Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Permendikbud 49/2014 Pasal 1:14)

Sekolah Tinggi Teknologi Garut

Diselenggarakan mulai tahun 1991 dan bernaung di bawah Yayasan Al-Musaddadiyah. http://www.sttgarut.ac.id/

Program Studi Teknik Informatika

Berdiri pada tanggal 30 Juni 1998 dan terakreditasi B. http://informatika.sttgarut.ac.id/

Rinda Cahyana

Dosen PNS Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dpk Sekolah Tinggi Teknologi Garut sejak tahun 2005

Senin, 28 Februari 2022

Topik Tren Adzan


Indeks literasi bangsa ini memang rendah, sehingga tdk heran bila pernyataan yg tdk menyebut adzan, dianggap menyebut adzan; pernyataan yg menyebut pengeras suara bukan utk memanggil Tuhan, dianggap adzan utk memanggil Tuhan. Kata adzan ini selalu disisipkan, sudah seperti hastag utk mewujudkan topik tren di jagat media. Tren adalah tujuan perekayasa sosial atau pebisnis konten.

Selain itu, indeks keadaban digital bangsa ini rendah, di mana hoax menjadi resiko puncak di negara ini. Oleh krnnya wajar bila kita menemukan banyak netizen yg mudah dibohongi hoax yg mengada-ada tentang adzan tanpa mau ricek atau menerima hasil ricek. Konten hoax adalah makanan populer di ruang media sosial utk memuaskan rasa dengki di hati. Perekayasa sosial memanfaatkan hal demikian utk kepentingan profit hingga politik. Kita bisa melihat, tren topik adzan ini utk kepentingan apa dari ujung ceritanya.

#LiterasiDigital

Minggu, 27 Februari 2022

Kerancuan Berfikir

Fallacy secara etimologis berasal dari kata fallacia yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah menipu. Dengan memperhatikan pendapat Irving M Copi dkk. (2014) dapat difahami bahwa kerancuan berpikir atau logical fallacy merupakan jenis argumen yang terkesan benar, di mana tipuannya akan teruangkap setelah menggunakan logika berpikir yang benar.

Seseorang mempraktikan fallacy karena tidak menyadari logika berfikirnya yang keliru, atau sengaja dilakukan untuk berpaling dari kebenaran atau untuk membuat dirinya nampak tidak salah atau terkalahkan. Tujuan kesengajaan ini dapat difahami dari 19 jenis kerancuan berpikir berikut ini:

