Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Permendikbud 49/2014 Pasal 1:14)

Sekolah Tinggi Teknologi Garut

Diselenggarakan mulai tahun 1991 dan bernaung di bawah Yayasan Al-Musaddadiyah. http://www.sttgarut.ac.id/

Program Studi Teknik Informatika

Berdiri pada tanggal 30 Juni 1998 dan terakreditasi B. http://informatika.sttgarut.ac.id/

Rinda Cahyana

Dosen PNS Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dpk Sekolah Tinggi Teknologi Garut sejak tahun 2005

Rabu, 22 Desember 2021

Jalan Panjang KomTIK ITG Memperoleh Award


Setelah Komunitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (KomTIK) Garut memperoleh KomTIK Award dari Gubernur Jawa Barat pada tahun 2014, KomTIK ITG sempat masuk daftar penilaian Diskominfo Jabar utk memperoleh Award yg sama. Tapi rejekinya memang harus tahun ini, diperoleh KomTIK (reborn) ITG angkatan ketiga. Ketua Relawan TIK (RTIK) Jawa Barat menginformasikan bahwa pertimbangan diberikannya Award tsb adalah rekam jejak KomTIK ITG yg merupakan komisariat RTIK dalam melaksanakan #RTIKAbdimas.

Program RTIKAbdimas merupakan kerjasama ITG dgn RTIK Indonesia sejak tahun 2013 yg didukung oleh subdit Pemberdayaan KomTIK Kemenkomino RI dan diterapkan dlm mata kuliah (kekhasan lokal) bernama RTIK yg saya ampu. Pengurus RTIK Indonesia menjadikannya sebagai output litbang yg riset dasarnya dimulai oleh ITG sejak tahun 2012 di bawah sponsor Direktorat Pemberdayaan Informatika Kemenkominfo RI, dan sekarang sudah masuk ke fase riset terapan. Di dalam kepengurusan pusat RTIK Indonesia, saya menguatkan diri utk membawanya ke fase pengembangan, dan hilirisasi dlm wujud sosiopreneurship yg membuat organisasi relawan ini naik level kematangan menjadi Madani.

Tidak semua mahasiswa suka dgn program RTIK. Bahkan pada tahun 2013 silam, ada mhs yg mengatakan kepada staf Kementerian bahwa dirinya merasa terpaksa menjadi relawan. Seandainya bukan bagian dari pembelajaran, mungkin ia memilih utk tdk ikut. Tentunya aneh seorang relawan bersikap tdk sukarela atau merasa terpaksa. Tetapi keanehan itu pudar saat kita memahami bahwa dalam pembelajaran, peserta didik memang dapat merasa terpaksa dgn tugas belajarnya. Ada sebagian mhs yg motivasinya bukan pada luaran pembelajaran pembangun profil lulusan / kompetensi dirinya, tetapi pada angka SKS demi ijazah semata. 

Seseorang terpaksa menjadi relawan itu wajar, mengingat "semua orang bisa menjadi relawan, namun tdk semua orang berjiwa relawan". Pembelajaran RTIK dihadirkan di dalam kurikulum ITG utk mengenalkan dan membangun jiwa tsb agar mhs dapat melaksanakan perannya dalam pembelajaran pengabdian kpd masyarakat / KKN. Walau demikian, mhs memiliki otonomi utk membiarkan jiwanya menjadi relawan atau tdk.

Berkat keterlibatan dan kesukarelaan beberapa dosen selaku pengelola program dan pembimbing tim RTIK, pengurus KomTIK ITG selaku asistennya, serta kesungguhan atau keterpaksaan mhs selaku personel timnya, program #RTIKAbdimas ini dapat berjalan empat angkatan, menghasilkan sejumlah publikasi ilmiah dalam topik RTIK, dan menjadi pintu bagi KomTIK ITG utk memperoleh RTIK Award dari Gubernur Jawa Barat. Tinggal satu rencana yg belum dilaksanakan, yakni membawa program ini ke ITU, menjadikan RTIK memperoleh reputasi internasional kembali di WSIS prize.

#BiografiCahyana

Sabtu, 18 Desember 2021

Bekal untuk Mahasiswa Baru

Setelah sebelumnya menghadirkan pak Ahmad Hazairin, guru saya yg memiliki pengalaman belajar di Jerman, tamu kali ini dalam mata kuliah Sistem dan Teknologi Garut adalah Badruzaman Zamzam, murid dan adik tingkat saya, alumni Institut Teknologi Garut yang sekarang ini bekerja di Berlin - Jerman. Memberi wawasan perkembangan STI sekaligus memberi insfirasi kpd mahasiswa baru dgn menghadirkan pengalaman hidup sangatlah penting di fase awal studi mereka.

