Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Permendikbud 49/2014 Pasal 1:14)

Sekolah Tinggi Teknologi Garut

Diselenggarakan mulai tahun 1991 dan bernaung di bawah Yayasan Al-Musaddadiyah. http://www.sttgarut.ac.id/

Program Studi Teknik Informatika

Berdiri pada tanggal 30 Juni 1998 dan terakreditasi B. http://informatika.sttgarut.ac.id/

Rinda Cahyana

Dosen PNS Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dpk Sekolah Tinggi Teknologi Garut sejak tahun 2005

Sabtu, 11 November 2017

Interaksi Saya dengan Front Pembela Islam


Sejak tahun 1997 saya mukim di pondok pesantren mahasiswa. Saya pernah bertemu dengan al-Habib Muhammad Rizieq Syihab di rumah pimpinan pondok pesantren mahasiswa. Sungguh kebetulan sekali karena pertemuan itu terjadi dalam periode penelaahan mandiri karya tulis Ibnul-Qayyim, topik pergerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin, dan sebelum interaksi saya dengan Syabab Hizbut Tahrir di Garut. Kebetulan pimpinan pondok pesantren memiliki hubungan yang cukup baik dengan pucuk pimpinan FPI (Front Pembela Islam) tersebut. Pertemuannya dilaksanakan pada malam hari yang dihadiri oleh seluruh santri mahasiswa Sekolah Tinggi Teknologi Garut. 

Waktu itu saya banyak mendengar di kalangan pegiat Islam bahwa Laskar Jihad pimpinan Jafar Umar Thalib diupamakan seperti tentaranya umat Islam, dan Laskar FPI diumpamakan seperti polisinya umat Islam. Apa yang saya dengar tersebut kemudian ditanyakan maksudnya kepada Habib. Dengan lemah lembut beliau menjelaskan fungsi laskar FPI dalam kaitannya dengan amar ma'ruf nahyi munkar dan menyampaikan pendapatnya tentang Laskar Jihad secara ringkas. Penjelasan beliau memberi tambahan pengetahuan saya seputar pergerakan Islam, khususnya yang ada di Indonesia.

Beberapa waktu kemudian saya diminta oleh pimpinan pondok pesantren untuk memimpin suatu kegiatan se Jawa Barat di Garut. Saya sering menyelenggarakan kegiatan saat aktif di Generasi Muslim al-Muhajirin atau Palang Merah Remaja. Tetapi untuk yang satu ini saya merasa tidak bisa menyelenggarakannya sendirian. Syukurlah saya memiliki banyak kenalan teman-teman kampus, adik-adik tingkat yang aktif di organisasi mahasiswa Islam eksternal kampus. Pimpinan pondok dan teman-teman menunjuk saya sebagai ketua pelaksana, sekalipun saya sudah menyampaikan usulan agar salah satu teman yang bergabung dalam kepanitiaan yang menjadi ketua pelaksananya. Saya setuju dengan catatan bahwa teman tersebut bertanggung jawab atas operasional kegiatannya. 

Kegiatan tersebut adalah Musyawarah Daerah FPI Jawa Barat yang pertama. Saya tidak terlalu faham FPI itu apa, tetapi pimpinan pondok pesantren lebih faham karena banyak berinteraksi dengan pengurus pusatnya. Saya melaksanakan tugas tersebut dengan dua alasan, 1) Menghormati permintaan ketua pondok pesantren, dan 2) Ingin membantu sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam. Dengan alasan tersebut saya menyanggupi untuk menjadi ketua pelaksana kegiatannya. 

Saat kegiatan itu berlangsung, saya hampir tidak mengikuti kegiatannya. Saya stand-by di kobong. Saya telah menyerahkan operasional kegiatannya secara penuh kepada teman yang saya percayai tersebut. Rupanya dia sangat handal sehingga dapat mengelola kegiatan pemilihan ketua FPI Jawa Barat yang pertama itu hingga selesai. Itulah sebab kenapa saya memilihnya, karena saya yakin dia lebih faham dari pada saya soal tata tertib dan administrasi pemilihan ketua kepengurusan. Walau saya diminta sebagai ketua pelaksana Musyawarah Daerah FPI Jawa Barat, tetapi saya tidak pernah diminta untuk menjadi anggota FPI. Oleh karenanya, setelah selesai kegiatan tersebut, saya kembali melaksanakan rutinitas di kobong, mengikuti pengajian, membaca buku, dan mengamalkan aurod, jauh dari kegiatan organisasi apapun. 