  1. Irrelevant Conclusion / Ignoratio Elechi, yakni membuktikan suatu perkara dengan perkara lain yang tidak relevan;  Contohnya, seseorang ingin mengganti komputernya untuk mengikuti tren tipe tertentu, tetapi mengungkapkan alasan lain, yakni merasa tidak nyaman menggunakan komputernya yang terasa lambat;
  2. Argumentum Ad Baculum / Appeal to Force, yakni memaksakan kehendak dengan penyataan yang mengancam; Contohnya, seseorang yang menuntut organisasinya untuk membelikan komputer yang sedang tren agar tugas pekerjaannya ia selesaikan; 
  3. Argumentum Ad Hominem / Abusive, yakni menyerang pribadi seseorang; Contohnya, atasan yang menyebut pegawainya tidak layak mendapatkan komputer high-end yang diperlukannya untuk melaksanakan tugas pekerjaan dengan alasan posisi jabatannya yang masih rendah; 
  4. Argumentum Ad Hominem / Circumstantial, yakni sindiran secara tidak langsung dengan menyasar kondisinya; Contohnya, atasan yang mengatakan kepada pegawainya bahwa kepatuhan itu adalah menuntaskan tugas pekerjaannya dengan tanpa mengeluh; 
  5. Argumentum Ad Ignorantiam, yakni meyakini suatu kondisi yang belum ada bantahannya; Contohnya, atasan yang menganggap pegawainya loyal selama tidak mengeluh di hadapannya;
  6. Argumentum Ad Misericordiam / Appeal to Pity, yakni memancing rasa iba untuk membenarkan suatu perkara; Contohnya, seorang pegawai yang terbukti mencuri komputer kantor meminta kepada atasannya untuk tidak dikeluarkan dari perusahaan dengan alasan orang tuanya sedang sakit keras;
  7. Argumentum Ad Populum, yakni mempengaruhi masa dengan pernyataan yang tidak relevan; Contohnya, seorang pegawai senior yang akan dijatuhi sanksi oleh perusahaan atas kesalahan yang diperbuatnya mempengaruhi pegawai lainnya dengan menyatakan dirinya sedang didzalimi oleh perusahaan; 
  8. Argumentum Ad Verecundiam, yakni menyandarkan tindakannya kepada sosok terkenal; Contohnya, seorang pegawai menganggap dirinya seperti Mahatma Gandi karena berjuang melawan penindasan perusahaan yang akan menjatuhkan sanksi kepada dirinya; 
  9. Non Causa Pro Causa, yakni meyakini suatu sebab tanpa mempelajari kronologinya; Contohnya, seseorang meyakini kolega seniornya sedang didzalimi oleh perusahaan karena hendak diberhentikan;
  10. Post Hoc Ergo Propter Hoc, yakni meyakini peristiwa pertama yang menyertai peristiwa kedua sebagai penyebab terjadinya peristiwa kedua; Contohnya, seseorang yang mengetahui adanya atasan baru sebelum pegawai senior menerima tugas pekerjaan, kemudian ia berpikir bahwa atasan tersebutlah yang menyebabkan pegawai senior tidak dapat melaksanakan tugas pekerjaannya; 
  11. Complex Questions, yakni pertanyaan yang membingungkan; Contohnya, seseorang yang menanyakan tempat kerja kepada orang lain yang baru saja berhenti dari perusahaannya;
  12. Staw Man, yakni memelintir suatu pendapat untuk membenarkan pendapat lainnya; Contohnya, seseorang menyatakan bahwa perusahaan dapat memberhentikan pegawai yang telah bekerja bertahun-tahun kapanpun, kemudian orang lain menuduhnya sedang mempengaruhi banyak pegawai untuk tidak loyal kepada perusahaan; 
  13. Slippery Slope, yakni menolak suatu kondisi karena meyakini akan terjadinya kondisi lain tanpa bukti yang masuk akal; Contohnya, seseorang menolak untuk loyal kepada perusahaan karena meyakini perusahaan bisa memberhentikannya kapanpun, padahal tidak semua pegawai yang loyal diberhentikan oleh perusahaan;
  14. Tu quoque, yakni melawan kritik yang mendeskriditkan dengan kritik yang sama; Contohnya, seorang atasan mengkritik atasan lainnya yang tidak bersikap baik kepada pegawainya, kemudian ia mendapat balasan kritik berupa ingatan atas tindakan buruk kepada pegawainya sendiri;
  15. Loaded question, yakni menanyakan suatu praduga secara jelas untuk mendapatkan jawaban dengan kesan bersalah; Contohnya, seorang atasan bertanya kepada atasan lainnya yang belum pernah memperlakukan buruk pegawainya, “Apakah Anda sudah menjadi orang baik atau belum?”;
  16. Burden of Proof, yakni berpaling dari pembuktian suatu klaim; Contohnya, seorang atasan yang menuduh atasan lain telah berbuat buruk kepada bawahannya tanpa bukti, kemudian berpaling dari tuntutan pembuktian karena merasa orang yang dituduh olehnya yang harus membuktikannya sendiri;
  17. The Gambler’s Fallacy, yakni meyakini sesuatu yang sering terjadi memiliki peluang kecil untuk terjadi di masa depan. Contohnya, seorang atasan meyakini pegawainya suatu saat akan loyal tanpa mengeluh setelah sering mengeluh atas perlakuan buruknya;
  18. Special Pleading, yakni pengecualian klaim yang keliru; Contohnya, seorang atasan mengklaim pegawai yang mengeluh itu tidak loyal, dan pada saat klaimnya terbukti keliru ia berdalih bahwa klaimnya pasti benar apabila yang mengeluh adalah bawahannya; 
  19. Personal Incredulity, yakni menolak suatu kebenaran karena tidak dapat  memahaminya; Contohnya, seorang atasan yang menolak sikap loyalitas pegawai yang disertai keluhan, hanya karena tidak memahami keluhan atas hambatan tugas pekerjaannya merupakan bagian dari loyalitas.



Sabtu, 26 Februari 2022

Menyoal Terkait Surat Edaran


SE Menteri membatasi ambang batas noise level speaker masjid di angka 100 dB. Sebagian protes dgn alasan konser musik saja tdk dibatasi. Pertanyaannya, misalnya utk salat Jum'at, apa jema'ah salat Jum'at jumlahnya sama dgn penonton konser musik sehingga membutuhkan noise level yg sama, yakni di atas 100 dB?

Lalu sebagian lagi protes dgn pembatasan waktu penggunaan speaker utk keperluan selain Adzan, padahal suara yg keluar dari speaker itu sebagian di antaranya adalah dari perangkat music player yg tdk akan mendapat pahala dari apa yg dia putar. Bila yg diputar itu adalah do'a dan semisal lainnya, bukankah Tuhan itu Maha Mendengar?

Sepertiga akhir malam adalah waktu yg baik utk mendekati Nya. Keheningan mengkondisikan upaya kita utk "bercengkrama" dgn Nya. Namun hal tsb menjadi terganggu dgn suara keras dari pemutar musik yg memutar kalimat religius. Apakah "ibadahnya" pemutar musik harus mengganggu ibadah manusia? Apakah orang yg memutar musik merasa perlu mengganggu sesama Pencari Tuhan?

#PersepsiCahyana

Memikirkan Sesuatu dgn Kaidah Berfikir


Rasa terganggu itu bisa sama, lepas dari penyebab gangguannya apa. Namun membayangkannya itu tdk selalu mudah. Yg agak sulit itu membayangkan rasa terganggu oleh sesuatu yg diyakini pasti tdk mengganggu, misalnya muslim pasti tdk terganggu oleh suara adzan. Yg mudah itu membayangkan rasa terganggu oleh sesuatu yg mungkin dapat mengganggu, misalnya muslim mungkin terganggu oleh volume suara adzan yg berlebihan. Dan paling mudah itu membayangkan rasa terganggu oleh sesuatu yg pasti mengganggu siapapun, misalnya semua muslim pasti terganggu oleh suara hewan peliharaan yg berlebihan.