Dalam kesempatan tersebut, setidaknya ada beberapa point penting yg bisa dipetik dari perbincangan dgn santri engineer tsb: 1) Sedekah kemampuan di internet atau di komunitas merupakan jalan membangun rekognisi yg penting utk memperoleh kesempatan pekerjaan, 2) Bekal penting selain ijazah dan hard-skill adalah soft-skill yg diperoleh melalui pengembangan diri di organisasi kemahasiswaan, 3) Kepercayaan diri dapat terbentuk oleh kemampuan menemukan solusi permasalahan.

Jumat, 17 Desember 2021

Dua Kelompok dalam Dua Fase


Ada dua kelompok manusia yg bisa dibandingkan. Keduanya berada dalam kurun waktu yg sama dan berhadapan dgn dua fase penciptaan, yakni fase penciptaan kekuasaan, dan fase penciptaan kesejahteraan. Satu kelompok telah melewati fase pertama, ditandai dgn adanya pemerintahan yg diakui dan berfungsi. Fokusnya di fase kedua adalah menciptakan banyak penemuan utk mewujudkan kesejahteraan bangsanya. Satu kelompok lagi hidup di lingkungan yg telah melewati fase pertama, tetapi tdk mau beranjak dari fase pertama dan menghabiskan waktu di sana.

Di saat kelompok lain telah menjejakan teknologinya di luar bumi utk mencari sumber daya baru, kelompok kedua ini mengabaikan ketertinggalannya dgn menyebut pencarian tsb sebagai tipuan atau mengada-ada. Mereka asik memikirkan cara berkuasa di tempat yg kekuasaan itu sudah terwujud. Di saat mereka berhasil menggulingkan kekuasaan, di fase kedua mereka tdk memperoleh kekuasaannya secara penuh, sebab kekuasaan IPTEK tdk berada di tangan mereka dan kesenjangannya teramat jauh.

#PersepsiCahyana

Senin, 13 Desember 2021

Belajar dengan Guru


Belajar ilmu agama tanpa guru itu bisa tersesat, baik hanya sebatas permukaan saja atau mendalam. Pemahaman agama itu jgn hanya sebatas katanya, tapi harus dibenarkan oleh perkataan guru.

مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ فَإِمَامُهُ الشَّيْطَانُ

"Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka imamnya adalah setan."

Demikian yg saya lakukan saat dulu bimbang dgn penggunaan parfum yg dicampur alkohol. Saya tdk mencukupkan diri dgn katanya, tetapi mengkonsultasikan katanya itu kpd guru fiqh. Demikian pula saat katanya tentang akidah itu terdengar di dalam benak dan dituliskan, saya konsultasikan tulisannya kpd guru akidah.

Semua ilmu yg kokoh tdk bisa difahami hanya sebatas teks yg sekilas. Kita memerlukan guru yg telah mempelajarinya secara mendalam dari berbagai literatur di bawah bimbingan gurunya dalam kurun waktu yg tdk sebentar.

#BiografiCahyana

Minggu, 12 Desember 2021

Hindari Fallacy dan Ujaran Buruk


Konten yg menghubungkan HW dgn kelompok Syiah adalah Hoax, sebagaimana disampaikan oleh Ahlul Bait Indonesia salah satu ormas Syiah di Indonesia. Terkait informasi yg menyatakan HW tdk terkait dgn Pesantren juga tdk benar, mengingat Pesantren Manarul Huda Antapani Bandung asuhan HW terdaftar resmi di Kemenag, dan izin operasionalnya dicabut pasca kasus kriminal HW terbongkar.

Sebaiknya kita menyikapi kasus HW ini dgn cara berfikir yg baik, dan meninggalkan kerancuan berfikir / fallacy seperti generalisasi keliru. Menyatakan kesalahan pribadi HW sebagai kesalahan Pesantren adalah generalisasi yg keliru. Menyikapi generalisasi yg keliru ini tdk perlu dgn cara menutupi fakta, semisal mengatakan HW tdk terafiliasi pesantren; atau dgn membuat hoax, seperti HW terafiliasi Syiah.

Konten tdk jelas yg menyudutkan kelompok minoritas tertentu terkadang memicu ujaran kebencian di medsos. Salah satu artikel yg diterbitkan dalam Jurnal Internasional bereputasi yg pernah saya baca menjelaskan bahwa penyebaran konten ujaran kebencian sangat berbahaya, karena dapat menguatkan ekslusivisme, memicu tindak kekerasan di dunia nyata, dan bahkan bisa berujung ke genosida. Sangat penting bagi kita semua utk melawan penyebaran ujaran kebencian di medsos. Keyakinan kita boleh berbeda, tetapi kita adalah manusia yg harus menjaga kemanusiaan.

