Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Permendikbud 49/2014 Pasal 1:14)

Sekolah Tinggi Teknologi Garut

Diselenggarakan mulai tahun 1991 dan bernaung di bawah Yayasan Al-Musaddadiyah. http://www.sttgarut.ac.id/

Program Studi Teknik Informatika

Berdiri pada tanggal 30 Juni 1998 dan terakreditasi B. http://informatika.sttgarut.ac.id/

Rinda Cahyana

Dosen PNS Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dpk Sekolah Tinggi Teknologi Garut sejak tahun 2005

Senin, 04 Desember 2017

Apa Kegunaan Kendaraan Buat Dosen ?


Kendaraan membantu mobilitas dosen, terlebih dosen dengan tugas tambahan yang menduduki posisi jabatan di kampus. Dengan terbatasnya kendaraan operasional di kampus, adakalanya dosen memerlukan alternatif kendaraan, mulai dari kendaraan umum, kendaraan rental, hingga kendaraan pribadi. Dalam tuntutan pekerjaan yang membutuhkan fleksibilitas dan kecepatan, pilihan menyewa kendaraan rental diambil oleh dosen. Namun adakalanya biaya operasional tidak cukup untuk menyewa kendaraan, sehingga terpaksa dosen harus menggunakan kendaraan umum dengan resiko tidak tepat waktu, atau membeli kendaraan pribadi yang menjanjikan lebih banyak fleksibilitas. 

Jenis kendaraan yang dipilih oleh dosen tergantung jarak tempuh ke lokasi kegiatan. Untuk kegiatan di dalam kota, mungkin mobil berumur tua cukup bagi dosen. Tetapi untuk jarak jauh, pilihan umumnya adalah kendaraan yang berumur relatif muda. 


Untuk kendaraan yang hanya digunakan sendirian, mungkin kendaraan dengan jumlah jok empat cukup memadai. Tetapi kalau dalam pengabdian kepada masyarakat sering melibatkan mahasiswa atau kolega, kendaraan dengan jumlah jok lebih dari empat sangat direkomendasikan. Kalau tidak cukup dana, yang penting kendaraannya ada jok penumpangnya dan bisa digunakan, hehehe.

Kendaraan pribadi tidak lagi diperlukan saat dosen mengikuti studi lanjut, seandainya kendaraan memang disediakan oleh dosen hanya untuk mendukung tugas fungsionalnya. Tetapi kita tahu kalau dosen tidak semuanya jomblo, ada banyak yang sudah berkeluarga, dan bahkan sudah memiliki satu anak atau lebih. Pak polisi selalu memberi tahu kalau kendaraan roda dua itu tidak boleh digunakan oleh lebih dari dua penumpang, sehingga anak dan istrinya tidak bisa diangkut sekaligus. Oleh karenanya, tidak sedikit dosen yang kemudian memutuskan untuk menggunakan kendaraan umum, kendaraan rental, atau memaksakan diri memiliki kendaraan roda empat untuk kebutuhan keluarganya.


Apapun pilihannya, yang jelas dosen juga manusia, punya keluarga yang harus dilindungi dan dibuat nyaman. Kepentingan keluarga dan pekerjaan harus diperhatikan dengan seimbang oleh dosen. Seiap dosen pasti akan berkata, "Tidak ada satupun manusia yang bisa diharapkan untuk memperhatikan dengan penuh keluarga kita melainkan diri kita sendiri"

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa dosen menggunakan atau memiliki kendaraan adalah karena tuntutan pekerjaan tridharma serta memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan membuat nyaman keluarganya. Selain itu hanya dosen entepreneur dan "gaya hidup" yang tahu, hehehe.

Sabtu, 11 November 2017

Interaksi Saya dengan Front Pembela Islam


Sejak tahun 1997 saya mukim di pondok pesantren mahasiswa. Saya pernah bertemu dengan al-Habib Muhammad Rizieq Syihab di rumah pimpinan pondok pesantren mahasiswa. Sungguh kebetulan sekali karena pertemuan itu terjadi dalam periode penelaahan mandiri karya tulis Ibnul-Qayyim, topik pergerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin, dan sebelum interaksi saya dengan Syabab Hizbut Tahrir di Garut. Kebetulan pimpinan pondok pesantren memiliki hubungan yang cukup baik dengan pucuk pimpinan FPI (Front Pembela Islam) tersebut. Pertemuannya dilaksanakan pada malam hari yang dihadiri oleh seluruh santri mahasiswa Sekolah Tinggi Teknologi Garut. 

Waktu itu saya banyak mendengar di kalangan pegiat Islam bahwa Laskar Jihad pimpinan Jafar Umar Thalib diupamakan seperti tentaranya umat Islam, dan Laskar FPI diumpamakan seperti polisinya umat Islam. Apa yang saya dengar tersebut kemudian ditanyakan maksudnya kepada Habib. Dengan lemah lembut beliau menjelaskan fungsi laskar FPI dalam kaitannya dengan amar ma'ruf nahyi munkar dan menyampaikan pendapatnya tentang Laskar Jihad secara ringkas. Penjelasan beliau memberi tambahan pengetahuan saya seputar pergerakan Islam, khususnya yang ada di Indonesia.

Beberapa waktu kemudian saya diminta oleh pimpinan pondok pesantren untuk memimpin suatu kegiatan se Jawa Barat di Garut. Saya sering menyelenggarakan kegiatan saat aktif di Generasi Muslim al-Muhajirin atau Palang Merah Remaja. Tetapi untuk yang satu ini saya merasa tidak bisa menyelenggarakannya sendirian. Syukurlah saya memiliki banyak kenalan teman-teman kampus, adik-adik tingkat yang aktif di organisasi mahasiswa Islam eksternal kampus. Pimpinan pondok dan teman-teman menunjuk saya sebagai ketua pelaksana, sekalipun saya sudah menyampaikan usulan agar salah satu teman yang bergabung dalam kepanitiaan yang menjadi ketua pelaksananya. Saya setuju dengan catatan bahwa teman tersebut bertanggung jawab atas operasional kegiatannya. 

Kegiatan tersebut adalah Musyawarah Daerah FPI Jawa Barat yang pertama. Saya tidak terlalu faham FPI itu apa, tetapi pimpinan pondok pesantren lebih faham karena banyak berinteraksi dengan pengurus pusatnya. Saya melaksanakan tugas tersebut dengan dua alasan, 1) Menghormati permintaan ketua pondok pesantren, dan 2) Ingin membantu sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam. Dengan alasan tersebut saya menyanggupi untuk menjadi ketua pelaksana kegiatannya. 

Saat kegiatan itu berlangsung, saya hampir tidak mengikuti kegiatannya. Saya stand-by di kobong. Saya telah menyerahkan operasional kegiatannya secara penuh kepada teman yang saya percayai tersebut. Rupanya dia sangat handal sehingga dapat mengelola kegiatan pemilihan ketua FPI Jawa Barat yang pertama itu hingga selesai. Itulah sebab kenapa saya memilihnya, karena saya yakin dia lebih faham dari pada saya soal tata tertib dan administrasi pemilihan ketua kepengurusan. Walau saya diminta sebagai ketua pelaksana Musyawarah Daerah FPI Jawa Barat, tetapi saya tidak pernah diminta untuk menjadi anggota FPI. Oleh karenanya, setelah selesai kegiatan tersebut, saya kembali melaksanakan rutinitas di kobong, mengikuti pengajian, membaca buku, dan mengamalkan aurod, jauh dari kegiatan organisasi apapun. 

Beberapa tahun kemudian saya mendengar berita tentang FPI, mulai dari berita positif dan negatif. Saya membaca bagaimana gesekan FPI dengan akar rumput Nahdiyin mengeras saat Habib mulai mengkritik dengan gaya bicara orang Betawinya kepada Gus Dur. Saya membaca bagaimana media mengeksploitasi gesekan FPI dengan masyarakat untuk kepentingan rating. Bahkan ada lembaga independen yang secara khusus membuat daftar masalah tersebut dan mempublikasikannya di internet, yang dimanfaatkan oleh banyak perkumpulan untuk mendorong pembubaran FPI. Dan sekarang ini saya membaca bagaimana FPI yang didirikan pada tanggal yang sama dengan kemerdekaan Indonesia itu dikait-kaitkan dengan organisasi teroris. 

Sebenarnya FPI ini memiliki banyak kegiatan yang pasti akan dinilai positif oleh umumnya masyarakat, seperti misalnya kegiatan relawan dalam kejadian Tsunami Aceh. Namun pemberitaan yang banyak dimunculkan di media sosial lebih banyak seputar gesekan tersebut. Nahyi munkar yang menjadi penciri umat Islam itu penting adanya di tengah masyarakat yang mulai melepaskan kearifan lokalnya. FPI memiliki prosedur nahyi munkar yang tidak melanggar aturan pemerintah dan telah melaksanakannya. Hanya tinggal mengendalikan pelaksana dan mengelola pemberitaannya saja agar direspon positif oleh masyarakat yang memerlukan ketertiban umum.

Semoga saja Rabithah Alawiyah sebagai induk dari segala organisasi habaib (seperti Majelis Rasulullah, Nurul Mustafa, FPI, dan lain sebagainya) dapat memberikan pendampingan agar FPI dapat menjadi organisasi yang dapat melaksanakan nahyi munkar dalam wajah yang lebih simpatik lagi, sekalipun kita tahu tidak mungkin semua orang dibuat simpatik dengan nahyi munkar, seperti pelaku maksiat yang melanggar aturan pemerintah, syariat agama, atau nilai dan norma budaya bangsa. Karena bagaimanapun, FPI yang dianggap sebagai organisasi habaib oleh Habib Zen, harus dapat mewujudkan rahmatan lil alamin dan menjadi "telaga al-kautsar" yang menghilangkan dahaga masyarakat yang terganggu oleh kemunkaran dengan kelezatan rasa yang abadi di dalam hati.

Rabu, 01 November 2017

Evaluasi Masukan Lulusan 2017

Saya memulai evaluasi ini dengan mengutip kalimat Imam Syafi'i r.m, "Jika kau tdk bisa menahan lelahnya belajar, maka kau hrs bisa menahan perihnya kebodohan." Ketahuilah bahwa dimensi belajar itu luas dan proses belajar itu harus dilalui manusia dari mulai dalam buaian hingga liang kubur.

Tahun ini lebih dari seratus lulusan prodi (program studi) Informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut dilepas dalam acara wisuda sarjana. Prodi menerima pernyataan dari para lulusan, di mana 44 % di antaranya menyatakan permasalahan pelayanan, kemahasiswan, pembelajaran, dan kebijakan; sementara 56 % tidak menyatakan permasalahan. Dalam kaitannya dengan permasalahan, satu orang mahasiswa dapat menyatakan lebih dari satu permasalahan. Walau suara pernyataan masalahnya tidak besar, namun saya akan berusaha memberikan tanggapan. Sebagian tanggapan sudah disampaikan oleh saya baik secara online di media sosial ataupun offline di kantor program studi dan tempat lainnya. Pengulangannya diharapkan dapat bermanfaat bagi lulusan yang mungkin belum sampai kepadanya tanggapan tersebut atau belum memahami penjelasan di dalamnya. Berikut ini statistik permasalahan berdasarkan pernyataan pesan lulusan prodi Informatika dalam buku Wisuda Sarjana XVI Sekolah Tinggi Teknologi Garut :


A. PELAYANAN

Komunikasi Antar Personal

Masukan dengan persentase pernyataan 10 % adalah terkait komunikasi lembaga, prodi, dosen, dan staf dengan mahasiswa, dalam upaya menjalin hubungan baik antara semua pihak. Komunikasi pertama prodi dengan mahasiswa adalah pada saat MABIM (Masa Bimbingan) prodi Informatika pada semester pertama. Dalam kesempatan tersebut mahasiswa diberikan ruang untuk menyampaikan permasalahan dalam pengalaman pertama mereka mengikuti perkuliahan di kampus Sekolah Tinggi Teknologi Garut. Prodi dan lembaga / pihak kampus memberikan penjelasan sebagai jawaban atas permasalahan yang disampaikan.