Ada tiga sesuatu yg tersebut dlm paragraf sebelumnya, di mana identitasnya berbeda satu sama lainnya. Hal tsb menunjukan sifat unik, sehingga tdk mungkin sesuatu yg ketiga sama dgn yg kedua, apalagi dgn yg pertama. Dalam ilmu Mantik dikenal kaidah berfikir Qanun al-Huwiyyah (Law of Identity), yakni A=A, B=B, tdk mungkin A=B atau B=A. Meskipun A dan B memiliki esensi yg sama, yakni "sesuatu", tetapi identitas keduanya berbeda, yakni "pasti" bukanlah "tdk pasti".

Bila ada orang yg berpendapat bahwa sesuatu yg ketiga itu sama dgn sesuatu yg pertama, maka pendapat tsb dgn mudah dinyatakan tdk logis. Bagaimana sesuatu yg pasti mengganggu itu sama dgn sesuatu yg pasti tdk mengganggu?

Mungkin sebagian orang yg terbiasa berfikir ascending, ia akan merasa tdk nyaman bila sesuatu yg ketiga bukan C, padahal sesuatu yg pertama adalah A, dan yg kedua adalah B. Bagi orang yg lebih memperdulikan logika, ascending itu hanyalah estetika, selama tdk ada aturan yg mengharuskan sesuatu yg ketiga itu C. Baginya sesuatu yg ketiga itu boleh apa saja, misalnya Z. Yg terpenting baginya, tdk mungkin A=Z, sebagaimana tdk mungkin A=C bila Z=C. Tanpa melibatkan estetika sekalipun, tingkat kesulitan rasa terganggu itu bisa difahami.

Bila tujuannya adalah pemahaman tsb, perhatian terhadap estetika itu hanyalah tambahan yg tdk terlalu penting. Dgn atau tanpa estetika, mau C atau Z, hewan peliharaan atau selainnya, tujuan itu tercapai. Bila seseorang memperhatikan estetika, baik ascending (A,B,C) atau descending (Z,Y,X), maka yg ditujunya bukan sekedar pemahaman tsb, atau memang bukan pemahaman tsb, atau terbiasa merepotkan diri dgn sesuatu yg tdk merubah tujuan tsb.

Namun bagi kalangan estetis, kerepotan utk mencapai estetika itu tujuan utama dari segala tujuan. Suatu tujuan tdk tercapai bila tujuan utama tdk tercapai. Baginya, memilih C itu semudah mendapatkan Z, sekalipun kenyataannya tdk demikian. Utk mendapatkan C, dia harus menghitung dgn benar urutan berikutnya dari urutan tertentu yg harus diidentifikasi dgn benar. Hal berbeda dgn hasil acak, urutan berikutnya setelah B terserah bertambah atau berkurang berapa.

Kalangan estetis mungkin akan berdebat dgn selain mereka, dgn perdebatan yg tdk perlu. Padahal utk apa mempersoalkan pilihan sekumpulan esensi yg berbeda, bila {A,B,C} dan {A,B,Z} sama-sama memiliki tujuan t, terlebih bila C itu sebagaimana Z, tdk sama dgn A. Mau suara hewan peliharaannya itu suara anjing (C) atau burung (Z), suara itu bukan adzan (A). Hubungan logika itu sudah nampak estetis bagi kalangan logis. Bagi mereka, ketidaklogisan itu tdk estetis, sekalipun ketidaklogisannya terwujud demi estetika.

#PersepsiCahyana

Jumat, 25 Februari 2022

Gangguan Komunikasi dan Resiko Intrusive


Gangguan dalam komunikasi interpersonal itu di antaranya semantik dan psikologis. Gangguan ini menyebabkan seseorang mudah untuk salah dalam memahami pesan (pernyataan, informasi, atau semisal lainnya). Gangguan semantik terkait kemampuan berbahasa di antaranya terjadi karena literasi yang rendah, sementara gangguan psikologis terkait kemampuan mengelola emosi di antaranya timbul karena kecerdasan emosi yang rendah. Seringkali gangguan ini dimanfaatkan oleh perekayasa sosial untuk menggerakan banyak orang dengan menggunakan konten provokatif yang sesat menyesatkan.   

Menurut survei yang dilakukan Program for International Student Assessment dan di rilis Organization for Economic Co-operation and Development pada 2019, Indonesia menempati rangking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan indeks literasi. Sementara menurut  laporan Microsoft Digital Civility Index 2020 yang dilansir Februari 2021, Indonesia menempati rangking ke 29 dari 32 negara berkaitan dengan indeks keadaban digital. Angka-angka tersebut menggambarkan kondisi Warga Negara Indonesia yang rentan terhadap resiko intrusive. Microsoft merilis tiga resiko teratas di Indonesia yang mencakup Hoaks (47%), Ujaran Kebencian (27%), dan Diskriminasi (13%).