Hate speech yg hanya sebatas friksi di dunia maya, cukup dihadapi dgn counter speech yg melibatkan tokoh berpengaruh, termasuk pengungkapan hoax. Apabila tdk tercegah dgn counter speech dan sudah berkembang menjadi kekerasan di dunia nyata, pendekatan hukum diperlukan. Counter speech pada dasarnya adalah nasihat dalam kebenaran dan kesabaran, sekaligus wujud amar ma'ruf nahyi munkar yg membuat bangsa ini menjadi istimewa.

#LiterasiDigital
#PersepsiCahyana

Jumat, 10 Desember 2021

Fase Menulis

Setidaknya ada tiga fase yg harus dilalui dalam pembelajaran literasi, yakni 1) Motivasi yg fokus pada kuantitas tulisan, 2) Kreativitas yg fokus pada kualitas tulisan, dan 3) Produktivitas yg fokus pada kuantitas dan kualitas yg berdampak positif.

Menumbuhkan motivasi menulis harus dengan pembiasaan yg pada awalnya tdk perlu memperhatikan kualitasnya, minimal etika tulisannya diperhatikan. Pembiasaan tsb harus dilengkapi oleh komitmen membaca dan mendiskusikannya dgn diri sendiri dan orang lain. Di fase ini seseorang dapat menuliskan tulisan orang lain yg bermanfaat dan menyebarkannya, sehingga terjadi peningkatan jumlah konten positif. Sebaiknya ia mampu menuliskannya dgn bahasa sendiri sebagai hasil diskusi bacaan. 

Seseorang masuk ke fase kreatif saat menuliskan apa yg dibacanya dgn bahasa sendiri, dan diperkaya dgn fikirannya terkait bacaan tsb, sehingga tulisannya nampak otentik. Ujung fase ini adalah kemampuannya tdk hanya dalam menuliskan apa yg difikirkannya setelah membaca pustaka, tetapi juga menuliskan apa yg difikirkannya setelah memperhatikan lingkungannya. Sebaiknya ia membekali diri dgn etika dan kemampuan berfikir yg benar agar tulisannya berbobot, sehingga bukan hanya dirinya saja yg terhibur dgn tulisannya tetapi juga orang lain. 

Seseorang masuk ke fase produktif apabila minimalnya ada satu pembaca yg menikmati tulisannya. Nilai produktivitasnya meningkat saat orang lain ikut menyebarkan tulisannya, sehingga ada banyak orang yg memperoleh manfaat tulisannya. Hal tsb mewujudkan amal jariyah, di mana keberkahan akan maujud saat kemanfaatan tulisannya terus bertahan. Puncak fase ini adalah manfaat ekonomi, di mana penulis memperoleh profit yg membuat kegiatan menulisnya lebih produktif lagi.

Mengajarkan orang lain utk menulis itu memang bisa dilakukan tanpa keluar uang sepeser pun. Tetapi semakin besar usahanya, pada akhirnya pegiat literasi akan memerlukan uang utk operasional dan peningkatan kemampuannya. Itulah sebab kenapa puncak produktivitas itu kontribusi yg ditunjang oleh profit. 

Kreativitas yang Adil

Setiap kali berkedara, saya selalu menemukan pengendara yg kreatif melawan aturan lalu lintas, seperti berbelok kanan di jalan Cimanuk sekalipun ada larangan belok kanan, dan parkir di tempat larangan parkir. Kreativitas itu baik, tetapi harus adil, yakni berkreasi tanpa melabrak aturan. 

Utk membuktikan fenomena tsb, saya memperhatikan hasil uji kreativitas pada sampel. Tugas yg harus dikerjakan oleh sampel adalah membuat tulisan dgn pilihan topik yg banyak dan melaporkannya dlm berkas yg diberi nama dgn kode tertentu. Ternyata ada banyak sekali sampel yg kreatif, di mana berkasnya tdk cukup diberi nama sesuai intruksi tugas, ditambahi kata lainnya. Bahkan ada yg sama sekali tdk menggunakan kode tsb, entah krn menganggap kode tsb tdk lebih keren dibandingkan nama yg dipilihnya, atau pertimbangan lainnya. 

Saya teringat kuliah pak Kridanto Surendro saat mengikuti program Magister dulu. Beliau mengatakan kepada kami bahwa tugas yg mudah tetapi terlihat susah di kalangan orang dewasa sekalipun adalah menulis nama berkas sesuai intruksi atau aturan yg ditetapkan. Kemampuan kreavititas yg adil itu sangat penting, karena ketidakadilan membuat kreativitasnya tidak "nempat". Ketidakadilan dapat menyusahkan orang lain. Mungkin saja kondisi sederhana yg menjadi indikasi adanya motif melabrak aturan berlalu lintas yg sering saya lihat adalah kemampuan tsb.