Kesempatan lainnya diperoleh mahasiswa melalui BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Beberapa pertemuan lembaga dengan mahasiswa telah digelar dalam rangka membahas permasalahan yang dihadapi oleh mahasiswa dalam proses pembelajarannya. Organisasi mahasiswa memainkan peranan penting sebagai medium atau jembatan komunikasi mahasiswa dengan lembaga. Tidak terkecuali Himpunan Mahasiswa. Sebagaimana dijelaskan oleh saya kepada Himpunan Mahasiswa Informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut dalam kesempatan MABIM pada bulan Februari 2016. Pesan tersebut diulang oleh saya dalam Musyawarah Besar pada bulan Oktober 2016 agar pengurus baru dapat melaksanakan arahan yang saya tuangkan dalam slide presentasi MABIM 2016.


Dalam MABIM 2016 tersebut, saya menjelaskan bahwa Himpunan Mahasiswa dalam kaitannya dengan ketuntasan kuliah mahasiswa harus berperan aktif mendampingi mahasiswa informatika selaku anggotanya dalam mengatasi habatan perkuliahan melalui kelompok belajar, forum komunikasi himpunan mahasiswa, serta advokasi masalah prodi dan kampus. Himpunan mahasiswa harus secara pro aktif dapat mencatat permasalahan mahasiswa melalui komunikasi lintas angkatan, menyampaikannya kepada prodi untuk permasalahan terkait prodi, dan menyampaikannya kepada BEM untuk permasalahan terkait kampus. Himpunan mahasiswa tidak boleh membiarkan permasalahan mahasiswa menjadi kegelisahan luas yang tidak kunjung selesai dan meluap ke luar kampus. Pengurus Himpunan harus berusaha membantu anggotanya seoptimal mungkin.  

Dengan demikian permasalahan komunikasi ini tidak hanya menggambarkan kelemahan kampus, prodi, dosen, atau staf, tetapi juga kelemahan mahasiswa itu sendiri terkait peran BEM dan Himpunan Mahasiswa. Prodi informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut menyediakan beragam cara bagi mahasiswa untuk menyampaikan permasalahannya dan mendapatkan jawabannya, melalui dosen wali selaku konselornya, melalui organisasi himpunan mahasiswa selaku perkumpulan yang menaunginya, atau langsung kepada ketua atau sekretaris prodi baik secara offline ataupun online. Artinya pintu komunikasi dibuka lebar oleh prodi, hanya perlu keberanian saja untuk menyampaikan permasalahan tersebut dan kedewasaan dalam menerima jawabannya. Dengan dua sikap tersebut hubungan baik kampus, prodi, dosen, dan staf dengan mahasiswa bisa terjaga.

Fasilitas Kampus

Sekitar 7 % pernyataan adalah terkait fasilitas kampus, yang secara khusus menyoroti area parkir dan toilet pria. Hampir setengah populasi mahasiswa kampus Sekolah Tinggi Teknologi Garut adalah mahasiswa prodi Informatika, dan populasi ini berkembang pesat. Rata-rata jumlah mahasiswa prodi Informatika per tahunnya adalah 124 orang, dan jumlah populasinya lima tahun terakhir adalah 2,489 orang mahasiswa. Tentunya apabila tingkat kepemilikan kendaraan tinggi hal ini membuat ruang parkir di dalam kampus semakin sempit. Oleh karenanya mulai tahun 2017 ini, khusus untuk kendaraan roda empat milik mahasiswa sudah mulai diarahkan untuk menempati ruang parkir di luar kampus, tepatnya di dalam kompleks yayasan al-Musaddadiyah yang terpisah jalan kecil dengan kompleks kampus. Area kompleks yayasan al-Musaddadiyah, tepatnya di depan gedung olah raga, memiliki ruang parkir yang cukup dan dijaga oleh aparat keamanan profesional dari Red Guard. Dengan demikian kampus sudah berusaha untuk menyediakan area parkir yang memadai untuk mahasiswa. Mungkin sebagian dari lulusan yang memberi pernyataan 7 % ini ada yang belum mencoba parkir di area leluasa tersebut. Boleh jadi sebabnya adalah karena harus berjalan sekian meter ke kompleks kampus.

Populasi juga mempengaruhi kebutuhan toilet. Semakin banyak mahasiswa, semakin banyak pula jumlah toilet yang dibutuhkan. Sementara ini pekerjaan terkait fasilitas yang dilaksanakan oleh bidang sarana prasarana banyak sekali. Sejumlah pekerjaan yang sudah dilaksanakan antara lain pembangunan ruang laboratorium, masjid kampus, sarana olah raga, serta perbaikan gedung berikut ruangan di dalamnya. Sekarang setiap ruang kelas sudah dilengkapi proyektor dan AC seperti ruang laboratorium komputer. Tentu saja toilet menjadi perhatian kampus, mulai dari perbaikan ruangannya hingga penambahan jumlahnya. Hanya saja penambahan toilet ini belum dilaksanakan karena waktu pelaksanaannya belum tiba.

Layanan Kampus
   
Sekitar 3 % menyatakan persoalan layanan kampus, khususnya internet gratis dan kinerja staf. Sebenarnya internet gratis sudah disediakan oleh kampus melalui dua sumber. Sumber pertama adalah jalur Wifi ID yang merupakan kerjasama kampus dengan PT Telekomunikasi Indonesia, dan sumber kedua adalah jalur internet milik kampus. Titik aksesnya tersebar di beberapa lokasi kumpul mahasiswa. Barangkali yang dimaksud oleh mahasiswa bukan pada jumlah titik akses, tetapi kecepatan / bandwidth nya. Tentu saja kampus sangat senang apabila mahasiswa mendapatkan internet berkecepatan tinggi, tetapi layanan tersebut akan berpengaruh terhadap biaya perkuliahan. Sementara ini kampus tidak ingin menjadikan internet sebagai beban pembiayaan besar bagi mahasiswa. Beban internet sendiri tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan kegiatan mandiri mahasiswa, tetapi juga untuk kebutuhan praktikum dan pelayanan.

Cita rasa layanan kampus bergantung kepada kinerja staf. Kinerja ini berkaitan dengan ketepatan dan kecepatan kerja layanan. Terbatasnya sumber daya manusia dan teknologi informasi lah barangkali yang menyebabkan kerja layanan tidak sangat cepat. Namun kampus telah berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seperti dengan menyediakan situs web, anjungan informasi mandiri, dan aplikasi mobile yang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mendapatkan informasi akademik lebih cepat di mana saja dan kapan saja. Prodi informatika sendiri sementara ini hanya memiliki satu staf yang melayani sekitar 200 an yang terdiri dari dosen dan mahasiswa, khususnya untuk urusan praktikum, kerja praktek, dan skripsi. Hal ini barangkali berpengaruh terhadap kecepatan pelayanan. Karena suara persoalannya hanya 3 %, maka besar kemungkinan mahasiswa secara umum menganggap kinerja staf ini sudah memadai. Persoalan kinerja staf ini barangkali dihadapi oleh mahasiswa dengan keadaan yang tidak umum.

Kelas untuk Karyawan

Istilah kelas karyawan / non reguler sebenarnya tidak dikenal di Sekolah Tinggi Teknologi Garut. Prodi informatika hanya menyelenggarakan kelas reguler saja. Hanya saja memang ada kelas khusus yang umumnya diisi oleh karyawan dan jadwal kuliahnya didesain agar sesuai dengan waktu kerja karyawan. Walau demikian waktu kuliah tatap muka, praktikum, dan lainnya tetap memperhatikan SNPT (Standar Nasional Pendidikan Tinggi). Karenanya perkuliahannya dilaksanakan sampai masuk waktu lembur / di luar rentang jam kerja. Idealnya untuk karyawan ini kampus menyelenggarakan Pendidikan Jarak Jauh yang telah ada payung hukumnya. Hanya saja untuk sementara ini kampus belum dapat / siap melaksanakannya.

Pada tahun 2017, di saat populasi mahasiswa semakin bertambah, prodi informatika merasa tidak lagi dapat menyelenggarakan jadwal khusus bagi mahasiswa karyawan. Akhirnya diputuskan tidak lagi akan menyediakan jadwal khusus mahasiswa karyawan mulai tahun 2017. Dengan demikian, harapan yang tercermin dari 1 % suara ini mungkin tidak dapat dilaksanakan Sekolah Tinggi Teknologi Garut dalam waktu dekat ini. Perlu waktu bagi kampus untuk menyediakan sistem pendidikan jarak jauh bagi karyawan yang ingin melanjutkan pendidikan bidang informatika di Garut.

KEMAHASISWAAN

Dalam kaitannya dengan fasilitasi kegiatan UKM, khususnya yang berelasi dengan program pengabdian kepada masyarakat, prodi telah memberikan dukungan penuh. Prodi membantu UKM Relawan / Komunitas TIK atau Pramuka dalam berbagai tindakan, termasuk bantuan dana kegiatan, untuk program Seminar dan Pelatihan Masyarakat Informasi, Forum Masyarakat Informasi Garut, Olimpiade Komunias TIK se Garut, dan lain sebagainya. Prodi secara aktif membagikan informasi perlombaan di grup Himpunan Mahasiswa dengan harapan ada mahasiswa yang ikut serta. Tentunya juga siap membantu pembiayaannya sekiranya diajukan oleh mahasiswa yang bersangkutan. Hanya saja memang belum ada mahasiswa yang mengajukan pembiayaan tersebut kepada prodi.

Prodi tahun 2017 ini tengah menjalin kerjasama dengan Himpunan Alumni Informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut untuk penyediaan dana kemahasiswa tersebut. Tidak hanya untuk keperluan akomodasi mengikuti lomba, dapat juga digunakan untuk memberikan apresiasi terhadap mahasiswa informatika yang meraih juara kesatu dalam kegiatan lomba. Sekarang ini penggalangan dana sumbangan dari alumni tengah berjalan sebagaimana diketahui dari situs webnya. Rencananya dana yang terkumpul dapat dialokasikan untuk bantuan kuliah, kemahasiswaan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta fasilitas belajar.  Usaha tersebut telah disosialisasikan pada tanggal 26 Agustus 2016 kepada seluruh peserta skripsi / calon alumni dari angkatan 2013 dan 2015.  Langkah ini semoga dapat memenuhi harapan lulusan pemilik suara 2 % ini.     


PEMBELAJARAN

Peningkatan Materi Perkuliahan

Suara yang menyatakan masalah pembelajaran hanya 9 %. Walau minor, prodi sangat memperhatikan mengingat pembelajaran ini menentukan tercapainya luaran pembelajaran. Usaha peningkatan materi perkuliahan dilaksanakan oleh prodi dengan cara mengikutsertakan dosen dalam pelatihan dan sertifikasi kompetensi level internasional secara bertahap. Satu dosen telah dilatih oleh Google, dan tiga lainnya telah mendapatkan gelar Microsoft Technology Associate. Selain itu prodi juga telah menjalin kerjasama dengan Oracle Academy dan menggelar webinar bagi dosen dan mahasiswa pada 28 September 2017 silam dalam acara Inaugurasi Alumni. Oracle Academy sebagaimana Google juga menyediakan kurikulum yang dapat diadopsi oleh prodi dalam matakuliah terkait. Hal tersebut diharapkan dapat memberi masukan atau gagasan terkait materi perkuliahan.

Cara lainnya adalah dengan mendorong dosen agar dapat mengajarkan pengetahuan dan teknologi terkini, seperti menyediakan matakuliah pilihan pemrograman mobile yang pemafaatan teknologinya sekarang ini sangat banyak dan luas. Selain itu prodi memanfaatkan dana sumbangan alumni 2015 dan 2016 sebesar Rp 10,030,000 untuk dibelikan 78 buku yang mengandung pengetahuan terkini dan dapat dirujuk oleh dosen dalam perkuliahannya.  Yang pasti prodi telah mengupayakan adanya peningkatan materi perkuliahan bagi dosen. Tinggal dilakukan evaluasi untuk melihat apakah ada pembaruan rencana perkulian semesternya.   