Oleh karenanya tidak mengherankan apabila ruang media sosial Indonesia seringkali dipenuhi oleh resiko intrusive tersebut. Kondisinya begitu buruk saat ditemukan banyak netizen dalam komunitas maya atau thread media sosial yang merasa benar hanya karena konten hoaks, ujaran kebencian, dan diskriminasi yang diikutinya sejalan dengan semangat agama yang difahaminya, atau semangat eklusivisme berbasis kepentingan politik murni atau politisasi agama yang berkembang di kalangannya, sehingga siapapun yang berbeda dianggapnya telah tersesat dan memerlukan hidayah Allah untuk kembali bersama mereka. Bahkan dalam urusan yang boleh berbeda sekalipun ekspresi yang ditunjukannya sangatlah ekstrem, mulai dari pelabelan buruk hingga ancaman pembunuhan (Ujaran Kebencian). Hal tersebut merupakan tantangan edukasi bangsa Indonesia, hambatan kemajuan yang harus segera dientaskan. 

#PersepsiCahyana

Adzan

Disebutkan dalam hadis riwayat Imam Abu Dawud dari Abdullah bin Zaid, ia berkata:

Ketika Rasulullah Saw memerintah memukul lonceng untuk mengumpulkan manusia untuk shalat, suatu malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya; Hai hamba Allah, apakah kamu hendak menjual lonceng itu.

Orang tersebut malah bertanya; Untuk apa? Aku menjawabnya; Agar kami bisa memanggil untuk shalat. Orang itu berkata lagi; Maukah kau kuajari cara yang lebih baik? Dan aku menjawab; Iya.

Lalu dia berkata; Kamu ucapkan; Allaahu akbar allaahu akbar, asyhadu allaa ilaaha illallaah, asyhadu allaa ilaaha illallaah, asyhadu anna muhammadar rosulullah, asyhadu anna muhammadar rosulullah, hayya ‘alash sholaah, hayya ‘alash sholaah, hayya ‘alal falaah, hayya ‘alal falaah, allaahu akbar, allaahu akbar laa ilaaha illallaah.

Ketika esoknya, aku mendatangi Rasulullah Saw dan aku mengabarkan kepada beliau mengenai mimpi (mimpi kalimat adzan). Kemudian Rasulullah Saw berkata; Ini adalah mimpi yang benar, maka bangunlah kamu bersama Bilal karena ia lebih merdu dan lebih panjang suaranya dibanding kamu, lalu kamu diktekan padanya apa yang dikatakan padamu (dalam mimpi).

Abdullah bin Zaid berkata; Setelah Umar bin Al-Khaththab mendengar panggilan Bilal untuk shalat, dia keluar menemui Rasulullah Saw sambil menarik sarungnya, dan dia berkata ‘Wahai Rasulullah Saw, demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, sungguh aku telah bermimpi seperti apa yang dikumandangkan Bilal. Kemudian Rasulullah Saw berkata; Bagi Allah segala puji.

---------

Saat itu adzan dikumandangkan dgn dB sebatas kemampuan Bilal r.a atau manusia. Setelah muncul teknologi speaker, dB nya ditingkatkan utk menjangkau banyak audien, dan menaranya ditinggikan utk menghindarkan penduduk dari efek buruk kerasnya suara. 

Saat ini, sebagian wilayah mayoritas muslim telah menjadi kawasan padat masjid. Tanpa pengaturan dB, volume acak akan menimbulkan efek kalah megalahkan. Hal demikian tdk lebih baik dibandingkan volume seragam di angka dB tertentu. Bila dB nya tdk disesuaikan dgn kapasitas speaker, maka kualitas output suaranya akan tdk baik. Sementara itu, keseragaman volume suara menimbulkan resonansi suara yg baik, dan akan semakin baik apabila dibarengi lantunan yg indah.

Nama Anjing Tidak Najis


Najisnya anjing itu pd air liurnya, tetapi namanya tdk najis. Bukankah nama anjing disebut di dalam al-Quran beberapa kali?

Nanti (ada orang yang akan) mengatakan, "(Jumlah mereka) tiga (orang), yang keempat adalah anjingnya," dan (yang lain) mengatakan, "(Jumlah mereka) lima (orang), yang keenam adalah anjingnya," sebagai terkaan terhadap yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan, "(Jumlah mereka) tujuh (orang), yang kedelapan adalah anjingnya." Katakanlah (Muhammad), "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit" (QS al-Kahfi: 22)

Nama Anjing juga terucapkan dlm lisan Nabi SAW yg terjaga, dan tertulis dalam hadits yg merupakan rujukan kedua setelah al-Qur'an.

Seorang wanita pezina diampuni oleh Allah. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepas sepatunya, dan dengan penutup kepalanya. Lalu dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah (HR. Al Bukhari no.3321, Muslim no.2245).

Jgn memandang Anjing dgn penuh hina hanya karena air liurnya najis bila kena anggota badan dan dagingnya haram utk dimakan. Anjing itu bukan mahluk yg 100% unfaedah sehingga boleh dihinakan seperti setan. Gonggongannya saat menemukan hewan buruan adalah panggilan bagi pemburu dalam ibadahnya mencari makanan.