#PersepsiCahyana

Senin, 06 Desember 2021

Pekerjaan yang Tidak Diminta

Saya termasuk orang yang awalnya tidak niat bekerja sebagai dosen. Dulu saya menerima tugas dari kampus sebagai dosen dalam kondisi setengah hati, karena masih berfikir untuk mencari pekerjaan lainnya. Saya pernah berniat mundur dari seleksi CPNS, tetapi akhirnya menjadi CPNS juga dan dosen PNS. 

Beban dosen itu lebih berat dan mahal dari pada guru sekolah atau periset lembaga riset. Namun Tuhanlah yang menentukan orang terbaik yang meringankan beban tersebut. Sedekah ilmu adalah wasilah yang seringkali digunakan oleh pendidik untuk meringankan bebannya. 

Hati merasa tenang dengan profesi ini, sebab diperoleh tidak diawali dengan menginginkannya. Saya menginsyafinya sebagai suratan takdir yang harus dijalani sampai akhir dengan penuh amanah. Tuhan pasti memudahkan hamba Nya dalam mengemban amanah pekerjaan yang tidak dimintanya.

#BiografiCahyana

Jumat, 03 Desember 2021

Biarkan Google Belajar

Saat menonton video di Youtube dan membaca sub titlenya pada malam itu, saya awalnya bertanya, siapa yg menulisnya, kok ada kalanya tdk nyambung dan bahkan melabrak nilai?. Pertanyaan itu muncul setelah menemukan banyak keanehan dlm sebuah video, misalnya ada penyisipan singkatan "SAW" setelah kata "beliau", padahal beliau yg dimaksud oleh Sujiwo Tejo adalah Cak Nun dan tdk ada singkatan tsb dlm lisannya Sujiwo.

Kemudian saya tersadar, rupanya yg menulis adalah Google. Teringat slide yg dibagikan oleh guru Filsafat saya tentang nasib chatbot Twitter-nya Microsoft yg "dimatikan" gara2 diajari hate speech oleh followers-nya. Hal serupa juga pernah terjadi dgn Google Translate, namun nasibnya jauh lebih baik dari pada chatbot tsb. Saya berfikir, mungkin akan ada sebagian orang yg baper dgn hasil kerja Google Youtube tsb, sebagaimana dalam kasus chatbot dan Google Translate. 

Sangat kebetulan kejadian ini saya temukan setelah mendapat pengajaran tentang nilai dan etika di kelas Filsafatnya pak Dimitri Mahayana, serasa teorinya dikuatkan oleh kasus nyata yg saya alami sendiri. Saya memahami bila Google saat ini sedang belajar menulis sub title video, mengkonversi suara menjadi teks. Sebagaimana saat Google belajar menerjemahkan dan hasilnya aneh, dlm penulisan ini hasilnya juga masih aneh. Misalnya dlm video perbincangan Pendeta Gilbert dgn Gus Miftah, saat kita mendengar Gus Miftah menyebut kata "menghormati", Google malah mendengar dan menuliskan kata "membunuh".  

Namun tdk perlu khawatir, seiring dgn proses belajarnya, kesalahan seperti itu lambat laun akan berkurang. Dan kita tdk perlu baper dgn kesalahan Google dan buru-buru memintanya berhenti belajar. Google hanya menunjukan hasil belajarnya, tanpa tendensi kpd siapapun. Google tdk punya motif menyerang siapapun. Kesalahannya seperti anak kecil yg keliru menyebut ikan Tongkol di hadapan Presiden, bukan krn berniat menyebutkan nama ikan yg keliru itu dgn motif tertentu.

Biarkan Google belajar dgn segala keterbatasannya yg terlihat sekarang ini. Suatu saat setelah kemampuannya menjadi lebih baik, umat manusia akan mendapatkan manfaat dari kecerdasan buatan ini. Dan sifat alami manusia yg mewarisi gen penghuni surga itu cenderung pd kemudahan atau kecepatan pemenuhan kebutuhan yg di dunia ini bisa dipenuhi oleh Kecerdasan Buatan.

Pendampingan Digital Migrant

Mengadaptasikan Digital Immigrant ke budaya digital itu akan berhadapan dengan tantangan tabiat personalnya. Tabiat tersebut adalah kebiasaan tugas manual di dunia nyata dalam jangka waktu lama yang sudah dinikmati. Solusinya adalah pembiasaan tugas otomatis yang mudah, bermanfaat, dan berkelanjutan. Kalau sifat tugasnya tidak demikian, mental block nya akan menguat. 

Pemerataan populasi Digital Immigrant yang telah Teradaptasi sangat tergantung pada ketersediaan personel pendamping yang mengenalkan beragam layanan berbasis perangkat digital yang tersedia di lingkungannya. Tugas pembangunannya bukan hanya sebatas perluasan konektivitas semata, tetapi juga penciptaan banyak layanan digital dan sumber daya manusia cakap digital. Dan tdk kalah penting adalah akomodasi etika interaksi yg menjadi perhatian umumnya Digital Immigrant. Dgn kondisi demikian, Digital Immigrant dapat membuka pintu pembiasaan tugas otomatis dlm keseharian hidupnya.