Peningkatan Waktu Praktikum

Sekitar 2 % suara mempersoalkan waktu praktikum yang belum memadai. Barangkali pendapat minoritas ini muncul karena adanya hambatan pada sebagian kecil lulusan dalam menguasai pengetahuan dan keterampilan dalam bidang informatika.

Menurut SNPT di antara hak lulusan adalah mendapatkan sertifikat kompetensi yang tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan teoritis saja, tetapi juga keterampilan "lapangan" dalam menggunakan metode atau perangkat. Tentunya kegiatan praktikum memberi kontribusi besar selain tatap muka terhadap pemenuhan sertifikasi kompetensi tersebut. Oleh karenanya praktikum ini diberikan perhatian khusus oleh prodi, termasuk dengan menyediakan sks khusus untuk matakuliah praktikum. Pelaksanaannya sks nya pada tahun ini sama dengan kuliah tatap muka. Prodi tidak dapat membuat besar SKS nya berubah hingga dilakukan perubahan kurikulum. Oleh karenanya prodi hanya berusaha mengoptimalkan pemanfaatan waktu praktikumnya saja. Pelaksanaannya sangat bergantung kepada dosen dan pengawasan prodi.

Dosen wajib memberikan kuliah tatap muka sebagai pengantar praktikum untuk 1 SKS matakuliah praktikum yang diampunya selama 50 menit, kemudian 170 menit sisanya digunakan untuk praktikum dibantu oleh asisten praktikum. Dosen wajib melaksanakan ujian dan memberikan tugas sebagaimana kuliah tatap muka. Dan prodi telah membuat standar pembagian waktu ujian sebagai berikut : 5 menit digunakan untuk persiapan, 40 menit untuk ujian online, 60 menit praktek, dan 5 menit untuk menutup ujian.  Hal tersebut dikarenakan peserta praktikum dalam satu laboratorium dibagi dua kelompok, yang masing2 kelompok memiliki waktu 110 menit untuk ujian praktikum. Pengaturan waktu ini diharapkan memberikan waktu yang memadai bagi mahasiswa untuk mendapatkan keterampilan sesuai dengan capaian pembelajaran yang diharapkan.

Proses Skripsi yang Ketat

Mungkin proses ketat yang dimaksud adalah terkait kendali standar tata tulis laporan skripsi yang dilakukan oleh prodi. Kendali ini dilakukan saat adanya temuan lolosnya laporan skripsi yang tidak memenuhi standar tata tulis dari dosen pembimbingnya. Dan beberapa mahasiswa mengatakan kalau mereka mencontoh laporan sebelumnya dan bukan merujuk buku pedoman skripsi dalam menyusun laporan skripsinya. Kalau prodi tidak melibatkan diri dalam kendali standar tata tulis laporan skripsi, masalah ini akan terulang tahun depan. Kendali ini seharusnya dilaksanakan oleh dosen pembimbing, namun dalam kondisi seperti ini prodi berpandangan harus menerapkan kendali dua lapis. Jangan sampai ada lagi mahasiswa tahun depan yang mengatakan kesalahan tata tulisnya adalah disebabkan mencontoh laporan skripsi tahun lalu yang kenyataannya tidak memenuhi standar.

Memang benar bahwa yang esensi dari penelitian adalah isi laporannya. Namun tata tulis yang baik mencerminkan kemampuan mahasiswa dalam menyusun sebuah laporan yang baik. Oleh karenanya prodi mengambil peran kendali tersebut. Dan bagi sebagian lulusan, kendali tersebut dianggap merepotkan. Bagi prodi, pendapat 2 % yang mengeluhkan pengendalian ini menggambarkan hanya sebagian kecil lulusan saja yang tidak memiliki sikap tanggung jawab terhadap almamater sekaligus serius dalam melaksanakan penelitian atau belajar. Dan hal tersebut menunjukan bahwa umumnya lulusan memiliki rasa memiliki terhadap almamaternya. Mereka rela menempuh proses skripsi yang ketat karena barangkali menyadari proses tersebut sudah seharunya dilaluinya sebagai bagian dari proses kelulusannya, dan menyadari kualitas penelitian skripsi di masa depan bergantung kepada hasil kerja penelitian mereka.

Selama perbaikan skripsi ini belum selesai, maka syarat mendapatkan ijazah belum terpenuhi. Bagi sebagian peserta sidang skripsi, memperbaiki isi dan tata tulis skripsi itu dipersyaratkan dalam sidang. Seharusnya mereka yang belum memperbaikinya belum dapat mengikuti wisuda karena nilai akhir skripsinya ditahan hingga perbaikannya selesai. Apalagi terhadap mahasiswa yang lulus skripsi dengan nilai A dan B, prodi tentu saja tidak akan membiarkannya selesai dengan kualitas tata tulis yang tidak standar, seperti misalnya daftar pustaka yang tidak sesuai dengan gaya APA. Pun demikian apabila syarat lainnya seperti keuangan, serta sertifikat kompetensi dan pengabdian kepada masyarakat yang diwajibkan SNPT belum terpenuhi, mereka tidak dapat mengikuti wisuda atau tidak dapat mengambil ijazah. Kampus atau prodi memiliki kebijakan yang ada kalanya memudahkan proses skripsi, tanpa kehilangan kendalinya akan kualitas.

Peningkatan Kualitas Pembelajaran

Sekitar 3 % pernyataan menunjukan adanya masalah dalam kualitas pembelajaran. Tetapi kita tahu 87 % tidak menyatakannya demikian. Walau demikian prodi memperhatikan masalah ini. Dan sebenarnya prodi telah mengupayakan agar ada jaminan kualitas pembelajaran.

Sebagian suara minor tersebut menyatakan adanya masalah karena dosen yang tidak hadir tepat waktu. Prodi telah membuat aturan kelas, di mana dalam kaitannya dengan Pembentukan Sikap Disiplin, aturan menyatakan bahwa dosen memiliki waktu 15 menit dari awal waktu perkuliahan untuk hadir di kelas. Apabila tidak berhasil atau tidak hadir tanpa konfirmasi dalam rentang waktu tersebut, maka perkuliahan pada minggu itu diangap gagal diselenggarakan. Walau demikian mungkin saja ada dosen yang tidak mentaati aturan tersebut, sekalipun prodi telah  mensosialisasikannya pada tanggal 22 Agustus 2017 kepada seluruh dosen informatika. Mahasiswa yang juga telah mendapatkan sosialisasi melalui papan aturan atau dosen sebenarnya dapat mengingatkan dosen terhadap aturan tersebut. Kalau tidak mampu, dapat menyampaikan persoalan tersebut kepada prodi.

Soal metode dan objektivitas penilaian bergantung kepada dosen. Tentunya prodi dan lembaga penjamin mutu melakukan pengawasan terhadap metode tersebut. Prodi atau lembaga memang belum secara khusus menyelenggarakan pelatihan Program Peningkatan Keterampilan Dasar Teknik Intruksional untuk semua dosen. Walau demikian, sejumlah dosen telah mengikuti program tersebut sehingga memahami bagaimana metode pengajaran dan teknik penilaiannya. Barangkali ke depan semua dosen pemula akan diberikan program ini untuk memastikan dapat melaksanakan pengajaran secara profesional.

KEBIJAKAN

Suara yang menyoroti persoalan kebijakan ini kalau ditotalkan sekitar 13 % saja. Artinya ada sebagian kecil lulusan yang merasa kebijakan prodi bermasalah bagi mereka. Sementara mayoritas lulusan tidak merasa perlu menyampaikannya sebagai persoalan penting untuk disampaikan atau tidak menganggapnya sebagai persoalan.

Keterbukaan Kebijakan Prodi dan Sosialisasinya 

Hanya 1 % saja yang menganggap prodi tidak terbuka soal kebijakannya. Pada dasarnya prodi hanya melaksanakan kebijakan strategis kampus. Prodi membuat kebijakan taktis agar kebijakan strategis yang ditetapkan oleh ketua dan / atau wakil ketua Sekolah Tinggi Teknologi Garut dapat dilaksanakan. Kebijakan taktis yang berkaitan dengan mahasiswa selalu disosialisasikan kepada mahasiswa. Sebagai contoh kebijakan sertifikasi kompetensi, program studi mensosialisasikannya sebelum memberlakukannya.

Menurut SNPT, sertifikasi kompetensi ini wajib diberikan oleh penyelengara pendidikan kepada lulusan, selain ijazah, gelar akademik, dan sertifikat pendamping ijazah. Kebijakan strategis dibuat oleh kampus agar SNPT tersebut terpenuhi dan bahkan terlampaui. Maka pada tahun 2016, ketua Sekolah Tinggi Teknologi Garut mewajibkan semua prodi untuk mengupayakan sertifikasi kompetensi tersebut bagi lulusannya. Selama setahun itu prodi informatika berusaha mencari lembaga sertifikasi kompetensinya. Dalam perjalanan setahun itu, sebagian mahasiswa berhasil mengikuti sertifikasi kompetensi gratis yang diselenggarakan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia di Garut. Dan pada tahun itu prodi mendapatkan kesempatan mendirikan lembaga sertifikasi, namun biayanya sangat mahal. Karena hal tersebut akan dapat membebani mahasiswa, maka prodi dengan persetujuan kampus setuju untuk menunda penyediaan serifikasi kompetensi tersebut bagi lulusan. Dan usaha tersebut diceritakan oleh saya dalam matakuliah Riset Teknologi Informasi kepada perserta kuliah yang merupakan calon peserta skripsi.

Barulah beberapa hari setelah diingatkan kembali oleh ketua Sekolah Tinggi Teknologi Garut pada tahun 2017, prodi menemukan lembaga sertifikasi yang biayanya terjangkau oleh mahasiswa di Garut. Sebelum semester Ganjil 2017/2018 dimulai, prodi mensosialisasikan syarat wajib sertifikasi kompetensi tersebut kepada peserta skripsi. Bagaimanapun sertifikasi ini harus dilaksanakan pada tahun 2017 karena merupakan kesempatan terakhir sebelum prodi melaksanakan reakreditasi. Kalau dilaksanakan tahun depan maka prodi selama masa berlaku akreditasi tidak pernah melaksanakan sertifikasi kompetensi tersebut yang diwajibkan oleh SNPT, artinya tidak layak mendapat nilai C dalam memenuhi hak lulusan. 

8 % suara menganggap sosialisasi tersebut mendadak. Bagi prodi, dengan mempertimbangkan kepentingan reakreditasi, lebih baik mendadak dari pada tidak disosialisasikan atau tidak melaksanakan sertifikasi kompetensi. Mereka mempersoalkannya karena terkait dana yang harus merek keluarkan. Padahal kita tahu untuk dapat lulus hingga mengikuti wisuda setiap mahasiswa rela mengeluarkan dana agar segala syaratnya dapat dipenuhi. Jangankan tidak mampu mengikuti sertifikasi yang biayanya 500 ribu, tidak punya uang untuk mencetak dua laporan skripsi saja menjadi sebab tidak dapat diambilnya ijazah.

Prodi menetapkan sertifikat kompetensi tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan ijazah. Kebijakan teknis tersebut untuk menjamin seluruh lulusan mendapatkan sertifikat kompetensi sebagaimana yang dikehendaki oleh SNPT. Prodi dengan nilai akreditasi C saja wajib menjalankan SNPT, apalagi yang nilai akreditasinya B. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa mereka hanya membutuhkan gelar dan ijazah saja, sehingga bersikukuh menolak ikut sertifikasi tersebut. Mereka tidak faham bahwa lulusan di masa depan bergantung kepada diberikan atau tidaknya hak sertifikasi kompetensi kepada mereka. Kita faham bahwa sebagian kecil dari kita ini sedang terkungkung oleh egosime yang menjauhkan diri mereka dari semangat kebersamaan, ingin menyelamatkan diri sendiri dan membiarkan adik tingkatnya menjadi korban. Saya berkata demikian dalam posisi sebagai kakak tingkat.