Jika engkau ingin melepas anjing (pemburu yang telah dilatih), maka ucapkanlah ‘bismillah’. Jika ia menangkap sesuatu untukmu, lalu engkau mendapati hasil buruan tersebut dalam keadaan hidup, maka sembelihlah. Jika engkau mendapati hasil buruan tersebut dibunuh oleh anjing buruan itu dan ia tidak memakannya, maka makanlah hasil buruan tersebut. Jika engkau mendapati anjingmu bersama anjing lain dan hewan buruan tersebut sudah ia bunuh, maka janganlah memakannya karena engkau tidaklah tahu siapa yang membunuh hewan buruan tersebut ... (HR. Bukhari no. 5484 dan Muslim no. 1929).

#PersepsiCahyana

Kamis, 24 Februari 2022

Menyamakan? Fahami dengan Baik

Pak Menag berkata, "Karena kita tahu, misalnya ya di daerah yang mayoritas muslim. Hampir setiap 100-200 meter itu ada musala-masjid. Bayangkan kalau kemudian dalam waktu bersamaan mereka menyalakan Toa bersamaan di atas. Itu bukan lagi syiar, tapi gangguan buat sekitarnya"

Sampai di sini saya memahami kalimat di atas memberi permisalan atau contoh seraya mengajak audien utk membayangkan gangguan suara dari rumah ibadah muslim yg dirasakan non muslim.

Selanjutnya beliau berkata, "Kita bayangkan lagi, saya muslim, saya hidup di lingkungan non muslim. Kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita non muslim menghidupkan Toa sehari lima kali dengan kenceng-kenceng, itu rasanya bagaimana,"

Kalimat tsb mengajak audien utk membayangkan dan menjawab sendiri bagaimana perasaan muslim terhadap gangguan suara dari rumah ibadah non muslim. 

Beliau kemudian memberi contoh terakhir, "Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu nggak?" 

Kalimat ini mengajak audien utk menjawab sendiri bagaimana perasaannya sebagai muslim ataupun non muslim terhadap gangguan hewan peliharaan tsb. 

Bukankah tdk ada kalimat yg menyamakan? Bahkan kita melihat kecerdasan Menag dalam memberikan contoh gangguan, komprehensif, mengambil contoh gangguan dari perspektif non muslim, muslim, dan keduanya. 

Oleh krn nya, tdk usah terprovokasi oleh siapa saja yg gagal faham, atau menggoreng potongan video demi ketidaksukaan kpd personal Menag. Ingat, bermusuhan itu tdk boleh lebih dari 3 hari. Salam ...

#PersepsiCahyana

Memahami Pernyataan Menag


Kalau dicermati videonya, Menag sebenarnya tdk menyamakan suara adzan dgn suara anjing, tapi memberi contoh gangguan suara. Contoh pertama, gangguan suara serentak yg tdk teratur dari rumah ibadah yg dirasakan oleh kalangan lain yg tdk satu keyakinan. Contoh kedua, gangguan suara anjing dari rumah2 tetangga yg mengganggu tetangga lainnya yg tdk memelihara anjing.

Pernyataan Menag tsb bagi saya terlalu jauh utk disebut menyamakan atau menganalogikan. Di antara dua contoh gangguan suara dipisahkan dgn kalimat, "yg paling sederhana lagi". Kata "lagi" menunjukan bahwa gangguan yg ditimbulkan adzan itu contoh paling sederhana, dan gangguan yg ditimbulkan oleh suara anjing itu contoh paling sederhana lainnya. Mari kita kontruksi kalimatnya menjadi demikian:

"Contoh paling sederhana gangguan suara adalah suara dari banyak tempat ibadah yg volumenya keras dan terasa mengganggu bagi kalangan yg tdk seiman. Contoh paling sederhana lagi adalah suara keras hewan peliharaan dari banyak rumah tetangga yg terasa mengganggu tetangga lain yg tdk memeliharanya".

Kontruksi demikian muncul dalam fikiran saya sebagai pemahaman thd apa yg dikatakan oleh Menag. Kontruksinya tentu saja akan berbeda saat pernyataan Menag saya fahami sebagai menyamakan atau menganalogikan suara adzan dgn suara anjing. Saya akan memahaminya demikian kalau ada kata "seperti" atau "seupama". Kalimat berikut ini bisa difahami sebagai menyamakan: "Suara adzan itu seperti suara anjing". Kalimat berikut ini bisa difahami sebagai menganalogika: "Suara adzan itu seupama suara anjing".

Memang tdk mudah utk memahami hal terkait keyakinan ini. Sebagian kalangan mungkin sulit utk memahami, bagaimana bisa sebagian orang merasa tdk nyaman dgn suara lonceng gereja, tetapi tdk demikian dgn lonceng lainnya. Semakin banyak sumber lonceng gerejanya, semakin kuat gangguannya. Begitu pula sebagian kalangan merasa tdk nyaman dgn suara adzan dan semakin tdk nyaman saat sumber suaranya banyak, suaranya keras dan tdk dilantunkan dgn indah.