Beberapa tahun kemudian saya mendengar berita tentang FPI, mulai dari berita positif dan negatif. Saya membaca bagaimana gesekan FPI dengan akar rumput Nahdiyin mengeras saat Habib mulai mengkritik dengan gaya bicara orang Betawinya kepada Gus Dur. Saya membaca bagaimana media mengeksploitasi gesekan FPI dengan masyarakat untuk kepentingan rating. Bahkan ada lembaga independen yang secara khusus membuat daftar masalah tersebut dan mempublikasikannya di internet, yang dimanfaatkan oleh banyak perkumpulan untuk mendorong pembubaran FPI. Dan sekarang ini saya membaca bagaimana FPI yang didirikan pada tanggal yang sama dengan kemerdekaan Indonesia itu dikait-kaitkan dengan organisasi teroris. 

Sebenarnya FPI ini memiliki banyak kegiatan yang pasti akan dinilai positif oleh umumnya masyarakat, seperti misalnya kegiatan relawan dalam kejadian Tsunami Aceh. Namun pemberitaan yang banyak dimunculkan di media sosial lebih banyak seputar gesekan tersebut. Nahyi munkar yang menjadi penciri umat Islam itu penting adanya di tengah masyarakat yang mulai melepaskan kearifan lokalnya. FPI memiliki prosedur nahyi munkar yang tidak melanggar aturan pemerintah dan telah melaksanakannya. Hanya tinggal mengendalikan pelaksana dan mengelola pemberitaannya saja agar direspon positif oleh masyarakat yang memerlukan ketertiban umum.

Semoga saja Rabithah Alawiyah sebagai induk dari segala organisasi habaib (seperti Majelis Rasulullah, Nurul Mustafa, FPI, dan lain sebagainya) dapat memberikan pendampingan agar FPI dapat menjadi organisasi yang dapat melaksanakan nahyi munkar dalam wajah yang lebih simpatik lagi, sekalipun kita tahu tidak mungkin semua orang dibuat simpatik dengan nahyi munkar, seperti pelaku maksiat yang melanggar aturan pemerintah, syariat agama, atau nilai dan norma budaya bangsa. Karena bagaimanapun, FPI yang dianggap sebagai organisasi habaib oleh Habib Zen, harus dapat mewujudkan rahmatan lil alamin dan menjadi "telaga al-kautsar" yang menghilangkan dahaga masyarakat yang terganggu oleh kemunkaran dengan kelezatan rasa yang abadi di dalam hati.

Rabu, 01 November 2017

Evaluasi Masukan Lulusan 2017

Saya memulai evaluasi ini dengan mengutip kalimat Imam Syafi'i r.m, "Jika kau tdk bisa menahan lelahnya belajar, maka kau hrs bisa menahan perihnya kebodohan." Ketahuilah bahwa dimensi belajar itu luas dan proses belajar itu harus dilalui manusia dari mulai dalam buaian hingga liang kubur.

Tahun ini lebih dari seratus lulusan prodi (program studi) Informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut dilepas dalam acara wisuda sarjana. Prodi menerima pernyataan dari para lulusan, di mana 44 % di antaranya menyatakan permasalahan pelayanan, kemahasiswan, pembelajaran, dan kebijakan; sementara 56 % tidak menyatakan permasalahan. Dalam kaitannya dengan permasalahan, satu orang mahasiswa dapat menyatakan lebih dari satu permasalahan. Walau suara pernyataan masalahnya tidak besar, namun saya akan berusaha memberikan tanggapan. Sebagian tanggapan sudah disampaikan oleh saya baik secara online di media sosial ataupun offline di kantor program studi dan tempat lainnya. Pengulangannya diharapkan dapat bermanfaat bagi lulusan yang mungkin belum sampai kepadanya tanggapan tersebut atau belum memahami penjelasan di dalamnya. Berikut ini statistik permasalahan berdasarkan pernyataan pesan lulusan prodi Informatika dalam buku Wisuda Sarjana XVI Sekolah Tinggi Teknologi Garut :


A. PELAYANAN

Komunikasi Antar Personal

Masukan dengan persentase pernyataan 10 % adalah terkait komunikasi lembaga, prodi, dosen, dan staf dengan mahasiswa, dalam upaya menjalin hubungan baik antara semua pihak. Komunikasi pertama prodi dengan mahasiswa adalah pada saat MABIM (Masa Bimbingan) prodi Informatika pada semester pertama. Dalam kesempatan tersebut mahasiswa diberikan ruang untuk menyampaikan permasalahan dalam pengalaman pertama mereka mengikuti perkuliahan di kampus Sekolah Tinggi Teknologi Garut. Prodi dan lembaga / pihak kampus memberikan penjelasan sebagai jawaban atas permasalahan yang disampaikan.

Kesempatan lainnya diperoleh mahasiswa melalui BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Beberapa pertemuan lembaga dengan mahasiswa telah digelar dalam rangka membahas permasalahan yang dihadapi oleh mahasiswa dalam proses pembelajarannya. Organisasi mahasiswa memainkan peranan penting sebagai medium atau jembatan komunikasi mahasiswa dengan lembaga. Tidak terkecuali Himpunan Mahasiswa. Sebagaimana dijelaskan oleh saya kepada Himpunan Mahasiswa Informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut dalam kesempatan MABIM pada bulan Februari 2016. Pesan tersebut diulang oleh saya dalam Musyawarah Besar pada bulan Oktober 2016 agar pengurus baru dapat melaksanakan arahan yang saya tuangkan dalam slide presentasi MABIM 2016.