Mereka juga menganggap kebijakan tersebut baik strategis ataupun taktis disebut sebagai kebijakan sepihak yang diputuskan tanpa mendengarkan keinginan mahasiswa. Pada dasarnya kebijakan dibuat memang harus memperhatikan masukan dari mahasiswa, tetapi bagaimana mungkin kampus melanggar SNPT karena mengikuti keinginan mahasiswa? Bukankah mengikuti SNPT itu adalah juga untuk kebaikan atau masa depan kampus, prodi, mahasiswa, dan lulusan?

Bagi sebagian kecil lulusan, kebijakan taktis seperti itu dianggap memaksakan kehendak. Padahal kita tahu sebagai prodi dengan akreditasi melampaui SNPT, kita memang harus mengikuti kehendak SNPT. Sivitas akademik harus memaksa kehendaknya sendiri, tidak perlu dipaksa oleh kehendak orang lain untuk mengikuti SNPT tersebut. Bagaimana mungkin seorang lulusan yang merasa senang dengan nilai akreditasi B prodi nya itu merasa terpaksa memenuhi SNPT, memangnya nilai akreditasi tersebut diperoleh sesuai dengan kehendak mereka? Atau mungkin mereka adalah kelompok kecil individualistis yang hanya perduli kebutuhan mereka sendiri, dan tidak memperdulikan masa depan lulusan berikutnya yang mewarisi nilai akreditasi baru berdasarkan nilai pelaksanaan SNPT pada masa mereka.

Pada akhirnya prodi tetap melaksanakan kebijakan tersebut. Hampir setengah dari peserta skripsi ikut sertifikasi kompetensi internasional dengan hasil memuaskan. Sisanya mengikuti sertifikasi kompetensi gratis yang disediakan oleh kampus, hasil kerjasama dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dan Lembaga Sertifikasi Kompetensi di Garut. Sebagian yang sudah mendaftar sertifikasi kompetensi internasional yang diselenggarakan oleh prodi dan PKSTI, uangnya dikembalikan kembali karena mereka semua diarahkan prodi untuk mengikuti sertifikasi kompetensi gratis. Keputusan memilih sertifikasi kompetensi internasional dengan biaya termurah dan pembatalan sertifikasi tersebut agar mahasiswa mengikuti sertifikasi gratis cukuplah sebagai bukti bahwa prodi tidak seperti tuduhan mereka. Prodi tidak mencari untung dari kegiatan sertifikasi kompetensi tersebut. Seandainya sertifikasi tersebut boleh tidak dilaksanakan, maka prodi akan memilih untuk tidak melaksanakannya agar energi ini bisa dioptimalkan untuk pekerjaan lainnya yang membutuhkan perhatian.

Kebijakan yang Tidak Konsisten

Di antara 3 % suara itu, ada yang menganggap kebijakan prodi tidak konsisten. Beberapa dari mereka yang sedikit itu mempersoalkan perubahan pedoman, padahal perubahan pedoman itu diperlukan untuk memperbaiki kualitas penelitian. Perubahannya sendiri sudah disosialisasikan saat mereka mengikuti perkuliahan riset teknologi informasi satu tahun sebelum mereka melaksanakan skripsi. Ada juga yang mengatakan kepada saya bahwa alasannya selalu salah dalam tata tulis skripsi adalah karena pedomannya yang diterbitkan oleh prodi selalu berubah, padahal perubahan itu bukan pada tata tulisnya tetapi pada isi pembahasan setiap bagian laporannya.

Mereka juga mempersoalkan banyaknya formulir yang harus mereka lengkapi, padahal formulir yang diberlakukan oleh ketua prodi itu hanya satu, yakni formulir skripsi. Sementara formulir satunya lagi diterbitkan oleh unit kerja lain sebagai sistem kendali yang terpisah dari prodi. Mereka juga merasa marah ijazahnya ditarik kembali karena nama prodi dan gelarnya tercetak belum sesuai dengan edaran dari Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Padahal mereka telah mendapat sosialisasi dalam perkuliahan satu semester sebelumnya bahwa nama prodi dan gelar akan ada perubahan. Secara keseluruhan sikap sebagian kecil lulusan ini didasarkan kepada dugaan dan keinginan sepihak - diri mereka sendiri. Padahal mereka harus sadar, bukan kampus yang harus ikut aturan atau keinginan mereka, tetapi merekalah yang harus mengikuti aturan kampus dan keinginan SNPT.

PENUTUP

Demikianlah tanggapan prodi terhadap 44 % masukan lulusan 2017. Pada dasarnya saya memaklumi kondisi tidak fahamnya lulusan terhadap landasan berfikir kebijakan yang dibuat oleh kampus atau prodi. Saya juga tidak mempermasalahkan segala masukan yang mungkin datangnya lebih karena emosi atau prasangka buruk. Namun saya merasa senang karena sebagian besar dari 44 % itu memberikan masukan konstruktif. Dan uraian masukan dan tanggapan ini semoga menjadi masukan bagi sivitas akademik di lingkungan prodi informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut agar hubungan kita di masa depan tetap terjaga dengan baik. Bagaimanapun yang menyebabkan hubungan memburuk adalah penyakit hati, seperti tergesa-gesa, ikut-ikutan orang lain tanpa pengetahuan, bersangka buruk, dan lain sebagainya. Semoga kita semua terhindar dari padanya dan tetap hidup dalam tradisi kebersamaan. 

Sabtu, 28 Oktober 2017

Sumpah Alumni Informatika STT Garut


Tanggal 28 Oktober 2017 ini merupakan hari Sumpah Pemuda, di mana pada masa lalu sejumlah pemuda dari berbagai daerah berikrar untuk mewujudkan semangat kebersamaan dalam satu Indonesia. Pada tanggal yang sama, saya menyaksikan inisiatif alumni informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut dari berbagai angkatan mewujudkan cita-cita satu gerak dalam satu perkumpulan bernama HALIF (Himpunan Alumni Informatika) Sekolah Tinggi Teknologi Garut yang telah dibangun landasannya satu tahun yang silam oleh beberapa alumni lintas angkatan dengan disaksikan oleh Himpunan Mahasiswa Informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut. Inisiatif ini tercermin dalam penyerahan KTA (Kartu Tanda Anggota) sebagai bukti komitmen alumni untuk aktif berkontribusi selama periode pengabdian 2017/2018, dari satu reuni ke reuni lainnya. 

Sebagai ketua program studi informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut, saya berkepentingan dengan kontribusi alumni ini. Karena menurut SNPT (Standar Nasional Pendidikan Tinggi) lembaga pendidikan dapat mengusahakan sumber eksternal untuk biaya pendidikan di antaranya dari dana lestari alumni. Dan sebagai alumni informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut saya selalu tergerak hati untuk berusaha membesarkan almamater, termasuk ingin membantu persoalan yang dihadapi adik tingkat terkait fasilitas dan biaya pendidikan. 

Sejak masih kuliah di Sekolah Tinggi Teknologi Garut, saya telah berusaha membangun almamater secara sukarela seperti memasang dan memperbaiki komputer dan jaringannya, karena ingin infrastruktur teknologi informasinya tidak tertinggal dari perguruan tinggi lainnya. Saya pun dengan senang hati membangun aplikasi sistem informasi untuk kampus dan tidak mengambil melampaui 10 % dari biaya pengembangannya, serta menggratiskan biaya pemeliharaan tahunan dan insidental. Hal tersebut dilakukan selama kurang lebih 13 tahun sejak tahun 2002 hingga 2015. Dalam rentang waktu tersebut saya juga mengajak serta adik tingkat untuk melakukan kegiatan relawan tersebut, dan mereka mengambil manfaat ilmu dan silaturahmi dari padanya yang memudahkan jalan rizkinya.  

Oleh karena adanya ikatan hati dengan almamater itulah yang membuat satu tahun yang silam, tepatnya 4 Juli 2016 saya mengupayakan pertemuan dengan alumni lintas angkatan untuk menyampaikan gagasan perlunya membentuk HALIF Sekolah Tinggi Teknologi Garut sebagai upaya mengajak serta alumni informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut agar dapat bergerak bersama mewujudkan kontribusi alumni bagi almamater. Alhamdulillah beberapa alumni memberikan respon, hingga akhirnya terbentuklah Komite HALIF Sekolah Tinggi Teknologi Garut yang diketuai oleh Devi Hilsa Farida, alumni angkatan pertama 1997. Penggalangan dana pertama kali dilakukan oleh beberapa dosen informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut yang juga alumni. Dananya disisihkan dari insentif sebagai instruktur pelatihan TIK yang diselenggarakan oleh Kementrian Agama Republik Indonesia pada tahun 2017. Dana tersebut dianggap sebagai dana registrasi anggota HALIF. Menyusul kemudian ketua Komite Halif yang merintis sumbangan sukarela. 

Saya berusaha mendorong HALIF untuk dapat berkontribusi pengetahuan. Pada tanggal 12 Juni 2017, saya menyediakan waktu bagi wakil HALIF untuk menyampaikan materi bagi adik tingkat khususnya dan masyarakat umum dalam kegiatan Pesantren Teknik Tujuh Hari. Saya memberi kesempatan demikian karena berpandangan alumni dapat membantu dengan pengetahuan, keterampilan, dana, dan lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam pertemuan 4 Juli 2016

Sebagai pembuat kebijakan taktis, saya membantu mewujudkan kebijakan strategis terkait biaya pendidikan yang harus diusahakan oleh lembaga pendidikan. Kebijakan tersebut di antaranya adalah dengan menjadikan keanggotaan HALIF sebagai syarat untuk mendapatkan ijazah. Syarat tersebut dapat mewujudkan sumber biaya pendidikan eksternal, sekaligus mewujudkan kontribusi alumni yang memberikan point tersendiri untuk akreditasi program studi atau institusi. Dan nilai akreditasi ini sangat penting bagi alumni, mengingat badan publik atau beberapa badan usaha mensyaratkan nilai akreditasi tertentu sebagai syarat masuk seleksi lowongan kerja. Artinya alumni didorong oleh program studi untuk ikut terlibat memenuhi kebutuhan kolektifnya tersebut. Alumni tidak dibiasakan untuk menuntut, tetapi bahu membahu dengan almamaternya dalam memenuhi kebutuhannya. 

Tidak lupa saya mensosialisasikan HALIF dan kebijakan tersebut kepada mahasiswa tingkat akhir yang sedang melaksanakan skripsi pada tanggal 26 Agustus 2017. Hingga kemudian beberapa mahasiswa mulai mendaftarkan dirinya sebagai anggota HALIF. Tidak lupa saya sosialisasikan pula di grup alumni baik di facebook ataupun di whatsapp. Alhamdulillah, beberapa alumni memberikan respon dengan mendaftarkan dirinya sebagai anggota HALIF. Total anggota hingga 28 Oktober 2017 ini adalah 41 orang alumni sebagaimana tersebut dalam laporan keuangan HALIF.

Penyerahan prototipe KTA dilakukan dalam acara Inaugurasi Alumni pada tanggal 28 September 2017 yang diisi oleh Oracle Academy Virtual Student Day. HALIF saat itu diwakili oleh Sri Rahayu, wakil Komite HALIF. Prototipe KTA diberikan kepada alumni baru oleh wakil Komite HALIF, kepala Pusat Pengembangan Karir Sekolah Tinggi Teknologi Garut, dan perwakilan dosen informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut. Prototipe saya buat mendadak saat itu berdasarkan data pendaftar dari bendahara Komite HALIF, karena berfikir hari itu merupakan hari yang tepat untuk menyerahkannya. Saya membantu tidak dalam kapasitas sebagai ketua program studi tetapi alumni.