Saya melihat pengaturan ini semacam upaya utk menurunkan level ketidaknyamanan yg dirasakan sebagian kalangan tsb, selain juga agar terwujud ketertiban suara yg merambat melalui udara. Sulit bagi kita utk merubah hati kalangan tsb, sebab yg bisa merubahnya hanyalah Tuhan. Pengaturan diharapkan bisa mencegah timbulnya ekses negatif akibat perilaku buruk kalangan tsb yg muncul saat ketidaknyamanannya memuncak. Beberapa kasus pernah terjadi krn ekses tsb.

Agama mengajarkan kita utk tdk berlebihan, termasuk dlm menggunakan volume speaker. Sikap berlebihan dalam soal apapun dapat berdampak buruk bagi diri dan orang lain, dan menimbulkan kerusakan. Instruksi Dirjen tahun 1978 terkait pengaturan volume spekaer masjid yg didorong sosialisasinya dgn surat edaran menteri merupakan ikhtiar mencegah sikap berlebih dan kerusakan yg ditimbulkannya.

#PersepsiCahyana

Selasa, 22 Februari 2022

Minyak Goreng


Akhirnya saya menemukan penjual yg menjejerkan banyak minyak goreng di warungnya, setelah saya sulit menemukannya di minimarket dan supermarket. Harganya mahal, tapi bagi saya itu jauh lebih baik dari pada tdk ada, khususnya bagi UMKM yg mengandalkan minyak goreng dalam usahanya. 

Beberapa hari ke belakang saya juga menemukan komentar di thread teman yg menginformasikan minyak goreng tersedia di warung tertentu. Saya berfikir, andai warung-warung tsb menjualnya di lapak e-marketplace lokal, kita tdk akan kesulitan utk menemukannya saat membutuhkan, sehingga tdk perlu mengantri panjang utk mendapatkannya.

Namun ada yg mengagetkan dlm kesempatan membeli minyak goreng tsb. Istri saya menceritakan, ada seorang ibu yg turun dari mobil dan menyatakan niatnya utk membeli 100 buah minyak goreng. Seandainya setiap keluarga dijatah 2 buah saja, berarti ibu tersebut dapat membantu 50 keluarga. Di sisi lain, ada 50 pembeli yg berpotensi tdk menemukan minyak goreng di warung tsb, kecuali stok di warung tsb sangat banyak. Saya tdk tahu motifnya membeli sebanyak itu, entah utk dijual lagi atau lainnya. Tetapi saya berfikir positif saja, mungkin ibu tsb mau membagikannya kpd tetangga atau orang yg membutuhkan ... sekalipun dgn menjualnya kembali ibu tsb akan memperoleh untung cepat krn kelangkaan. 

Kembali ke warung tsb. Saya tahu ada penyalur yg mendistribusikan minyak goreng ke penjual tsb. Tentu saja penyaluran demikian lebih menguntungkan bagi distributor krn mereka bisa menjualnya sesuai dgn biaya produksinya yg tinggi, dari pada menjualnya sesuai HET. Temuan terakhir yg diberitakan terkait tumpukan minyak goreng di distributor mengungkap motifnya, yakni utk menghindari kerugian krn penjualan sesuai HET. 

Kelangkaan ini mengingatkan saya dgn masalah kelangkaan BBM di Papua yg disebabkan krn terhambatnya distribusi oleh cuaca. Banyak SPBU yg kehabisan stok krn BBM nya dibeli banyak oleh pengecer. Di tingkat pengecer, masyarakat membelinya dgn harga yg jauh lebih mahal dari harga normal SPBU. Saya membayangkan, seandainya harga minyak goreng di distributor sudah mahal, maka harga minyak goreng yg dijual oleh pengecer bisa lebih mahal lagi.

Dalam perjalanan pulang saya membicarakan persoalan tsb dgn istri. Ia berpendapat dgn pendapat praktis ibu rumah tangga yg merasakan benar kebutuhan minyak goreng. Menurutnya, seharusnya pemerintah membiarkan minyak goreng dgn harga realistis menurut perhitungan distributor. Sementara khusus utk keluarga miskin (saya tambahkan UMKM), diberikan bantuan utk mendapatkannya dgn harga murah di tempat tertentu. Ia tdk keberatan dgn harga mahal yg dipengaruhi oleh lonjakan CPO (bahan baku), dari pada susah menemukannya.

Kenaikan harga minyak goreng saat ini dipengaruhi oleh kenaikan harga crude palm oil (CPO) dunia. Faktor lain yg menyebabkan kenaikan harga nabati dunia adalah gangguan cuaca. Kewajiban pencampuran minyak sawit sebanyak 30% pada solar utk menekan laju impor BBM juga turut berpengaruh. Demikian pula dgn krisis energi di Uni Eropa, Tiongkok, dan India yang menyebabkan negara-negara tersebut melakukan peralihan ke minyak nabati. Faktor lainnya, yaitu gangguan logistik selama pandemi Covid-19, seperti berkurangnya jumlah kontainer dan kapal.