Dalam MABIM 2016 tersebut, saya menjelaskan bahwa Himpunan Mahasiswa dalam kaitannya dengan ketuntasan kuliah mahasiswa harus berperan aktif mendampingi mahasiswa informatika selaku anggotanya dalam mengatasi habatan perkuliahan melalui kelompok belajar, forum komunikasi himpunan mahasiswa, serta advokasi masalah prodi dan kampus. Himpunan mahasiswa harus secara pro aktif dapat mencatat permasalahan mahasiswa melalui komunikasi lintas angkatan, menyampaikannya kepada prodi untuk permasalahan terkait prodi, dan menyampaikannya kepada BEM untuk permasalahan terkait kampus. Himpunan mahasiswa tidak boleh membiarkan permasalahan mahasiswa menjadi kegelisahan luas yang tidak kunjung selesai dan meluap ke luar kampus. Pengurus Himpunan harus berusaha membantu anggotanya seoptimal mungkin.  

Dengan demikian permasalahan komunikasi ini tidak hanya menggambarkan kelemahan kampus, prodi, dosen, atau staf, tetapi juga kelemahan mahasiswa itu sendiri terkait peran BEM dan Himpunan Mahasiswa. Prodi informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut menyediakan beragam cara bagi mahasiswa untuk menyampaikan permasalahannya dan mendapatkan jawabannya, melalui dosen wali selaku konselornya, melalui organisasi himpunan mahasiswa selaku perkumpulan yang menaunginya, atau langsung kepada ketua atau sekretaris prodi baik secara offline ataupun online. Artinya pintu komunikasi dibuka lebar oleh prodi, hanya perlu keberanian saja untuk menyampaikan permasalahan tersebut dan kedewasaan dalam menerima jawabannya. Dengan dua sikap tersebut hubungan baik kampus, prodi, dosen, dan staf dengan mahasiswa bisa terjaga.

Fasilitas Kampus

Sekitar 7 % pernyataan adalah terkait fasilitas kampus, yang secara khusus menyoroti area parkir dan toilet pria. Hampir setengah populasi mahasiswa kampus Sekolah Tinggi Teknologi Garut adalah mahasiswa prodi Informatika, dan populasi ini berkembang pesat. Rata-rata jumlah mahasiswa prodi Informatika per tahunnya adalah 124 orang, dan jumlah populasinya lima tahun terakhir adalah 2,489 orang mahasiswa. Tentunya apabila tingkat kepemilikan kendaraan tinggi hal ini membuat ruang parkir di dalam kampus semakin sempit. Oleh karenanya mulai tahun 2017 ini, khusus untuk kendaraan roda empat milik mahasiswa sudah mulai diarahkan untuk menempati ruang parkir di luar kampus, tepatnya di dalam kompleks yayasan al-Musaddadiyah yang terpisah jalan kecil dengan kompleks kampus. Area kompleks yayasan al-Musaddadiyah, tepatnya di depan gedung olah raga, memiliki ruang parkir yang cukup dan dijaga oleh aparat keamanan profesional dari Red Guard. Dengan demikian kampus sudah berusaha untuk menyediakan area parkir yang memadai untuk mahasiswa. Mungkin sebagian dari lulusan yang memberi pernyataan 7 % ini ada yang belum mencoba parkir di area leluasa tersebut. Boleh jadi sebabnya adalah karena harus berjalan sekian meter ke kompleks kampus.

Populasi juga mempengaruhi kebutuhan toilet. Semakin banyak mahasiswa, semakin banyak pula jumlah toilet yang dibutuhkan. Sementara ini pekerjaan terkait fasilitas yang dilaksanakan oleh bidang sarana prasarana banyak sekali. Sejumlah pekerjaan yang sudah dilaksanakan antara lain pembangunan ruang laboratorium, masjid kampus, sarana olah raga, serta perbaikan gedung berikut ruangan di dalamnya. Sekarang setiap ruang kelas sudah dilengkapi proyektor dan AC seperti ruang laboratorium komputer. Tentu saja toilet menjadi perhatian kampus, mulai dari perbaikan ruangannya hingga penambahan jumlahnya. Hanya saja penambahan toilet ini belum dilaksanakan karena waktu pelaksanaannya belum tiba.