Dan KTA aslinya dibagikan pada tanggal 28 Oktober 2017. Proses pencetakannya mengalami masalah teknis sehingga pihak percetakan tidak bisa memenuhi janjinya untuk menyelesaikan KTA sebelum jam 10 pagi. Akibatnya pagi itu saya tidak mengikuti acara ramah tamah dengan calon wisudawan. Dan KTA itu baru selesai mendekati pukul 13.30, sehingga saya harus melewatkan acara gladi. Melewatkannya sebenarnya tidak menjadi soal bagi saya mengingat proses gladinya dari tahun ke tahun masih seperti itu, apalagi tidak semua anggota senat ikut dalam gladi tersebut. 

Dan syukurlah saya tidak melewatkan sesi foto bersama calon wisudawan informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut. Saya masuk aula beberapa saat setelah dua program studi lainnya selesai sesi foto. Saya tidak segera ke lokasi ambil foto karena melihat sesi tersebut belum dimulai. Sementara beberapa calon wisudawan meminta foto bersama yang tentu saja tidak bisa saya tolak. Tidak ada yang memberi tahu saya bahwa sesi itu akan dimulai, hingga kemudian ketua dan wakil ketua bidang akademik memanggil begitu keduanya melihat saya. 

Apapun yang terjadi hari itu, setidaknya saya memiliki sesuatu yang layak untuk disyukuri, karena saya masih diberi kesempatan oleh Allah untuk membantu lembaga pendidikan tempat saya bekerja mendapatkan sumber biaya pendidikan eksternal dan membantu alumni mendapatkan KTA yang merupakan wujud sumpahnya untuk berkontribusi kepada masyarakat internal dan eksternal kampus. Dan saya menganggap pekerjaan tersebut sebagai bagian dari tugas jabatan, dan bagian pengabdian saya selaku alumni. 

Mungkin bagi sebagian orang, saya bukanlah orang yang layak untuk mendapatkan sangkaan baik atau kepercayaan bahwa seluruh tindakan yang saya perbuat untuk almamater itu bernilai. Karenanya semua feed back buruk dari keputusan atau tindakan yang saya lakukan harus dapat saya terima dengan tanpa merasa sakit, karena untuk sesuatu yang maslahat saya harus rela mengorbankan diri.

Setidaknya saya memiliki niat, rencana, dan tindakan dengan tujuan yang baik. Dan sebaik-baiknya orang adalah yang memberi kemaslahatan bagi orang banyak walau jalan yang ditempuh penuh dengan duri. Saya tidak perlu menuntut orang yang tidak tahu untuk faham atau bersangka baik.

Dan saya bersumpah untuk tetap menjadi alumni yang perduli dengan almamaternya, walau mungkin ada orang yang tidak suka. 

Jumat, 20 Oktober 2017

Memetakan data di sejumlah Sheet pada sejumlah baris Sheet lainnya



Aplikasi Incremental Formula Generator ini dibuat untuk mereka yang tidak tahu cara memetakan rumus yang melibatkan data yang terdapat pada seluruh sheet dalam posisi baris-kolom yang seragam di seluruh sheetnya, ke baris pada kolom tertentu pada sheet lainnya. Seperti tampak pada contoh berikut ini :


Dalam contoh berkas di atas diketahui ada tabel rujukan di sheet yang diberi nama angka dua digit. Sheet Unit Sistem akan menggunakan data pada posisi M23 di seluruh sheet dengan rumus "='<nama sheet>'!M23". Tentunya kita perlu menuliskan untuk setiap barisnya mulai dari "='01'!M23'", "='02'!M23'", "='03'!M23'", dan seterusnya sampai "='<nama sheet terakhir>'!M23'". Aplikasi ini membantu anda membangkitkan rumusnya dengan syarat nama sheetnya merupakan angka menaik satu, i:=i+1; Seperti dalam contoh nama sheet nya 01, 02, 03 hingga sheet terakhir misalnya 10. 

Prosedur penggunaan aplikasinya sebagai berikut :
  1. Tuliskan satu rumus sampel, kemudian ganti nama sheetnya dengan karakter pengganti. Seperti dalam gambar aplikasinya, karakter penggantinya adalah titik (.). 
  2. Tentukan jumlah digit nama sheetnya. Berdasarkan contoh spreadsheet di atas, jumlah digitnya dua (2). 
  3. Kemudian tentukan berapa jumlah sheetnya. Pastikan label sheet ditulis benar jumlah digit dan sheetnya. Misalnya untuk jumlah dua digit dan sepuluh sheet anda harus memiliki sheet dengan nama 01, 02, 03, dan seterusnya hingga 10. 
  4. Klik tombol Generate sehingga muncul daftar rumusnya.
  5. Klik tombol Clipboard lalu Paste di kolom target dengan terlebih dahulu memblok sejumlah baris sebanyak jumlah sheet yang ditentukan. 
Saya sediakan link aplikasinya yang dapat anda unduh secara gratis, selamat mencoba.

Senin, 04 September 2017

UMKM Go Online Garut


Beberapa bulan sebelumnya saya menerima telp dari Direktur Pemberdayaan Informatika Kementrian Komunikas dan Informatika RI. Beliau ingin menyelenggarakan kegiatan untuk UMKM di Garut bersama Relawan TIK. Seperti biasanya saya selalu menyambut dan bersemangat kalau kegiatannya adalah untuk masyarakat, sehingga saya menyatakan kesiapan untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut. Selanjutnya kepala sub direktorat nya meminta saya dapat menggelar acara se Garut dan Tasikmalaya. Namun saya ingat ada Relawan TIK komisariat kampus yang baru dikukuhkan di Tasikmalaya dan ingin memberi kesempatan untuk menggelar acara bersama Kementrian. Karenanya saya tawarkan penyelenggaraan di Tasikmalaya kepada ketua kampusnya. Dan kepada Kementrian saya sampaikan bahwa untuk dua wilayah berbeda ini masing-masing ada tim penyelenggaranya sendiri. 

Untuk di Garut saya ingin menyerahkan penggarapan kegiatannya kepada Relawan TIK Garut. Namun karena ketua Relawan TIK Garut menyatakan belum sanggup menggarapnya maka diputuskan saya garap kegiatannya bersama beberapa pihak yang ada di dalam WAG Smart Garut, dan tentunya Diskominfo Garut selaku mitra Sekolah Tinggi Teknologi Garut sudah pasti dilibatkan. Saya pun mencoba inbox ke Kepala Dinas Koperasi dan UKM. Beliau merespon positif dan meminta saya untuk menghubungi kepala bidangnya. Akhirnya saya kumpulkan semua kontak dalam WAG baru bernama Event UMKM Garut. Kegiatan kolaboratif antara Perguruan Tinggi atau Komunitas dengan Pemerintahan ini bukan kali pertama saya buat, sudah dijalankan sejak 2015 khususnya dengan Diskominfo Garut. 

Untuk kebutuhan peserta saya meminta bantuan pegiat UKM Garut. Beliau menyebarkan informasi kegiatan dan membuatkan WAG khusus untuk kegiatan. Walau demikian, direktorat pemberdayaan informatika membuat surat khusus yang ditujukan kepada pak bupati untuk penyediaan tempat dan peserta. Surat untuk bupati Garut dan walikota Tasikmalaya dikirimkan ke saya saat berada di Semarang. Surat tersebut kemudian saya teruskan ke sekretaris Diskominfo Garut dan tim Tasikmalaya. Saat itu disepakati waktu pelaksanaan di Garut pada tanggal 13 Agustus 2017.

Karena belum ada respon pemerintah kabupaten atas surat tersebut, kemudian diputuskan dalam WAG Event UMKM Garut waktunya diundur. Hal ini menyebabkan sedikit kekecewaan di sisi kementrian karena marketplace untuk Garut sudah dikontak. Walau demikian kementrian masih bersedia mengundurkan waktunya ke 4 September 2017. Saya berusaha untuk menjelaskan bahwa peserta sebenarnya sudah siap, hanya saja masih menunggu respon tersebut. Saya bahkan sudah menetapkan aula Musaddadiyah sebagai tempat alternatif dan meminta bantuan kampus untuk mendapatkan bantuan penggunaannya. Namun karena komitmen awal ini adalah kerja kolaboratif, saya mengikuti keputusan yang dibuat di WAG EVent UMKM Garut, dan memilih untuk menunggu jawaban dari pak Bupati yang sedang diusahakan oleh Diskominfo Garut. 

Ketua Relawan TIK Garut berhasil memobilisasi mahasiswa bidik misi Sekolah Tinggi Teknologi untuk menjadi fasilitator yang membantu pendaftaran peserta ke marketplace sesuai arahan saya. Sore hari tanggal 3 September 2017, Bibli selaku marketplace yang dipilih oleh kementrian untuk kegiatan UMKM Go Online di Garut datang dan memberikan pengarahan kepada 10 orang fasilitator di Pendopo yang sudah dikondisikan oleh Diskominfo Garut. 


Tidak lupa saya coba usahakan lagi ada manajer puncak kampus yang bisa hadir dalam acara tersebut. Saya coba menghubungi wakil ketua akademik yang sebelumnya ingin bergabung dalam kepanitiaan. Tapi beliau sedang sibuk dengan pekerjaan di kampus dan akan hadir dengan izin dari ketua. Saat itu kampus memang sedang menyiapkan akreditasi program studi Teknik Industri, di mana ketua dan semua wakil ketua di kampus sedang sibuk melengkapi dokumen kelengkapannya. Dua hari sebelumnya saya sebenarnya sudah mengundang ketua Sekolah Tinggi Teknologi Garut, dan beliau dengan pertimbangan pekerjaan akreditasi yang belum rampung, mempercayakan kepada saya untuk mewakili Sekolah Tinggi Teknologi Garut. 

Sekretaris diskominfo Garut dan kepala bidang pengembangan usaha koperasi dan usaha mikro Diskopukm Garut berhasil mengupayakan kehadiran pak Bupati untuk memberikan sambutan dalam acara tersebut. Pagi itu saya mengangkut semua yang diperlukan ke dalam mobil, mulai dari proyektor, printer, standing banner Relawan TIK Indonesia dan program studi Informatka Sekolah Tinggi Teknologi Garut, dan lain sebagainya. Tidak cukup waktu untuk mengambil brosur kampus untuk dibagikan ke ratusan peserta UMKM Go Online. Satu perangkat penting yang tertinggal adalah perpanjangan kabel. Untunglah ketua Relawan TIK Garut membawa motor sehingga saya bisa membeli perangkat tersebut di Indomaret dan toko listrik dengan cepat. 

Protokol Bupati kepada saya bertanya siapa saja yang duduk di depan. Saya putuskan yang duduk di depan adalah kepala sub direktorat yang mewakili direktur pemberdayaan informatika Kemkominfo, kepala Diskominfo Garut, kepala Diskopukm Garut, dan pak Bupati. Saya mendapatkan kabar wakil ketua bidang kerjasama akan hadir, namun karena kabar itu belum pasti saya putuskan tidak menyediakan kursi di depan untuk Sekolah Tinggi Teknologi Garut. Saya sekalipun mewakili kampus, tidak bisa duduk di depan karena harus memastikan semua hal dapat berjalan. Relawan TIK Garut tidak saya tempatkan di depan, supaya nampak posisi relawannya. Namun mereka diberi kursi paling depan bersama kawan-kawan Bibli dan pejabat di lingkungan dua dinas sehingga pak Bupati bisa melihat serangam Relawan TIK Indonesia. Meja di depan sendiri tidak luas sehingga kalau semua duduk di depan tidak akan cukup. 

Dalam sambutannya pak Bupati hanya menyebutkan dua dinas sebagai penyelenggara kegiatan, mungkin karena yang dilihatnya di depan hanya kepala dinas. Beliau baru ngeuh ada Sekolah Tinggi Teknologi Garut saat wakil ketua bidang kerjasama dipanggil ke depan untuk menerima piagam penghargaan dari Direktorat Pemberdayaan Informatika. Bagi saya itu tidak menjadi soal, yang penting kegiatan UMKM Go Online dapat berjalan dan manfaatnya sampai kepada peserta. Dan rangkaian kegiatan itu alhamdulillah dapat berjalan semua, sekalipun ada kendala teknis saat fasilitator meregistrasikan peserta. Dalam kesempatan itupun Relawan TIK Garut mendapatkan piagam penghargaan. 