Salah satu artikel dari situs berita yg saya baca mengungkapkan, bahwa meskipun Indonesia adalah produsen crude palm oil (CPO) terbesar, namun kondisi di lapangan menunjukkan sebagian besar produsen minyak goreng tidak terintegrasi dengan produsen CPO. Dengan entitas bisnis yang berbeda, tentunya para produsen minyak goreng dalam negeri harus membeli CPO sesuai dengan harga pasar lelang dalam negeri, yaitu harga lelang KPBN Dumai yang juga terkorelasi dengan harga pasar internasional. Akibatnya, apabila terjadi kenaikan harga CPO internasional, maka harga CPO di dalam negeri juga turut menyesuaikan harga internasional.

PILIH HARGA MAHAL TAPI ADA ATAU HARGA MAHAL TAPI LANGKA?

Saat biaya produksinya naik yg membuat harga produknya menjadi mahal, muncul tuntutan utk menurunkan harganya. Saat harganya diturunkan, distributor tdk mau rugi sehingga menahan distribusinya. Akibatnya, bukannya mendapatkan harga yg rendah, tetapi produknya jadi langka dan harganya masih tetap mahal. Pelajaran pentingnya adalah bahwa bersyukur dan bersabar itu baik. Ada barang walau harganya mahal krn biaya produksi yg tinggi jauh lebih baik dari pada barangnya langka dan harganya tetap mahal.

#PersepsiCahyana

Kamis, 17 Februari 2022

Budaya dan Dakwah Agama


Gagasan Islam sebagai budaya atau membudayakan Islam (sebagai lawan mengislamkan budaya) tertuang dalam buku Ma'alim fii Thariq yg ditulis oleh Sayyid Qutb (tokoh Ikhwanul Muslimin) yg menjadi referensi kalangan jihadis sampai sekarang. Gagasan demikian apabila dibarengi penolakan terhadap budaya lain mencerminkan kebiasaan penguasa di masa lalu yg gemar menghancurkan produk budaya saingannya atau di luar kelompoknya saat penaklukan, seperti bangunan, tulisan, dls; termasuk membunuh pembuat atau pewarisnya agar budaya tsb musnah.

Budaya populer itu makin dilarang makin menantang, terutama apabila masih ada pelaku budaya atau kesadaran umum akan arti penting menjaga budaya. Budaya itu timbul tenggelam dgn sendirinya, seiring dgn perkembangan pengetahuan atau munculnya budaya baru yg lebih menarik. Terkadang budaya lama begitu berat utk dipertahankan krn kebiasaan manusia yg mulai berubah dan ketidaksiapan budaya tsb utk beradaptasi.

Teknologi adalah salah satu komponen budaya. Sebagian kalangan memahami wayang atau gamelan sebagai teknologi atau outputnya. Lepas dari itu, keduanya merupakan media pembelajaran audio visual, tdk jauh berbeda dgn perangkat digital yg menayangkan film animasi edukatif. Kalangan pendidikan memahami bila pembelajaran dgn audio visual jauh lebih efektif dari pada audio semata. Efektivitasnya bertambah saat media tsb sesuai dgn karakteristik audien. Sunan Bonang ataupun Sunan Kalijaga yg menggunakan gamelan dan wayang sebagai media pembelajaran merupakan contoh pendidik yg faham teknologi pendidikan dan menerapkannya sesuai lingkungan.

#PersepsiCahyana

Rabu, 16 Februari 2022

Menghormati Bendera

Saat aktif di Pramuka Penggalang, saya menerima pengajaran dari kakak senior yg mengharuskan saya utk memuliakan bendera Merah Putih. Saat hujan harus diturunkan, dan saat jatuh ke tanah harus segera diambil. Dan itu benar-benar dipraktikan bersama adik kelas saat kegiatan Pramuka mingguan. Dalam pemahaman saya sekarang, memuliakan bendera seperti itu semata krn menghormati para pejuang. Berkibarnya Merah Putih di masa lalu itu sangat berat, bahkan harus berkorban nyawa. 

Saat kelas 3 SMA saya menghindari upacara bendera krn mendapat pemahaman lain, sekalipun tdk sampai memandang Sang Saka sebagai thought. Satu tahun itu saya piket terus di ruang PMR. Kemudian setelah kuliah saya berada di lingkungan kalangan tradisi yg menetralisir pemahaman keagamaan yg keliru, sehingga akhirnya cara pandang saya kpd bendera kembali seperti di masa aktif Pramuka lagi.

#BiografiCahyana

Senin, 14 Februari 2022

Alasan Jalan Tidak Gratis

Di musim penghujan ini ada banyak sekali lubang di jalanan. Lubang tersebut membuat kaki-kaki kendaraan bermotor mengalami siksaan, sehingga penggunanya mungkin pada akhirnya harus mengeluarkan biaya service. Tetapi kerugian demikian tdk seberapa dibandingkan kehilangan nyawa. Ada kalanya lubang di jalanan menyebabkan pengendara mengalami kecelakaan. 