Pembangunan kompetensi literasi digital melalui seminar tidak menetap merupakan langkah baik utk membangun kesadaran kolektif dari populasi sampel. Namun pembangunannya harus dilanjutkan secara menetap di sekolah melalui pendekatan terstruktur yang berdampak pada kapasitas digital parenting di rumah, sehingga orang tua di masa depan dapat berperan penuh dalam menciptakan daya saing anaknya dgn TIK. Sementara layanan digital lengkapnya harus tersedia di telecenter lokal utk mewujudkan kesetaraan hak akses informasi.

#LiterasiDigital
#GNLD

Minggu, 14 November 2021

Bahasa


Interaksi mesin dgn manusia menggunakan bahasa antarmuka atau tingkat tinggi yg beragam, tergantung lingkungan dan minat manusia. Namun interaksi mesin dgn mesin menggunakan satu bahasa saja, yakni bahasa mesin yg merupakan bahasa tingkat rendah.

Di sisi lain, saat manusia masih berada di alam ruh, ia berbicara utk mengucap janji kpd Tuhannya dgn suatu bahasa. Setelah lahir ke alam jasad, ia berbicara dgn wujud jasad lainnya menggunakan beragam bahasa yg dipilih sesuai lingkungan dan minatnya. Bahasa ini berbeda dgn bahasa yg digunakan utk berkomunikasi dgn ruhnya sendiri.

Selama hidup di dunia, komunikasi manusia dgn ruhnya dijembatani oleh rasa dalam hati atau simbol yg muncul dalam benak. Manusia tdk faham apa yg dikatakan oleh ruhnya kecuali dgn apa yg dirasakannya saat melakukan perbuatan yg disukai atau tdk disukai oleh ruhnya. 

Rasa ini adalah feed back atau sensor untuk memvalidasi pemrosesan input dgn kendali prosedur yg bernama perjanjian. Kalau pemrosesan / amal tdk sejalan dgn janjinya kpd Tuhan, sensor ketidaksukaan ruh akan menyala. Sensor itu berupa rasa tdk nyaman atau penyesalan. Demikian pula sebaliknya, apabila amalnya sejalan dgn perjanjian, sensor berupa rasa nyaman atau bahagia akan menyala. 

Setelah memasuki alam kubur, manusia berpotensi utk kembali menggunakan bahasa yg satu saat berkomunikasi dengan Malaikat. Hal demikian disebabkan karena Malaikat dapat berkomunikasi dengan Tuhan sebagaimana halnya ruh. Walau demikian, malaikat mampu berkomunikasi dgn bahasa manusia yg beragam.

Manusia tidak ditakdirkan utk mengurusi alam ruh dan bahasanya, Tuhan telah mengurusinya. Sebagaimana pengguna akhir yang tidak perlu mengurusi bahasa mesin, sebab intruksinya telah ditranslasikan oleh intepreter yg diciptakan oleh pemrogram. 

Ruh adalah urusan Penciptanya. Manusia tidak perlu memperbaiki intepreter bahasa manusia yg beragam menjadi bahasa yg satu. Dengan intepreter yg dibuat oleh Tuhan, Malaikat mampu memahami perkataan manusia yg beragam bahasanya dan mencatatnya dalam satu bahasa yg digunakannya, Tuhan, dan ruh manusia. Malaikat melaporkan kepada Tuhan dgn bahasa yg satu itu, apa-apa yg dikatakan oleh manusia dgn mulutnya atau di dalam hatinya dgn bahasa yg beragam.

Seperti apa bahasa yg satu itu hanya ruh kita yg tahu. Manusia tdk bisa membuktikannya sekarang sebab bahasa tsb bukan sesuatu yg dapat diindera dan diuji. Manusia hanya sanggup menyelam ke level sensor yg menjadi antarmukanya dgn ruh. Manusia tdk ditakdirkan utk mengetahui ruhnya yg menyalakan sensor dan bahasanya, sampai jasadnya hancur. Manusia akan mengetahui bahasa itu saat kelak berinteraksi dgn Malaikat, dan menjadi pengalaman yg teruji saat bahasa itu digunakan kembali saat berinteraksi mahluk lainnya dan dgn Tuhan di akhirat sana. 

Adam dan Hawa mampu berkomunikasi dgn Tuhan, Malaikat, dan Iblis secara langsung. Tdk ada bukti pasti apakah bahasa yg digunakannya adalah bahasa ruh atau bahasa lainnya. Tuhan, Malaikat, dan Iblis mampu berkomunikasi dlm bahasa yg difahami manusia. Namun sebaliknya, manusia tdk mampu berkomunikasi melainkan dgn bahasanya sendiri atau melalui bahasa perantara yg disebut rasa. 