Di dalam waktu kegiatan, ada beberapa peserta yang ingin masuk namun namanya tidak tercantum di daftar peserta. Saya memberi arahan kepada panitia registrasi ulang untuk mempersilahkan peserta tersebut untuk masuk. Di akhir kegiatan banyak peserta yang masih belum beranjak dari kursinya. Selewat saya dengar ada peserta yang mengatakan soal uang transfortasi. Saya menerima informasi dari panitia registrasi beberapa peserta menanyakan soal uang tersebut. Ternyata memang peserta menanti uang penggantian transportasi di akhir kegiatan. Dalam keseluruhan kegiatan yang pernah saya lakukan bersama kementrian di Garut, tidak pernah ada uang penggantian transportasi bagi peserta. Dalam kegiatan bersama Nawala Nusantara sebelumnya pun demikian. Saya bersama mitra hanya menyediakan kesempatan bagi UMKM atau peserta untuk mendapatkan tambahan ilmu gratis plus konsumsi. Saya juga berfikir pertemuan seperti itu seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai ajang silaturahmi dan berbagi pengalaman langsung di antara peserta. 

Di grup peserta saya menyampaikan permintaan maaf sebagai berikut : 

"Terima kasih kpd pelaku UMKM yg telah ikut serta dlm pelatihan gratis marketplace bertajuk UMKM Go Online yg dijalankan oleh Relawan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) Sekolah Tinggi Teknologi Garut dan didukung oleh Kemkominfo RI, Pemkab Garut (Diskominfo Garut dan Diskopukm Garut), dan kawan-kawan Relawan TIK di Garut. Semoga bermanfaat dan barokah. Maaf tdk ada amplop transportasi utk peserta seperti kegiatan Pemerintahan, karena kami melaksanakannya dgn swadaya sendiri dan hanya mendapat bantuan transportasi utk teman-teman Relawan yg membantu penyelenggara kegiatan saja".

Kemudian pengurus GUMKOMINDO Garut memberi respon sebagai berikut :

"Alhamdulillah. Haturnuhun pisan untuk Relawan TIK Garut dan STTG yang telah berkontribusi bagi pengembangan usaha para UKM dg pelaksanaan pelatihan UKM Go Online. Terkait "amplop", saya sendiri cenderung ingin mengusulkan agar kegiatan 2 yg diselenggarakan oleh pemerintah meniadakan uang saku dan mengkonversi dengan penyelenggaraan yg berkualitas dan fasilitas yg lebih bermanfaat bagi peserta. Supaya kita saat ikut pelatihan teh teu salah niat".

Ada satu hal lainnya yang lepas dari perkiraan saya. Ternyata kami juga harus memberi uang jasa kepada beberapa orang yang menyiapkan dan membereskan Pendopo. Tadinya saya berfikir dengan izin pak Bupati semuanya sudah selesai, hehehe. Awalnya teman panitia yang memegang uang memberi seratus ribu rupiah, tapi uang itu kemudian dikembalikan karena katanya tidak cukup. Lalu saya bertanya ada berapa orang dan berapa per orangnya. Beliau memberi informasi ada 10 orang yang bekerja dan mengusulkan untuk setiap orangnya 50 ribu rupiah. Setelah saya hitung, ternyata totalnya melampaui insentif relawan TIK yang disediakan oleh kementrian. Seandainya ada dana lain, saya tidak berani menawar. Tetapi karena saya tidak punya uang selain insentif untuk panitia yang berasal dari kementrian, saya pun menawar agar satuannya dikurangi. Akhirnya disepakati kami bisa membayar jasa teman-teman di Pendopo setengah dari usulan tersebut. 

Kemudian saya membayarnya dengan satu insentif punya panitia Sekolah Tinggi Teknologi Garut, sisanya lumayan bisa untuk bayar kopi yang diminum teman-teman panitia Sekolah Tinggi Teknologi Garut. Teman-teman dosen dari Sekolah Tinggi Teknologi Garut yang jadi panitia registrasi sebenarnya tidak akan keberatan bekerja tanpa insentif, karena komitmen awal yang dbangun dengan saya hanyalah sertifikat kegiatan. Relawan TIK Garut juga sama, niatnya tidak mendapatkan insentif tapi ingin membantu program pemerintah saja. Walau demikian kementrian berbaik hati memberi insentif atau tranfortasi untuk semua relawan yang terlibat, sehingga walaupun ketua Relawan TIK Garut sempat menolak insentif untuk fasilitator yang direkrutnya, saya menyerahkan amplop insentif tersebut untuk dibagikan ke semua fasilitator yang sudah mendaftarkan peserta ke marketplace. 

Banyak snack dan nasi yang tersisa dari kegiatan tersebut. Semuanya diangkut dan diturunkan di kampus. Kami bagikan kepada semua pegawai kampus, termasuk office boy dan satuan pengamanan. Satu dus dibawa untuk dibagikan ke pengajian, dan tiga dus saya turunkan di Pondok Pesantren al-Musaddadiyah untuk dibagikan kepada santri di sana. Semoga amal ibadah dan kelelahannya menjadi penghapus dosa dan tambahan berat amal di yaumil mizan kelak. Amin.   

Rabu, 02 Agustus 2017

Sosialisasi Gerakan Nasional Revolusi Mental melalui Medsos se Jateng


2 Agustus 2017 ini saya membantu Kementrian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan Kementrian Komunikasi dan Informatika dalam acara pelatihan media sosial bagi pelajar dan penggiat relawan TIK. Kegiatan tersebut merupakan kerjasama dua institusi pemerintahan tersebut dengan Relawan TIK Indonesia. Ada dua kesempatan materi hari itu, dan saya kebagian mengisi materi Literasi Digital mewakili Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia pada pagi harinya plus malam ditemani kang Johan ketua bidang Penelitian dan Pengembangan Relawan TIK Indonesia. 

Beberapa hari sebelumnya, tepatnya satu hari sebelum Musyawarah Relawan TIK Indonesia wilayah Jawa Barat, saya dihubungi Unggul Sugena pelaksana harian Relawan TIK Indonesia yang meminta saya untuk dapat mewakili Relawan TIK Indonesia untuk menjadi pemateri kegiatan tersebut di Bandung. Saat itu saya menjawab belum bisa karena masih ada yang harus dikerjakan dalam kegiatan Korea Information Technology Volunteers di Garut. Beberapa harinya lagi kang Unggul kembali menghubungi dan menanyakan kesediaan saya untuk dapat mengisi kegiatan tersebut di Yogyakarta atau Semarang. Karena waktu pelaksanaan di Yogyakarta terlalu mepet dengan waktu kepulangan Relawan TIK Korea Selatan, maka saya memilih lokasi kegiatan di Semarang. Satu hari sebelum keberangkatan saya menemui Relawan TIK Korea Selatan di Hotel Redante untuk memastikan mereka baik-baik saja sebelum saya tinggalkan sebentar ke Semarang. 

Alhamdulillah saya tidak perlu mengeluarkan uang, karena transfortasi sudah ditangani panitia kegiatan. Perjalanan dari Garut ke Bandara sempat berputar-putar karena seperti biasa Google memberikan jalan terpendek yang tidak bisa dilalui kendaraan yang saya pake. Maklumlah ini kunjungan pertama sendirian ke Bandara Husein. Agak dag-dig-dug karena khawatir tidak sempat boarding akibat habis waktu dipake puter-puter jalan. Alhamdulillah sampai beberapa menit sebelum waktu tenggat, dan ternyata pesawat Wings Air ini delay lama. 

Setelah melewati perjalanan dengan pesawat ATR yang lumayan kerasa goyangannya, tibalah di Bandara Ahmad Yani Semarang. Di sana saya ditemui sopir yang dikirim oleh panitia, namun saya meminta maaf tidak bisa ikut karena ada teman Relawan TIK Semarang akan datang menjemput. Mas Wijayanto pun datang menjemput dan langsung meluncur ke hotel Grand Candi tempat nginap pemateri dan panitia kegiatan malam itu. Di sana sudah lebih dulu tiba kang Johan, kita ngobrol lama tentang Relawan TIK hingga hampir tengah malam.


Keesokan harinya saya menyampaikan materi Literasi Digital - Peran Relawan TIK Indonesia : Mewujudkan Revolusi Mental dengan INCAKAP di hadapan pelajar pilihan dari sejumlah sekolah se Jawa Tengah. Anak-anak ini cukup responsif dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bagus seputar pemanfaatan internet dalam keseharian hidup mereka. 


Malam harinya saya bertemu dengan teman-teman Relawan TIK di Semarang dan mendengarkan rencana Musyawarah Relawan TIK Indonesia wilayah Jawa Tengah. Dalam pembicaraan tersebut saya memberikan masukan agar sebelum melaksanakan pemilihan ketua umum baru untuk wilayah Jawa Tengah dan menyusun program kerja, sebaiknya didengarkan kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan hambatan yang ada di setiap cabang. 


Setelah itu saya bersama kang Johan duduk bersama perwakilan Dinas Komunikasi dan Informatika provinsi Jawa Tengah dan Kementrian Kordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan untuk mengisi acara panel di hadapan pegiat sosial media se Jawa Tengah. Dalam kesempatan itu saya menjelaskan konsep Hijrah Digital yang meliputi hijrah kondisi dari buta menjadi melek serta hijrah perangkat dari offline menjadi online. Konsep ini pertama kali saya sampaikan dalam seminar pendidikan karakter di Garut yang diselenggarakan oleh Yayasan Intan Pembangun Karakter. 

Keesokan harinya sambil menunggu waktu boarding, mas Wijayanto menawarkan kesempatan untuk berkunjung ke objek wisata di Semarang. Saya ingat dulu pernah membaca di media ada kawasan pemandian di puncak bukit mirip Darajat di Garut, hanya saja airnya tidak panas kalau di sana. Mas Wijayanto bersedia mengajak saya ke sana, yang ternyata berada di luar kota, tepatnya di kabupaten Semarang. Lokasinya ternyata di perdesaan melewati jalan kecil dan menanjak. Sekilas jalan setapak di pemandian Unggul Sidomukti ini seperti Karacak Valley, dan pemandangannya yang menampilkan pemandangan panorama kabupaten Semarang seperti Puncak Darajat. Tiket masuknya murah, pengelolaannya profesional. 


Magrib itu saya tiba di Bandara Husein Bandung. Di pintu parkir saya mendengar dua opsi pembayaran dari petugas pintu parkir. Untuk parkir selama tiga hari ini saya harus membayar mahal. Tapi saya maklum karena parkiran di sini padat sekali. Keluar dari area Bandara bertemu dengan macet yang menghiasi Bandung setiap waktu pulang kerja. Baru sekitar pukul sepuluhan saya pun tiba di rumah kembali, bertemu dengan anak dan istri yang telah tidur lelap. 

Kamis, 06 Juli 2017

Aku dan Relawan TIK


Perjalanan Menuju Pengukuhan

Di masa lalu aku adalah mahasiswa yang sukarela memasang komputer server dan menghubungkan jaringan lokal kantor dengan komputer server berkas sendirian, walau itu tidak ditugaskan oleh kampus. Aku tidak sama sekali merasa sungkan untuk membantu kampus ku sendiri secara sukarela, karena aku butuh ruang amal untuk kepentingan akhirat dan karena aku berfikir kampus tidak bisa maju kalau mahasiswanya hanya berpangku tangan. 

Kampuslah yang membuka ruang bagi mahasiswa untuk turut membantu pengelolaan perangkat komputer dan jaringan di Laboratorium, dan aku siap bertanggung jawab atas keterlibatan mahasiswa dalam menyediakan layanan teknologi informasi secara sukarela di luar Laboratorium dan di luar kampus. Aku lah yang sejak tahun 2007 telah membuat mereka dibebani pekerjaan mandiri di luar kurikulum, terlibat dalam kelompok kerja mahasiswa yang melaksanakan beragam aktivitas layanan JAKI (Jaringan, Komputer, Aplikasi, dan Informasi) secara sukarela untuk kampus, dan menjalankan kelompok belajar untuk kaderisasi relawan yang bernama Forum TIK. Aku pernah mencoba membentuk forum ini tahun 2005, namun baru bisa berjalan dalam pengelolaan mahasiswa dua tahun kemudian. 