Semakin panjang jalan, semakin mahal biaya pemeliharaannya. Semakin terbatas anggarannya atau panjang proses birokrasinya, semakin lambat proses pemeliharaannya. Itulah mungkin sebab kenapa sebagian jalan menjadi jalan tol yg dikelola oleh swasta, di mana biaya pemeliharaannya dibebankan hanya kepada penggunanya saja. 

Kalau semua jalan gratis, hal tsb akan sangat membebani anggaran pendapatan dan belanja daerah, membebani seluruh rakyat baik yg menggunakan atau tdk menggunakan jalan tsb. Rakyat di pelosok ikut menanggung pemeliharaan jalan di tempat lain yg kondisinya jauh lebih baik dari jalan di tempatnya. 

#PersepsiCahyana

Minggu, 13 Februari 2022

Prasangka di Tengah Bencana Covid-19


Medsos mulai ramai lagi oleh kiriman kalangan yg menyangkutpautkan fenomena kenaikan angka kasus Covid-19 dgn prasangka yg bersifat imajinatif hingga cocokologi. Utk memahami sebab munculnya kebijakan pembatasan pergerakan, seorang pencari fakta akan membaca statistik yg menjadi dasarnya, misalnya tingkat ketersediaan ruang rawat pasien Covid-19.

Kalau hanya melihat dari sisi regulator yg telah dilabeli buruk oleh sebagian kalangan, orang awam yg terpengaruh mungkin akan setuju dgn promosi kalangan tsb yg menyatakan kebijakan pembatasan pergerakan itu aneh, terlebih bila muncul menjelang hari atau bulan tertentu. Tetapi kalau melihatnya di sisi data, orang yg niat mencari fakta akan sampai pada pertanyaan misalnya, apakah ratusan orang yg mulai mengisi bangsal perawatan Covid itu menyempatkan diri utk buang2 waktu dirawat di ruangan tsb, atau mereka benar2 terinfeksi? Tentu saja kita yg percaya kapasitas medis secara umum (dgn menghindari generalisasi keliru atas kasus medis yg menyimpang) akan lebih percaya dugaan yg kedua. Mereka tdk mungkin ingin mengganggu orang banyak, dan infeksi yg mereka derita pun tdk diinginkannya.

Pertanyaan berikutnya yg penting bagi ilmuan adalah, knp kenaikannya terjadi menuju tengah tahun, lepas ke depannya ada hari sakral keagamaan, hari nasional, atau hari apapun?. Pertanyaan ini menjadi aneh saat kalangan tertentu menyangkutpautkannya dgn tuduhan anti hari atau bulan tertentu, seperti masyarakat jaman dulu yg menyangkutpautkan kejadian gerhana dgn sesuatu yg tdk masuk akal. Kita telah masuk di era modern, di mana segala alasan bisa diperoleh berbasis data dgn cepat menggunakan perangkat digital. Sayangnya masih ada yg masih asik melanjutkan kebiasaan masyarakat pre modern yg menjadikan imajinasi atau cocokologi sebagai pemimpin akal.

#PersepsiCahyana

Geliat Wisata Garut

Garut menyimpan banyak pesona alam yg menarik utk dilihat dan dinikmati. Sepertinya sdh ada banyak hotspot objek wisata baru yg dikembangkan oleh sejumlah desa. Hanya tinggal bagaimana cara kita menemukannya, apakah dgn cara mulut ke mulut, atau dgn melihat peta wisata digital. 

Di masa kolonial lalu, perusahaan tour & travel yg berdomisili di Batavia menawarkan paket perjalanan ke beberapa titik objek wisata terkenal di Garut. Sama seperti pengalaman sekarang ini kalau mau wisata ke Bali, kita diberikan banyak alternatif perjalanan wisata beberapa hari di sana. 

Semoga pada waktunya, Garut kembali menjadi destinasi wisata terkenal seperti dulu lagi, terutama setelah ada pintu akses cepat, seperti gerbang tol dan stasiun kereta api. Dan yg terpenting, semoga Garut tdk kehilangan kesejukannya dgn bertahannya banyak hutan lindung dari perambahan ilegal.

#PersepsiCahyana

Rabu, 09 Februari 2022

Sajian Pengetahuan

 


Sulitnya memahami suatu pengetahuan tidak selalu disebabkan karena ketidakmampuan pemilik pengetahuannya dalam menjelaskannya, tetapi mungkin saja karena ada tangga pengetahuan yang perlu dinaiki oleh audien utk dapat memahami pengetahuan tersebut. Tanda pengetahuannya siap saji adalah adanya pemilik pengetahuan lain yang dapat memahaminya dan bahkan mampu menjelaskannya atau ikut melengkapinya. 

Pengetahuan itu disajikan oleh pemilik pengatahuan dengan memperhatikan audien, apakah hanya diri sendiri atau orang lain. Sulitnya memahami pengatahuan yang tersaji menjadi tanda kemungkinan pengetahuan itu belum siap untuk dikonsumsi. Untuk dapat mengkonsumsinya harus ada upaya untuk meminta penjelasan agar pemilik pengetahuan menyajikan ulang pengetahuannya dengan memperhatikan target audien baru.  

#PersepsiCahyana