Layanan Kampus
   
Sekitar 3 % menyatakan persoalan layanan kampus, khususnya internet gratis dan kinerja staf. Sebenarnya internet gratis sudah disediakan oleh kampus melalui dua sumber. Sumber pertama adalah jalur Wifi ID yang merupakan kerjasama kampus dengan PT Telekomunikasi Indonesia, dan sumber kedua adalah jalur internet milik kampus. Titik aksesnya tersebar di beberapa lokasi kumpul mahasiswa. Barangkali yang dimaksud oleh mahasiswa bukan pada jumlah titik akses, tetapi kecepatan / bandwidth nya. Tentu saja kampus sangat senang apabila mahasiswa mendapatkan internet berkecepatan tinggi, tetapi layanan tersebut akan berpengaruh terhadap biaya perkuliahan. Sementara ini kampus tidak ingin menjadikan internet sebagai beban pembiayaan besar bagi mahasiswa. Beban internet sendiri tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan kegiatan mandiri mahasiswa, tetapi juga untuk kebutuhan praktikum dan pelayanan.

Cita rasa layanan kampus bergantung kepada kinerja staf. Kinerja ini berkaitan dengan ketepatan dan kecepatan kerja layanan. Terbatasnya sumber daya manusia dan teknologi informasi lah barangkali yang menyebabkan kerja layanan tidak sangat cepat. Namun kampus telah berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seperti dengan menyediakan situs web, anjungan informasi mandiri, dan aplikasi mobile yang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mendapatkan informasi akademik lebih cepat di mana saja dan kapan saja. Prodi informatika sendiri sementara ini hanya memiliki satu staf yang melayani sekitar 200 an yang terdiri dari dosen dan mahasiswa, khususnya untuk urusan praktikum, kerja praktek, dan skripsi. Hal ini barangkali berpengaruh terhadap kecepatan pelayanan. Karena suara persoalannya hanya 3 %, maka besar kemungkinan mahasiswa secara umum menganggap kinerja staf ini sudah memadai. Persoalan kinerja staf ini barangkali dihadapi oleh mahasiswa dengan keadaan yang tidak umum.

Kelas untuk Karyawan

Istilah kelas karyawan / non reguler sebenarnya tidak dikenal di Sekolah Tinggi Teknologi Garut. Prodi informatika hanya menyelenggarakan kelas reguler saja. Hanya saja memang ada kelas khusus yang umumnya diisi oleh karyawan dan jadwal kuliahnya didesain agar sesuai dengan waktu kerja karyawan. Walau demikian waktu kuliah tatap muka, praktikum, dan lainnya tetap memperhatikan SNPT (Standar Nasional Pendidikan Tinggi). Karenanya perkuliahannya dilaksanakan sampai masuk waktu lembur / di luar rentang jam kerja. Idealnya untuk karyawan ini kampus menyelenggarakan Pendidikan Jarak Jauh yang telah ada payung hukumnya. Hanya saja untuk sementara ini kampus belum dapat / siap melaksanakannya.

Pada tahun 2017, di saat populasi mahasiswa semakin bertambah, prodi informatika merasa tidak lagi dapat menyelenggarakan jadwal khusus bagi mahasiswa karyawan. Akhirnya diputuskan tidak lagi akan menyediakan jadwal khusus mahasiswa karyawan mulai tahun 2017. Dengan demikian, harapan yang tercermin dari 1 % suara ini mungkin tidak dapat dilaksanakan Sekolah Tinggi Teknologi Garut dalam waktu dekat ini. Perlu waktu bagi kampus untuk menyediakan sistem pendidikan jarak jauh bagi karyawan yang ingin melanjutkan pendidikan bidang informatika di Garut.

KEMAHASISWAAN

Dalam kaitannya dengan fasilitasi kegiatan UKM, khususnya yang berelasi dengan program pengabdian kepada masyarakat, prodi telah memberikan dukungan penuh. Prodi membantu UKM Relawan / Komunitas TIK atau Pramuka dalam berbagai tindakan, termasuk bantuan dana kegiatan, untuk program Seminar dan Pelatihan Masyarakat Informasi, Forum Masyarakat Informasi Garut, Olimpiade Komunias TIK se Garut, dan lain sebagainya. Prodi secara aktif membagikan informasi perlombaan di grup Himpunan Mahasiswa dengan harapan ada mahasiswa yang ikut serta. Tentunya juga siap membantu pembiayaannya sekiranya diajukan oleh mahasiswa yang bersangkutan. Hanya saja memang belum ada mahasiswa yang mengajukan pembiayaan tersebut kepada prodi.

Prodi tahun 2017 ini tengah menjalin kerjasama dengan Himpunan Alumni Informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut untuk penyediaan dana kemahasiswa tersebut. Tidak hanya untuk keperluan akomodasi mengikuti lomba, dapat juga digunakan untuk memberikan apresiasi terhadap mahasiswa informatika yang meraih juara kesatu dalam kegiatan lomba. Sekarang ini penggalangan dana sumbangan dari alumni tengah berjalan sebagaimana diketahui dari situs webnya. Rencananya dana yang terkumpul dapat dialokasikan untuk bantuan kuliah, kemahasiswaan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta fasilitas belajar.  Usaha tersebut telah disosialisasikan pada tanggal 26 Agustus 2016 kepada seluruh peserta skripsi / calon alumni dari angkatan 2013 dan 2015.  Langkah ini semoga dapat memenuhi harapan lulusan pemilik suara 2 % ini.     