Sangat mungkin bagi manusia utk tdk memahami bahasa yg satu itu, sebagaimana halnya manusia tdk memahami tulisan peninggalan peradaban di masa lalu. Tetapi ruhnya yg berbeda lapisan dgn jasad manusia, tetap berkata dengan bahasa yg satu, tdk melupakannya, sebab bahasa itu melekat pada ruh saat ia tercipta. Sebagaimana perangkat keras yg selalu memahami bahasa mesin, sekalipun perangkat lunaknya telah mati. Perangkat keras dapat dihidupkan dgn perangkat lunak berbeda. Demikian sepertinya manusia saat ia dibangkitkan kembali dalam beragam wujud yg sesuai amalnya. Allahua'lam. 

#PersepsiCahyana

Jumat, 12 November 2021

Benarkah Mematung?

Mengatakan seseorang tdk bergerak seperti patung hanya karena ia tdk melihatnya bergerak merupakan fallacy, sebab boleh jadi selain dirinya melihat gerakan tsb. Terkadang pengalaman inderawi sendiri saja tdk cukup sebagai dasar kebenaran, perlu konsensus dgn selain dirinya yg mungkin saja memiliki pengalaman inderawi berbeda, sehingga terungkap sejauh mana fakta membenarkan klaim mematungnya seseorang atau tdk, dan ketepatan penggunaan istilah mematung tsb berdasarkan fakta dari berbagai sisi. Tergesa2 menyimpulkan, apalagi mendasarkannya pada dugaan adalah bentuk fallacy lainnya.

Klaim yg mengatakan seseorang mematung itu dgn mudah runtuh hanya dgn munculnya pengalaman inderawi atau klaim besebrangan yg bersandar pada fakta yg kuat. Apabila klaim yg telah runtuh masih dianggap sebagai kebenaran, hal demikian merupakan fallacy kedua dan kebenaran yg diyakininya termasuk kategori pseudo. Musibah intelektual itu terjadi saat seseorang lebih cenderung pada fallacy, sehingga berpindah dari satu fallacy ke fallacy yg lain.

#PersepsiCahyana

Senin, 08 November 2021

Ilmu Mantik

Ilmu Mantik pertama kali saya pelajari saat kuliah S1. Bukunya yg saya baca saat itu tipis, dibeli dari toko Kamus. Dulu ada yg meminjam buku tsb dan belum dikembalikan sampai sekarang. Ilmu Mantik cukup membantu saya dalam memahami prinsip korespondensi yg diterapkan dalam kitab Tijan yg diajarkan oleh Ust Bubun Bunyamin, serta menolong saya utk menghadapi bisikan dan fikiran seputar akidah yg berhamburan dari benak saat itu. 

Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan di ITB mengingatkan saya kembali pada buku ini. Kaidah berfikir masih menjadi santapan yg lezat sampai sekarang. Kaidah berfikir membantu saya dalam mempertahankan argumen atau melakukan falsifikasi dalam kesempatan dialog dgn banyak orang. 

Di saat sebagian orang meninggalkan perdebatan, saya termasuk orang yg menjadikan perdebatan sebagai nasihat, sebagaimana pendapat Imam Syafi'i. Perdebatan bahi saya selesai setelah falsifikasi menunjukan klaim paling kuat yg dapat memperbaharui pengetahuan yg ada.

Minggu, 31 Oktober 2021

Semakin Mendalam dan Banyak, Semakin Berkelas

Semakin tinggi pendidikan, semakin kecil dan mendalam yg ditelitinya; dan yg kecil tsb adalah kebenaran nisbi yg bisa saja diruntuhkan oleh temuan selanjutnya. Siapapun yg banyak melihat keajaiban yg bersifat nisbi pada bagian-bagian kecil di dalam sesuatu, berkesempatan utk lebih banyak kesyukurannya dan lebih besar kerendahatiannya dibandingkan orang yg hanya melihat keajaiban sesuatu secara umum. Di dalam satu kesyukuran dan kerendahatian seseorang, ia mendulang banyak kesyukuran dan kerendahatian. 

Dengan jangkauan kesadarannya yg mendalam tersebut dan dibarengi oleh keimanan, Ia berkesempatan utk dapat menjawab pertanyaan Malaikat secara lebih berkelas dibandingkan mereka yg sedikit kesyukuran dan kerendahatiannya, dan tentu saja dibandingkan mereka yg kesyukuran dan kerendahatiannya lenyap oleh sifat membanggakan simbol kedudukan duniawi. Namun jangkauan seperti demikian itu hanya akan menjadi petaka saat tdk berbuah baik semasa di dunia krn adanya jarak dari keimanan yg dibuatnya.

