sistem dan Teknologi Informasi membantu penciptaan karakter socio-religious leader yang berorientasi ke depan. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi membentuk karakter efisien dalam bertindak. 

Komunikasi efektif sangat penting bagi semua pemimpin. Agar menjadi efektif, pesan yang mengalir antara pengirim dan penerima dalam proses komunikasi harus bebas dari semantic noise. Matakuliah Bahasa Inggris dan Indonesia disediakan untuk mengatasi noise tersebut. Kesuksesan mahasiswa dalam mengentaskan noise tersebut dapat menjadikan dirinya sebagai socio-religious leader yang efisien dan produktif. Kondisi tanpa semantic noise menjauhkan mahasiswa dari kesalahfahaman yang dapat memicu emosi. Idealnya mahasiswa atau lulusan sebagai socio-religious leader mampu bersikap tidak emosional, namun setidaknya socio-religious leader dapat menghindarkan diri dari segala kemungkinan yang dapat memicu emosi. 

Penguasaan Bahasa Indonesia dan Inggris memberi bekal bagi mahasiwa untuk bepergian jauh di dunia nyata dan maya sehingga tidak “kurung batok”. Penguasaan tersebut juga menunjang produktifitas dan kualitas publikasi luaran pembelajaran dan lainnya. Matakuliah Bahasa diletakan pada semester pondasi bangunan (satu dan dua) karena menunjang pembangunan pilar dan atap bangunan sikap, pengetahuan, dan keterampilan mahasiswa. Pengalaman  dan pemahaman terhadap keragaman dapat membentuk sifat terbuka.