PEMBELAJARAN

Peningkatan Materi Perkuliahan

Suara yang menyatakan masalah pembelajaran hanya 9 %. Walau minor, prodi sangat memperhatikan mengingat pembelajaran ini menentukan tercapainya luaran pembelajaran. Usaha peningkatan materi perkuliahan dilaksanakan oleh prodi dengan cara mengikutsertakan dosen dalam pelatihan dan sertifikasi kompetensi level internasional secara bertahap. Satu dosen telah dilatih oleh Google, dan tiga lainnya telah mendapatkan gelar Microsoft Technology Associate. Selain itu prodi juga telah menjalin kerjasama dengan Oracle Academy dan menggelar webinar bagi dosen dan mahasiswa pada 28 September 2017 silam dalam acara Inaugurasi Alumni. Oracle Academy sebagaimana Google juga menyediakan kurikulum yang dapat diadopsi oleh prodi dalam matakuliah terkait. Hal tersebut diharapkan dapat memberi masukan atau gagasan terkait materi perkuliahan.

Cara lainnya adalah dengan mendorong dosen agar dapat mengajarkan pengetahuan dan teknologi terkini, seperti menyediakan matakuliah pilihan pemrograman mobile yang pemafaatan teknologinya sekarang ini sangat banyak dan luas. Selain itu prodi memanfaatkan dana sumbangan alumni 2015 dan 2016 sebesar Rp 10,030,000 untuk dibelikan 78 buku yang mengandung pengetahuan terkini dan dapat dirujuk oleh dosen dalam perkuliahannya.  Yang pasti prodi telah mengupayakan adanya peningkatan materi perkuliahan bagi dosen. Tinggal dilakukan evaluasi untuk melihat apakah ada pembaruan rencana perkulian semesternya.   

Peningkatan Waktu Praktikum

Sekitar 2 % suara mempersoalkan waktu praktikum yang belum memadai. Barangkali pendapat minoritas ini muncul karena adanya hambatan pada sebagian kecil lulusan dalam menguasai pengetahuan dan keterampilan dalam bidang informatika.

Menurut SNPT di antara hak lulusan adalah mendapatkan sertifikat kompetensi yang tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan teoritis saja, tetapi juga keterampilan "lapangan" dalam menggunakan metode atau perangkat. Tentunya kegiatan praktikum memberi kontribusi besar selain tatap muka terhadap pemenuhan sertifikasi kompetensi tersebut. Oleh karenanya praktikum ini diberikan perhatian khusus oleh prodi, termasuk dengan menyediakan sks khusus untuk matakuliah praktikum. Pelaksanaannya sks nya pada tahun ini sama dengan kuliah tatap muka. Prodi tidak dapat membuat besar SKS nya berubah hingga dilakukan perubahan kurikulum. Oleh karenanya prodi hanya berusaha mengoptimalkan pemanfaatan waktu praktikumnya saja. Pelaksanaannya sangat bergantung kepada dosen dan pengawasan prodi.

Dosen wajib memberikan kuliah tatap muka sebagai pengantar praktikum untuk 1 SKS matakuliah praktikum yang diampunya selama 50 menit, kemudian 170 menit sisanya digunakan untuk praktikum dibantu oleh asisten praktikum. Dosen wajib melaksanakan ujian dan memberikan tugas sebagaimana kuliah tatap muka. Dan prodi telah membuat standar pembagian waktu ujian sebagai berikut : 5 menit digunakan untuk persiapan, 40 menit untuk ujian online, 60 menit praktek, dan 5 menit untuk menutup ujian.  Hal tersebut dikarenakan peserta praktikum dalam satu laboratorium dibagi dua kelompok, yang masing2 kelompok memiliki waktu 110 menit untuk ujian praktikum. Pengaturan waktu ini diharapkan memberikan waktu yang memadai bagi mahasiswa untuk mendapatkan keterampilan sesuai dengan capaian pembelajaran yang diharapkan.

Proses Skripsi yang Ketat

Mungkin proses ketat yang dimaksud adalah terkait kendali standar tata tulis laporan skripsi yang dilakukan oleh prodi. Kendali ini dilakukan saat adanya temuan lolosnya laporan skripsi yang tidak memenuhi standar tata tulis dari dosen pembimbingnya. Dan beberapa mahasiswa mengatakan kalau mereka mencontoh laporan sebelumnya dan bukan merujuk buku pedoman skripsi dalam menyusun laporan skripsinya. Kalau prodi tidak melibatkan diri dalam kendali standar tata tulis laporan skripsi, masalah ini akan terulang tahun depan. Kendali ini seharusnya dilaksanakan oleh dosen pembimbing, namun dalam kondisi seperti ini prodi berpandangan harus menerapkan kendali dua lapis. Jangan sampai ada lagi mahasiswa tahun depan yang mengatakan kesalahan tata tulisnya adalah disebabkan mencontoh laporan skripsi tahun lalu yang kenyataannya tidak memenuhi standar.