Wadah diskusi berbentuk forum ini sejak awal aku anggap penting. Dalam berkas laporan yang disampaikan kepada ketua Sekolah Tinggi Teknologi Garut pada tanggal 4 Januari 2002, saat menjadi relawan di Laboratorium Komputer, ku tuliskan bahwa kampus harus memiliki Pusat Teknologi Komputer yang dilengkapi ruang diskusi. Mungkin karena aku sadar pentingnya pengetahuan yang aku dapatkan sendirian di Laboratorium Komputer ini dari buku, majalah, dan pengalaman praktik di sana. Aku juga mengusulkan adanya ruang penelitian, perpustakaan, dan pusat operasi harian layanan TIK. Usulan ini aku jadikan pegangan saat merumuskan UPT Sistem Informasi Sekolah Tinggi Teknologi Garut tahun 2008. 

Aku selalu berkata kepada mereka di setiap angkatannya, bahwa pekerjaan sukarela ini adalah dalam rangka pengabdian, untuk pengalaman lapangan yang tidak diperoleh di dalam kelas. Mereka harus berbagi pengetahuan dan pengalaman kalau ingin pengetahuan dan pengalamannya bertambah. Banyak yang percaya dan bergabung. Dan satu tahun berikutnya aku mendengar dari mulut mereka bahwa ada bukti dari apa yang telah aku katakan itu. Oleh karenanya mereka nampak selalu semangat, walau mereka harus menjalani sistem penjenjangan hanya untuk membuka pintu pengalaman dalam proyek layanan JAKI di kampus atau kegiatan relawan lainnya. Dalam sistem penjejangan tersebut, mereka harus bergabung dalam forum TIK dulu. Satu tahun kemudian mereka membantu aktivitas layanan dalam kelompok kerja JAKI, dan satu tahun berikutnya mereka dapat dipilih sebagai kandidat koordinator kelompok kerja mahasiswa.     

Mereka juga berusaha semampunya menjalankan program kerja mingguan, bulanan, insidental, dan semesteran. Dengan program itu mereka tidak hanya mempraktikan keterampilan dalam rangka menyelesaikan masalah atau memenuhi kebutuhan nyata, tetapi juga mengajarkan pengetahuan dan keterampilan mereka kepada mahasiswa lainnya. Memang agak susah untuk mendorong mereka membuat laporan tahunan terkait aktivitas yang dilaksanakan, tetapi bagi ku yang terpenting adalah mereka telah mendapat manfaat dari kegiatan relawan tersebut. Dengan semangat mereka itu aku bisa naikan level tantangannya, di mana pada tahun 2009 aku berikan kesempatan kepada mereka untuk menjalankan proyek berbayar dalam wadah bernama Balai Latihan Kerja Mahasiswa. Aku namai levelnya dengan nama donasi, karena mereka mengupayakan profit untuk untuk operasional kegiatan relawan. Level ini melengkapi level sebelumnya yakni edukasi dalam forum TIK dan dedikasi dalam kelompok kerja JAKI. Kesempatan itu juga sekalian untuk memberi gambaran kepada kampus bagaimana investasi TIK telah dihemat karena keterlibatan relawan ini. Sebelumnya aku memang sempat agak tersinggung saat kampus menganggap biaya operasional TIK teramat besar, padahal sekelompok relawan di kampus telah berusaha menekan biayanya. 

Pada sekumpulan mahasiswa itu aku berkata, bahwa jika kalian atau kampus ini sudah mendapatkan manfaat dari kegiatan ini, maka mari kita bantu kampus lain untuk mendapatkan manfaat serupa. Perkumpulan itu bernama Kelompok Pecinta TIK atau KPTIK, transformasi dari forum TIK yang ditetapkan namanya pada tahun 2011. Dalam kegiatan pengenalan Relawan TIK Indonesia, ketua bidang literasi pengurus pusat Relawan TIK Indonesia menyarankan agar kumpulan mahasiswa ini tidak hanya menjadi pecinta, tetapi juga harus membuat apa yang dicintainya dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat. Saat itulah ku putuskan untuk merubah namanya menjadi Kelompok Penggerak TIK. Dan pada tahun 2012 itu, anggota KPTIK mulai mengenalkan KPTIK kepada siswa perwakilan sekolah dan merintis KPTIK di sekolah untuk mewujudkan manfaat relawan yang luas.

Karena sejak tahun 2011 terbentuk KP2TIK (Kelompok Pengembang Platform TIK), maka keberadaan kelompok yang berbeda dengan KPTIK ini juga harus dijaga. Karenanya aku katakan kepada anggota KPTIK saat itu bahwa dua kelompok ini harus melebur menjadi Komunitas TIK. Pada tanggal 15 Oktober 2012, bersama mereka ku bentuk Komunitas TIK Garut. Semangat utamanya masih sama, yakni meluaskan manfaat relawan di kampus, selain melanjutkan kerja kolaboratif yang terbangun di antara pegiat TIK di Garut saat mendampingi program KIV (Korea Information Technology Volunteers) yang dipercayakan Relawan TIK Indonesia kepada ku. Komunitas TIK Garut akan menaungi semua Komunitas TIK di sekolah-sekolah yang didampingi oleh Komunitas TIK kampus. Oleh karenanya tidak heran kalau pada tahun 2015 Komunitas TIK SMKN 10 Garut dibentuk oleh sekolahnya dengan logo yang sama persis dengan Komunitas TIK Garut; anggota semua Komunitas TIK ikut dalam kegiatan pelatihan gabungan, dan pembinanya hadir dalam Konferensi Komunitas TIK tahunan. 

Pada tanggal 24 November 2017, aku bersama tiga pegiat TIK lainnya, baik yang telah terdaftar ataupun belum sebagai anggota Relawan TIK Indonesia, dikukuhkan dengan mengenakan seragam Relawan TIK Indonesia. Pengukuhan itu mungkin agak menyalahi target pengurus pusat, karena ketua umumnya pernah menjawab pertanyaanku tentang pembentukan kepengurusan di Garut bahwa targetnya sekarang ini adalah membentuk kepengurusan di provinsi. Pengukuhannya secara simbolis dilakukan oleh Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal. Saat pengukuhan tersebut beliau bertanya, manakah yang lulusan ITB?. Hanya aku yang merupakan lulusan paskasarjana ITB dan berdiri saat itu. Ucapan beliau seakan memberi ingatan kepadaku bahwa apa yang aku peroleh dari ITB harus menjadi bekal dalam seluruh amal baktiku. 

Kehadiran beliau tidaklah disengaja, karena keterlambatan beliau menghadiri acara Wisuda kampus. Senat kampus saat itu di salah satu ruangan di gedung yang sekarang menjadi Area 306, meminta kesediaan ku untuk memberikan ruang waktu bagi beliau. Sebenarnya yang direncanakan untuk menjadi bintang utama kegiatan itu oleh Kementrian adalah Pak Cahyana Ahmadjayadi staf ahli Menkominfo. Dalam kesempatan sayup-sayup walau tidak terdengar, beliau mendorong mahasiswa ku yang hadir saat itu untuk ikut jejak langkah ku. Beliau saat itu memberi gelar kepadaku dengan nama Cahyana Junior. Beliau merasa heran ada seseorang yang memiliki nama yang sama dengan beliau dan mengira saya ada hubungan persaudaraan dengan beliau. Dan lucunya beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2015, saat digelar kegiatan Hackathon Merdeka 2.0, orang-orang Telkom yang menjadi mitra kegiatan mengira saya adalah anak perempuannya beliau. Dugaannya sudah teramat jauh, karena saya bukan anak beliau dan bukan juga perempuan, hahaha.   

Ku Dedikasikan Semuanya untuk Relawan

Seseorang dari Direktorat Pemberdayaan Informasi Kementrian Komunikasi dan Informatika mengatakan kepada saya bahwa Garut beruntung karena pengukuhannya dihadiri oleh Dewan Pembina, Pengurus Pusat, dan terutama oleh Menteri. Karena belum ada yang dikukuhkan oleh Menteri, bahkan pengurus pusat sekalipun. Sejak saat itu ku sadari diri ini adalah bagian dari Relawan TIK Indonesia. Blog Komunitas TIK Garut aku rubah namanya menjadi Pusat Komunitas dan Relawan TIK Garut, sebagai wujud komitmen ku untuk membesarkan Komunitas TIK Garut dan Relawan TIK Garut. 

Di media sosial aku sering membagikan berkas konsep KPTIK, sebagai wujud amal berbagi yang selalu aku lakukan dan ajarkan. Kawan Relawan TIK Indonesia dari Palopo bahkan menyebut Garut sebagai kiblat Relawan TIK Indonesia, hanya karena kami banyak menyediakan berkas dokumentasi kegiatan KPTIK di blog. Aku selalu bilang baik kepada teman-teman Relawan TIK Indonesia ataupun Kementrian, bahwa Garut adalah untuk Indonesia. Artinya semua yang kami buat bebas untuk diambil. Secara khusus ada ruang simpan yang aku buat untuk menyimpan semua luaran kegiatan Komunitas dan Relawan TIK Garut agar dapat diakses oleh siapa saja. 

Rupanya apa yang aku bagikan menarik perhatian Direktorat Pemberdayaan Informatika. Dalam kesempatan kunjungannya ke Garut, salah satu pejabatnya menyatakan ketertarikannya dengan sistem penjenjangan KPTIK dan menganggapnya bermanfaat bagi Relawan TIK Indonesia. Tidak hanya KPTIK, beliau juga menyatakan ketertarikannya terhadap ICT4Pesantren. Mungkin inilah sebab kenapa Antaranews dikirim oleh Direktorat tersebut untuk meliputi kegiatan KPTIK dan peluncuran ICT4Pesantren. Yang pasti aku tidak pernah memintanya atau melakukan "lobi-lobi", istilah yang sering ku dengar di kalangan pengurus pusat. Aku ingat saat Rapat Kerja Nasional di Menado ada seseorang yang mengingatkan ku (entah serius atau gurauan) agar tidak melakukan lobi-lobi, padahal yang ku sodorkan kepada orang Direktorat Pemberdayaan Informatika itu adalah surat dinas yang harus diparaf sebagai bukti perjalanan dinasku. Sekalipun untuk menghadiri kegiatan di Menado itu aku harus melewatkan sesi wawancara anugerah prestasi, aku tidak perlu mencari untung duniawi, karena aku telah mendapatkan keuntungan ukhrowi. 

Hingga kemudian pada tahun 2013 aku diundang oleh Direktorat Pemberdayaan Informasi untuk hadir dan diberi kesempatan mengikuti lelang pekerjaan membuat sistem sertifikasi untuk Relawan TIK Indonesia. Orang pertama yang aku hubungi adalah ketua umum Relawan TIK Indonesia. Melalui pesan singkat aku bertanya soal perusahaan yang harus digunakan untuk keperluan lelang tersebut. Tetapi tidak ada balasan dari beliau. Akhirnya aku menyerahkan kesempatan tersebut kepada CV Insan Akademika, badan usaha milik Sekolah Tinggi Teknologi Garut yang biasa mengikuti lelang pekerjaan di pemerintahan. Hal tesebut menunjukan bahwa aku telah memprioritaskan Relawan TIK Indonesia dari pada kampusku sendiri untuk proyek tersebut. Walau demikian saat itu aku tidak terlalu memikirkan sebab kenapa Relawan TIK Indonesia tidak merespon pertanyaan ku. Bahkan aku sendiri bingung memahami apa yang harus aku buat dengan tawaran lelang tersebut.  