#PersepsiCahyana

Kamis, 28 Oktober 2021

Jihad Digital: Pembebasan Masyarakat dari Buta Digital



Di masa lalu, Kartini memperjuangkan kesetaraan gender dengan menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak perempuan dengan tujuan agar memiliki kecakapan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai ibu, pendidik pertama bagi anak. Gagasan tersebut terungkap dalam surat yang ditulisnya berikut ini:

"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Kartini, 1901)

Di masa kini, anak-anak perempuan harus memperoleh kecakapan literasi digital dari sekolah atau pegiat literasi digital, agar di masa depan mereka dapat menjadi seorang ibu yang mampu melaksanakan kewajibannya dalam melindungi anak-anaknya dari beragam ancaman digital dan mendorongnya untuk memperoleh daya saing dengan perangkat digital. Oleh karenanya pemerintah Indonesia berupaya dengan sungguh-sungguh / berjihad untuk mewujudkan layanan dan akses universal dengan membangun infrastruktur TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) melalui BAKTI Kominfo dan menyelenggarakan pembangunan sumber daya manusia dalam bidang TIK melalui Gerakan Nasional Literasi Digital. Harapannya semua jihad tersebut dapat mewujudkan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk setara dengan bangsa lain, sebagaimana disampaikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa:

"Teknologi informasi dan komunikasi merupakan jembatan antara negara maju dan berkembang, alat pembangunan ekonomi dan sosial, mesin pertumbuhan, pilar utama bangunan masyarakat dan ekonomi basis pengetahuan global, serta kesempatan bagi negara untuk membebaskan diri dari tirani geografi. Oleh karenanya harus ada layanan dan akses universal, kesamaan kesempatan, keragaman konten, serta kebebasan berekpresi dan akses" (International Telecommunication Union, 2002).

Untuk mewujudkan keuntungan kompetitif dari TIK itu, setidaknya dilakukan daur hidup yang meliputi pembangunan infrastruktur, mobilisasi warga sebagai Relawan yang melaksanakan peran Pandu Digital, dan pembangunan kompetensi literasi digital. Pandu Digital harus terdepan dalam menghantarkan bangsanya ke depan pintu gerbang kemerdekaan dari buta digital yang berdampak pada penambahan populasi melek digital di area geografis tertentu. Mereka dapat melewati tahapan pembangunan literasi digital berikut ini: 1) Penyadaran kebutuhan sektoral terhadap TIK; 2) Pelatihan bagi mereka yang telah memiliki kesadaran tersebut untuk membangun kompetensi literasi digitalnya; 3) Penerapan kemampuan literasi digital dalam kegiatan sektornya; dan 4) Perubahan yang dicapai dengan kreatifitas dan inovasi yang diterapkan dengan piranti digital. Saat mereka berhasil menghantarkan bangsanya ke tahap kedua, saat itu mereka telah membebaskan bangsanya dari buta digital.

Dari kegiatan survei yang melibatkan dua kelompok responden dari Relawan TIK Indonesia, Ikatan Guru Indonesia, Ikatan Guru Vokasi Indonesia, dan Jaringan Sekolah Digital Indonesia diperoleh gambaran kebutuhan prioritas kompetensi literasi digital dengan urutan sebagai berikut:

  1. Penciptaan konten digital, mencakup pengembangan konten digital sebagai informasi atau pengetahuan baru;
  2. Keamanan, mencakup proteksi perangkat dan kesehatan pengguna, akurasi data dan proteksi berkas, proteksi lingkungan, etika dan privasi, serta akurasi, proteksi, dan properti Konten; 
  3. Melek informasi, mencakup pencarian, pemilihan, evaluasi dan pengelolaan informasi atau konten digital;
  4. Komunikasi dan kolaborasi, mencakup interaksi sosial, berbagi informasi atau pengetahuan, pelibatan, dan kolaborasi; dan
  5. Melek Teknologi Informasi, mencakup pengenalan aktivitas, pengguna, dan komponen teknologi informasi.

Kelima jenis literasi digital tersebut dikutip dari A Global Reference on Digital Literacy Skills for Indikator 4.4.2 yang dipublikasikan oleh Universitas Hongkong. Gerakan Nasional Literasi Digital membangun empat pilar literasi digital, yakni Digital Skills yang mencakup melek teknologi informasi, melek informasi, penciptaan konten digital, komunikasi dan kolaborasi; serta Digital Culture, Digital Ethics, dan Digital Safety yang mencakup keamanan. 