Memang benar bahwa yang esensi dari penelitian adalah isi laporannya. Namun tata tulis yang baik mencerminkan kemampuan mahasiswa dalam menyusun sebuah laporan yang baik. Oleh karenanya prodi mengambil peran kendali tersebut. Dan bagi sebagian lulusan, kendali tersebut dianggap merepotkan. Bagi prodi, pendapat 2 % yang mengeluhkan pengendalian ini menggambarkan hanya sebagian kecil lulusan saja yang tidak memiliki sikap tanggung jawab terhadap almamater sekaligus serius dalam melaksanakan penelitian atau belajar. Dan hal tersebut menunjukan bahwa umumnya lulusan memiliki rasa memiliki terhadap almamaternya. Mereka rela menempuh proses skripsi yang ketat karena barangkali menyadari proses tersebut sudah seharunya dilaluinya sebagai bagian dari proses kelulusannya, dan menyadari kualitas penelitian skripsi di masa depan bergantung kepada hasil kerja penelitian mereka.

Selama perbaikan skripsi ini belum selesai, maka syarat mendapatkan ijazah belum terpenuhi. Bagi sebagian peserta sidang skripsi, memperbaiki isi dan tata tulis skripsi itu dipersyaratkan dalam sidang. Seharusnya mereka yang belum memperbaikinya belum dapat mengikuti wisuda karena nilai akhir skripsinya ditahan hingga perbaikannya selesai. Apalagi terhadap mahasiswa yang lulus skripsi dengan nilai A dan B, prodi tentu saja tidak akan membiarkannya selesai dengan kualitas tata tulis yang tidak standar, seperti misalnya daftar pustaka yang tidak sesuai dengan gaya APA. Pun demikian apabila syarat lainnya seperti keuangan, serta sertifikat kompetensi dan pengabdian kepada masyarakat yang diwajibkan SNPT belum terpenuhi, mereka tidak dapat mengikuti wisuda atau tidak dapat mengambil ijazah. Kampus atau prodi memiliki kebijakan yang ada kalanya memudahkan proses skripsi, tanpa kehilangan kendalinya akan kualitas.

Peningkatan Kualitas Pembelajaran

Sekitar 3 % pernyataan menunjukan adanya masalah dalam kualitas pembelajaran. Tetapi kita tahu 87 % tidak menyatakannya demikian. Walau demikian prodi memperhatikan masalah ini. Dan sebenarnya prodi telah mengupayakan agar ada jaminan kualitas pembelajaran.

Sebagian suara minor tersebut menyatakan adanya masalah karena dosen yang tidak hadir tepat waktu. Prodi telah membuat aturan kelas, di mana dalam kaitannya dengan Pembentukan Sikap Disiplin, aturan menyatakan bahwa dosen memiliki waktu 15 menit dari awal waktu perkuliahan untuk hadir di kelas. Apabila tidak berhasil atau tidak hadir tanpa konfirmasi dalam rentang waktu tersebut, maka perkuliahan pada minggu itu diangap gagal diselenggarakan. Walau demikian mungkin saja ada dosen yang tidak mentaati aturan tersebut, sekalipun prodi telah  mensosialisasikannya pada tanggal 22 Agustus 2017 kepada seluruh dosen informatika. Mahasiswa yang juga telah mendapatkan sosialisasi melalui papan aturan atau dosen sebenarnya dapat mengingatkan dosen terhadap aturan tersebut. Kalau tidak mampu, dapat menyampaikan persoalan tersebut kepada prodi.

Soal metode dan objektivitas penilaian bergantung kepada dosen. Tentunya prodi dan lembaga penjamin mutu melakukan pengawasan terhadap metode tersebut. Prodi atau lembaga memang belum secara khusus menyelenggarakan pelatihan Program Peningkatan Keterampilan Dasar Teknik Intruksional untuk semua dosen. Walau demikian, sejumlah dosen telah mengikuti program tersebut sehingga memahami bagaimana metode pengajaran dan teknik penilaiannya. Barangkali ke depan semua dosen pemula akan diberikan program ini untuk memastikan dapat melaksanakan pengajaran secara profesional.

KEBIJAKAN

Suara yang menyoroti persoalan kebijakan ini kalau ditotalkan sekitar 13 % saja. Artinya ada sebagian kecil lulusan yang merasa kebijakan prodi bermasalah bagi mereka. Sementara mayoritas lulusan tidak merasa perlu menyampaikannya sebagai persoalan penting untuk disampaikan atau tidak menganggapnya sebagai persoalan.