Takdir mengharuskan CV Insan Akademika mengerjakan proyek tersebut. Aku berusaha sebisanya untuk membantu tim mengerjakan proyek tersebut. Modal upayaku saat itu adalah ingatanku kepada pernyataan ketertarikan pejabat Direktorat Pemberdayaan Informatika terhadap sistem penjenjangan KPTIK. Gagasan yang aku buat adalah membuat sistem penjenjangan generik dengan merujukan sistem penjenjangan KPTIK dengan kegiatan relawan bidang TIK yang dilaksanakan di berbagai negara dan dilaporkan pada berbagai literatur. Direktorat Pemberdayaan Informatika sempat meminta agar bagian yang menyebutkan KPTIK Sekolah Tinggi Teknologi Garut dihilangkan. Permintaan tersebut membuat tulisan ini harus menjadi tulisan objektif tentang sistem penjenjangan Relawan TIK. Akhirnya produk pekerjaan itu berjudul Aktivitas dan Kompetensi Relawan TIK. Di dalamnya dibahas tentang pengertian Relawan TIK, aktivitas dan kompetensinya, serta sistem penjenjangan yang berkaitan dengan sertifikasi Relawan TIK. 

Pada bulan Mei 2013 hasil pekerjaan tersebut ku sajikan dalam Rapat Kerja Nasional Relawan TIK Indonesia. Baru ku sadari sekarang ini, seharusnya aku saat itu menyajikannya dengan mengenakan pakaian yang mencerminkan aku ini adalah perwakilan CV Insan Akademika. Tetapi aku terlalu larut sebagai anggota Relawan TIK Indonesia, sehingga aku menyajikan hasil pekerjaannya dengan mengenakan pakaian Relawan TIK Indonesia yang ku peroleh dari kegiatan pengukuhan satu tahun sebelumnya. Pernyataan anggota Relawan TIK Indonesia dalam forum yang masih aku ingat saat itu adalah tentang tidak mungkinnya orang Papua untuk mengikuti pelatihan TIK sehubungan kemampuannya yang tidak sama dengan orang di pulau Jawa. Saat itu aku berusaha untuk meyakinkan bahwa materi TIK yang dilatihkan kepada calon Relawan TIK adalah TIK dasar yang dibutuhkan oleh umumnya pengguna. Ketiadaan tenaga pelatih yang menguasai materi tersebut dapat disiasati dengan menyelenggarakan pelatihan untuk pelatih. Walau demikian, ada sebagian yang mengapresiasi aktivitas dan kompetensi Relawan TIK yang aku sajikan dan meminta agar dapat dilaksanakan di Relawan TIK Indonesia. 

Beberapa bulan berikutnya, bertempat di Jakarta aku diundang dalam kegiatan FGD (Focus Group Discussion) sebagai upaya Direktorat Pemberdayaan Informatika menerapkan hasil pekerjaan CV Insan Akademik dalam organisasi Relawan TIK Indonesia. Dalam pertemuan itu, pengurus Relawan TIK Indonesia menyatakan bahwa hasil pekerjaan tersebut tidak ada yang bisa diterapkan oleh Relawan TIK Indonesia, dan hanya akan dijadikan literatur saja. Permasalahan yang aku tangkap dari pengurus pusat Relawan TIK Indonesia adalah soal tidak adanya istilah Relawan TIK Penggerak, Perintis, Pengembang, dan lainnya dalam AD/ART Relawan TIK Indonesia. Aku merasa pengurus pusat saat itu teramat kaku dalam menyikapi istilah-istilah yang aku buat berdasarkan sejumlah literatur. 

Aku tidak mempersoalkan hasil pekerjaannya bermanfaat atau tidak bagi Relawan TIK Indonesia, aku hanya agak sedikit tersinggung karena hasil pekerjaan yang diperoleh dengan memperhatikan literatur itu banyak dibantah tanpa menggunakan literatur. Aku sempat berfikir, seandainya semua kebutuhan pengembangan organisasi bisa diwujudkan oleh Relawan TIK Indonesia dengan tanpa meninjau kegiatan Relawan TIK di tempat lain yang didokumentasikan dalam sejumlah literatur, maka pekerjaan yang digarap oleh CV Insan Akademika ini adalah mubadzir. Direktorat Pemberdayaan Informatika tidak seharusnya mengalokasikan anggaran untuk mengembangkan Relawan TIK Indonesia dengan proyek tersebut. 

Selepas kegiatan itu aku bagikan berkas hasil pekerjaan CV Insan Akademika tersebut ke pengurus pusat Relawan TIK Indonesia yang ikut hadir dalam FGD. Namun ada tanggapan salah satu pengurus pusat yang sungguh mengagetkan. Beliau mengatakan bahwa tidak ada satupun peserta diskusi dari Relawan TIK Indonesia yang faham dan setuju isi buku yang digarap oleh CV Insan Akademika tersebut. Beliau meminta agar buku tersebut hanya dikonsumsi di Garut saja dan tidak perlu disebarkan ke luar Garut. Beliau siap mereview buku tersebut jika disebarkan yang dampaknya tidak akan baik untuk ku. 

Nampaknya beliau tidak faham kalau buku tersebut tidak membahasa tentang Relawan TIK Indonesia, tetapi tentang Relawan TIK secara umum. Saya coba menjelaskan bahwa Relawan yang bergerak dalam bidang TIK tidak hanya ada di Indonesia, sehingga untuk memudahkan dalam buku tersebut digunakan istilah Relawan TIK, tetapi tidak difahami sebagai Relawan TIK Indonesia. Oleh karenanya semua konsep yang tertuang dalam buku tersebut adalah konsep generik yang tidak harus difahami sebagai konsep Relawan TIK Indonesia. Beliau mendorong agar konsep itu untuk Komunitas TIK Garut dan istilah Relawan nya diganti dengan Komunitas saja. Tentu saja hal tersebut tidak mungkin dipenuhi karena sejak awal buku itu dibuat untuk menjelaskan sistem penjenjangan relawan dalam bidang TIK, bukan komunitas TIK. 

Satu kalimat yang cukup menyakiti perasaan adalah bahwa aku bukanlah anggota Relawan TIK kalau aku punya pemahaman yang berbeda dengan pengurus pusat Relawan TIK Indonesia. Kalau konsep dalam buku itu dijalankan di Garut maka aku tidak pantas mengenakan atribut Relawan TIK Indonesia. Kalau tetap mengenakan atributnya, maka aku dianggap mendompleng kebesaran Relawan TIK Indonesia untuk kepentingan pribadi yang kecil. Ternyata apa yang aku perbuat itu dianggap kepentingan pribadi, padahal aku lakukan dengan total untuk Relawan TIK Indonesia. 

Bagi ku itu sama dengan mengusir Relawan TIK Garut hanya karena adanya perbedaan pemahaman. Aku jelaskan kepada beliau bahwa ketua umum Relawan TIK Indonesia sangat terbuka terhadap perbedaan, tidak seperti beliau. Ketua umum Relawan TIK Indonesia mengatakan pada tahun 2012 bahwa teman-teman Komunitas TIK Garut dapat menjadi Relawan TIK Indonesia tanpa perlu melepas atribut Komunitas TIK Garut. Namun dari pernyataan dalam chat tersebut saya diberi tahu kalau di dalam Relawan TIK Indonesia anggota tidak boleh berbeda intepretasi tentang "relawan TIK" (bukan "relawan TIK di Indonesia sebagai personal" dan bahkan bukan "relawan TIK Indonesia sebagai organisasi") sekalipun pemaknaannya berdasarkan kepada literatur. Jadi ilmu pengetahuan yang diwakili literatur bisa diabaikan sekiranya besebrangan dengan pendapat pribadi atau golongan. Terus terang hal ini besebrangan sifat akademisi yang terbiasa meletakan pendapat pribadi dan golongan di atas ilmu pengetahuan.

Sejak saat itu kami melaksanakan kegiatan Relawan TIK Garut dalam bendera Komunitas TIK Garut, supaya tidak dianggap mendompleng kebesaran Relawan TIK Indonesia. Sistem penjenjangan tetap bejalan, karena sejak awal penjenjangan ini memang bukan untuk diterapkan dalam Relawan TIK Garut, tetapi dalam KPTIK. Semua kegiatan yang dilaksanakan oleh Komunitas TIK Garut kami laporkan kepada pengurus wilayah Jawa Barat sebagai kegiatan Relawan TIK Garut, dan itu tidak masalah karena aku sejak awal telah menyatakan dedikasi dan tidak membedakan antara Komunitas TIK Garut dengan Relawan TIK Garut. Dan aku tidak perlu mengatakan Relawan TIK Garut mendompleng Komunitas TIK Garut, karena aku percaya apa yang dikatakan oleh ketua umum Relawan TIK Indonesia tentang Integrasi dan Kolaborasi. Alhamdulillah, karena kegiatan tersebut Komunitas TIK Garut didaulat oleh Dinas Komunikasi dan Informatika serta Gubernur Jawa Barat sebagai Komunitas TIK terbaik di Jawa Barat.

Aku sekarang duduk di kepengurusan pusat karena diminta oleh ketua umum terpilih pada tahun 2016 di Yogyakarta. Jika tidak karena melihat jasa beliau yang besar dalam membangun Komunitas dan Relawan TIK di Garut, aku tidak akan mau. Malam hari sebelumnya aku didorong-dorong seseorang di hadapan pak Fajar Eridianto yang menjabat ketua umum sekarang ini untuk ikut bursa calon ketua umum. Aku menjawab dengan tegas "tidak", jawaban sama seperti yang pernah disampaikan kepada beberapa orang sebelum datang ke Yogyakarta. Jawaban itu bukan karena aku setuju atas nasihat seseorang untuk tidak masuk dalam pengurus pusat Relawan TIK Indonesia, tetapi karena aku tidak ingin saja, dan ingin lebih fokus ke rencana studi Doktoral. Yang aku kerjakan di Yogyakarta saat ngobrol dengan teman-teman pengurus cabang atau wilayah adalah mempengaruhi agar pak Fajar Eridianto terpilih sebagai ketua umum Relawan TIK Indonesia, bukan melobi-lobi agar aku masuk bursa kandidat. Bahkan aku juga heran, kenapa nama ku harus tertulis di papan kandidat ketua umum dalam rapat tertutup itu.   

Tidak perlu meragukan dedikasi ku kepada Relawan TIK Indonesia. Aku bekerja untuk Relawan TIK Indonesia atas dasar kemanusiaan, bukan karena motif kepentingan pribadi yang kecil semisal uang proyek, ketenaran, atau apapun. Harga surga tidak bisa ditukar dengan harga dunia. Sejak tahun 2000 an aku bekerja sebagai Relawan dengan hati demi amal. Apa yang ku bagi adalah untuk melipatgandakan pahala yang di antaranya semoga dapat menggugurkan dosa. Aku tidak menjadikan liputan-liputan media / TV, proyek buku seharga 50 juta, atau hibah seharga 3 milyar, atau anugerah atas prestasi sebagai tujuan menjadi bagian Relawan TIK Indonesia. Tetapi aku tidak bisa menolak apabila orang mau memberi, utamanya untuk kepentingan kampus, Garut, Indonesia, atau Kemanusiaan. Aku bisa buatkan semampu ku buku-buku untuk Relawan TIK Indonesia atau siapapun yang berada di jalan kemanusiaan secara sukarela dan tanpa perlu melalui proyek profit. Aku bisa bantu siapa saja secara sukarela untuk kepentingan bangsa dan negara agar dia atau mereka dapat tampil di media atau mendapatkan anugerah seperti yang dilakukan kolega-kolega terhadap diriku.

Siapa saja dapat menjadikan diriku sebagai bagian dari dirinya jika ia menghendaki. Karena aku adalah kamu, dan kita adalah satu.  

Tulisan ini aku buat sebagai renungan perjalanan relawan ku dalam Relawan TIK Indonesia, sebagai bentuk rasa ikut bersyukur atas adanya Relawan TIK di Indonesia yang keenam tahunnya pada tanggal 5 Juli 2017 lalu. Semoga menjadi pelajaran yang baik dan membuat relawan bisa lebih saling memahami. Selamat milad, semoga Relawan TIK Indonesia menjadi organisasi yang lebih terbuka dan lebih matang.