Keterbukaan Kebijakan Prodi dan Sosialisasinya 

Hanya 1 % saja yang menganggap prodi tidak terbuka soal kebijakannya. Pada dasarnya prodi hanya melaksanakan kebijakan strategis kampus. Prodi membuat kebijakan taktis agar kebijakan strategis yang ditetapkan oleh ketua dan / atau wakil ketua Sekolah Tinggi Teknologi Garut dapat dilaksanakan. Kebijakan taktis yang berkaitan dengan mahasiswa selalu disosialisasikan kepada mahasiswa. Sebagai contoh kebijakan sertifikasi kompetensi, program studi mensosialisasikannya sebelum memberlakukannya.

Menurut SNPT, sertifikasi kompetensi ini wajib diberikan oleh penyelengara pendidikan kepada lulusan, selain ijazah, gelar akademik, dan sertifikat pendamping ijazah. Kebijakan strategis dibuat oleh kampus agar SNPT tersebut terpenuhi dan bahkan terlampaui. Maka pada tahun 2016, ketua Sekolah Tinggi Teknologi Garut mewajibkan semua prodi untuk mengupayakan sertifikasi kompetensi tersebut bagi lulusannya. Selama setahun itu prodi informatika berusaha mencari lembaga sertifikasi kompetensinya. Dalam perjalanan setahun itu, sebagian mahasiswa berhasil mengikuti sertifikasi kompetensi gratis yang diselenggarakan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia di Garut. Dan pada tahun itu prodi mendapatkan kesempatan mendirikan lembaga sertifikasi, namun biayanya sangat mahal. Karena hal tersebut akan dapat membebani mahasiswa, maka prodi dengan persetujuan kampus setuju untuk menunda penyediaan serifikasi kompetensi tersebut bagi lulusan. Dan usaha tersebut diceritakan oleh saya dalam matakuliah Riset Teknologi Informasi kepada perserta kuliah yang merupakan calon peserta skripsi.

Barulah beberapa hari setelah diingatkan kembali oleh ketua Sekolah Tinggi Teknologi Garut pada tahun 2017, prodi menemukan lembaga sertifikasi yang biayanya terjangkau oleh mahasiswa di Garut. Sebelum semester Ganjil 2017/2018 dimulai, prodi mensosialisasikan syarat wajib sertifikasi kompetensi tersebut kepada peserta skripsi. Bagaimanapun sertifikasi ini harus dilaksanakan pada tahun 2017 karena merupakan kesempatan terakhir sebelum prodi melaksanakan reakreditasi. Kalau dilaksanakan tahun depan maka prodi selama masa berlaku akreditasi tidak pernah melaksanakan sertifikasi kompetensi tersebut yang diwajibkan oleh SNPT, artinya tidak layak mendapat nilai C dalam memenuhi hak lulusan. 

8 % suara menganggap sosialisasi tersebut mendadak. Bagi prodi, dengan mempertimbangkan kepentingan reakreditasi, lebih baik mendadak dari pada tidak disosialisasikan atau tidak melaksanakan sertifikasi kompetensi. Mereka mempersoalkannya karena terkait dana yang harus merek keluarkan. Padahal kita tahu untuk dapat lulus hingga mengikuti wisuda setiap mahasiswa rela mengeluarkan dana agar segala syaratnya dapat dipenuhi. Jangankan tidak mampu mengikuti sertifikasi yang biayanya 500 ribu, tidak punya uang untuk mencetak dua laporan skripsi saja menjadi sebab tidak dapat diambilnya ijazah.

Prodi menetapkan sertifikat kompetensi tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan ijazah. Kebijakan teknis tersebut untuk menjamin seluruh lulusan mendapatkan sertifikat kompetensi sebagaimana yang dikehendaki oleh SNPT. Prodi dengan nilai akreditasi C saja wajib menjalankan SNPT, apalagi yang nilai akreditasinya B. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa mereka hanya membutuhkan gelar dan ijazah saja, sehingga bersikukuh menolak ikut sertifikasi tersebut. Mereka tidak faham bahwa lulusan di masa depan bergantung kepada diberikan atau tidaknya hak sertifikasi kompetensi kepada mereka. Kita faham bahwa sebagian kecil dari kita ini sedang terkungkung oleh egosime yang menjauhkan diri mereka dari semangat kebersamaan, ingin menyelamatkan diri sendiri dan membiarkan adik tingkatnya menjadi korban. Saya berkata demikian dalam posisi sebagai kakak tingkat.

Mereka juga menganggap kebijakan tersebut baik strategis ataupun taktis disebut sebagai kebijakan sepihak yang diputuskan tanpa mendengarkan keinginan mahasiswa. Pada dasarnya kebijakan dibuat memang harus memperhatikan masukan dari mahasiswa, tetapi bagaimana mungkin kampus melanggar SNPT karena mengikuti keinginan mahasiswa? Bukankah mengikuti SNPT itu adalah juga untuk kebaikan atau masa depan kampus, prodi, mahasiswa, dan lulusan?

Bagi sebagian kecil lulusan, kebijakan taktis seperti itu dianggap memaksakan kehendak. Padahal kita tahu sebagai prodi dengan akreditasi melampaui SNPT, kita memang harus mengikuti kehendak SNPT. Sivitas akademik harus memaksa kehendaknya sendiri, tidak perlu dipaksa oleh kehendak orang lain untuk mengikuti SNPT tersebut. Bagaimana mungkin seorang lulusan yang merasa senang dengan nilai akreditasi B prodi nya itu merasa terpaksa memenuhi SNPT, memangnya nilai akreditasi tersebut diperoleh sesuai dengan kehendak mereka? Atau mungkin mereka adalah kelompok kecil individualistis yang hanya perduli kebutuhan mereka sendiri, dan tidak memperdulikan masa depan lulusan berikutnya yang mewarisi nilai akreditasi baru berdasarkan nilai pelaksanaan SNPT pada masa mereka.

Pada akhirnya prodi tetap melaksanakan kebijakan tersebut. Hampir setengah dari peserta skripsi ikut sertifikasi kompetensi internasional dengan hasil memuaskan. Sisanya mengikuti sertifikasi kompetensi gratis yang disediakan oleh kampus, hasil kerjasama dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dan Lembaga Sertifikasi Kompetensi di Garut. Sebagian yang sudah mendaftar sertifikasi kompetensi internasional yang diselenggarakan oleh prodi dan PKSTI, uangnya dikembalikan kembali karena mereka semua diarahkan prodi untuk mengikuti sertifikasi kompetensi gratis. Keputusan memilih sertifikasi kompetensi internasional dengan biaya termurah dan pembatalan sertifikasi tersebut agar mahasiswa mengikuti sertifikasi gratis cukuplah sebagai bukti bahwa prodi tidak seperti tuduhan mereka. Prodi tidak mencari untung dari kegiatan sertifikasi kompetensi tersebut. Seandainya sertifikasi tersebut boleh tidak dilaksanakan, maka prodi akan memilih untuk tidak melaksanakannya agar energi ini bisa dioptimalkan untuk pekerjaan lainnya yang membutuhkan perhatian.

Kebijakan yang Tidak Konsisten

Di antara 3 % suara itu, ada yang menganggap kebijakan prodi tidak konsisten. Beberapa dari mereka yang sedikit itu mempersoalkan perubahan pedoman, padahal perubahan pedoman itu diperlukan untuk memperbaiki kualitas penelitian. Perubahannya sendiri sudah disosialisasikan saat mereka mengikuti perkuliahan riset teknologi informasi satu tahun sebelum mereka melaksanakan skripsi. Ada juga yang mengatakan kepada saya bahwa alasannya selalu salah dalam tata tulis skripsi adalah karena pedomannya yang diterbitkan oleh prodi selalu berubah, padahal perubahan itu bukan pada tata tulisnya tetapi pada isi pembahasan setiap bagian laporannya.

Mereka juga mempersoalkan banyaknya formulir yang harus mereka lengkapi, padahal formulir yang diberlakukan oleh ketua prodi itu hanya satu, yakni formulir skripsi. Sementara formulir satunya lagi diterbitkan oleh unit kerja lain sebagai sistem kendali yang terpisah dari prodi. Mereka juga merasa marah ijazahnya ditarik kembali karena nama prodi dan gelarnya tercetak belum sesuai dengan edaran dari Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Padahal mereka telah mendapat sosialisasi dalam perkuliahan satu semester sebelumnya bahwa nama prodi dan gelar akan ada perubahan. Secara keseluruhan sikap sebagian kecil lulusan ini didasarkan kepada dugaan dan keinginan sepihak - diri mereka sendiri. Padahal mereka harus sadar, bukan kampus yang harus ikut aturan atau keinginan mereka, tetapi merekalah yang harus mengikuti aturan kampus dan keinginan SNPT.

PENUTUP

Demikianlah tanggapan prodi terhadap 44 % masukan lulusan 2017. Pada dasarnya saya memaklumi kondisi tidak fahamnya lulusan terhadap landasan berfikir kebijakan yang dibuat oleh kampus atau prodi. Saya juga tidak mempermasalahkan segala masukan yang mungkin datangnya lebih karena emosi atau prasangka buruk. Namun saya merasa senang karena sebagian besar dari 44 % itu memberikan masukan konstruktif. Dan uraian masukan dan tanggapan ini semoga menjadi masukan bagi sivitas akademik di lingkungan prodi informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut agar hubungan kita di masa depan tetap terjaga dengan baik. Bagaimanapun yang menyebabkan hubungan memburuk adalah penyakit hati, seperti tergesa-gesa, ikut-ikutan orang lain tanpa pengetahuan, bersangka buruk, dan lain sebagainya. Semoga kita semua terhindar dari padanya dan tetap hidup dalam tradisi kebersamaan.