Selain dengan komunitas TIK selaku relawan dan komunitas sasaran yang didampinginya, pemerintah juga harus bermitra dengan perusahaan. Pemerintah harus membangun fasilitas digital yang bersifat publik guna mewujudkan kesetaraan akses bagi warga negara. Pemerintah juga harus membangun iklim investasi yang baik untuk perusahaan digital agar mereka nyaman dan menyediakan banyak solusi digital bagi bangsa ini. Komunitas TIK dapat mendampingi komunitas sasaran dalam pemanfaatan solusi digital tersebut. Pemerintah memberdayakan komunitas TIK agar dapat melaksanakan perannya dengan baik dan memberikan dampak yang signifikan bagi pembangunan masyarakat informasi Indonesia. Perusahaan juga dapat memberdayakan komunitas TIK dengan memberikan bantuan program atau berbagi usaha agar komunitas TIK dapat terus menjalankan program pendampingannya di tengah masyarakat.   

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk membebaskan warga negara Indonesia dari tirani geografis yang membatasi akses internet merupakan #JihadDigital kecil - perjuangan / upaya bersungguh-sungguh dalam mewujudkan kemerdekaan digital. Jihad besarnya adalah upaya kita semua selaku warga negara Indonesia yang baik untuk tidak merespon jihad kecil tersebut dengan ekspresi buruk (ujaran kebencian, hoax, dan lain sebagainya), tetapi dengan turut serta di dalam jihad kecil tersebut dalam beragam peran. Oleh karenanya, merdeka di era digital itu apabila kita dapat mengakses internet di mana saja untuk keuntungan kompetitif, dan dapat mengendalikan diri untuk tidak berekspresi negatif di dunia maya.

Materi:

Sabtu, 23 Oktober 2021

Mewujudkan Simbol Agama di dalam Hati


Dulu semasa bujang, saya sering menggunakan gamis, baik di dalam dan di luar kegiatan mengaji, dan bahkan mengusulkannya sebagai seragam organisasi. Kemudian ada yg menasihati agar saya jgn berislam secara simbolis, sebab berislam itu tdk bisa disimpulkan dari penampilan, tetapi dari apa yg kita fikirkan dan perbuat.

Sekarang ini saya mendengar nasihat yg sama dari Gus Men di hari Santri Nasional, agar santri tdk terjebak dgn simbol sarungan yg sdh menjadi identitas santri dari dulu. Saya termenung, menyadari kalau sudah lama sekali sarung dan peci tdk digunakan, bahkan saat salat Jum'at sekalipun. Bahkan celana cingkrang pengganti sarung, yg membuat saya dianggap terafiliasi kelompok tertentu, sudah saya tinggalkan juga.

Saya ingin lebih bermakna dgn menjadi sosok pelayan tanpa ikatan simbol apapun. Simbol terpenting bagi seorang pelayan adalah lafadz Tuhan yg harus senantiasa terpasang dan terbayang di mata, sehingga orang lain lebih mudah atau kuat ingatannya kpd Sang Khlaiq dari pada kpd sang pelayan.

#BiografiCahyana

Senin, 18 Oktober 2021

Di Antara Positivis dan Post-Positivis

Perbedaan pendapat antara penganut aliran pemikiran induktif dengan deduktif di antaranya terkait demarkasi yang menentukan posisi Metafisika di dalam Science. Kalangan Induktif atau Postivis mengeluarkan Metafisika dari Science dengan alasan melawan prinsip pengalaman inderawi. Sementara kalangan Deduktif yang belakang menjadi aliran pemikiran Post-Positivisme menyanggahnya dengan mengatakan bahwa temuan itu di antaranya bersumber dari intuisi yang dapat dibuktikan dengan pengalaman rasional. 

Kalangan Post-Positivis ini telah meninggalkan fase yang menyandarkan pengetahuan pada Teologisme semata, tetapi tidak meninggalkan Rasionalism untuk menjadi seorang Positivis. Sementara Positivis secara ekstrem meninggalkan dua fase sebelumnya, yakni Teologisme dan Rasionalism. Post-Positivis berusaha untuk bersikap moderat terhadap aliran-aliran pemikiran yang telah memberikan kontribusi berharga bagi umat manusia. 

Dalam pemikiran Karl Propper, klaim atau temuan apapun harus dapat diuji dengan falsifikasi tertentu. Semakin kokoh klaim tersebut, maka semakin dekat dengan kebenaran. Falsifikasi ini senantiasa terbuka untuk dilakukan, sehingga tidak ada kebenaran yang merupakan kebenaran absolut; atau dengan kata lain, semua kebenaran yang diperoleh dari pengalaman itu bersifat nisbi. Di sisi lain ada sebagian yang menolak falsifikasi dengan fallacy, menganggap benar klaimnya yang telah runtuh. Hal demikian membawanya dirinya kepada non science, atau pseudo science

Seorang periset harus menguji temuan (hasil) penting dari pengalaman risetnya; bukan untuk membenarkannya dengan logika-logika yang dipaksakan, tetapi untuk mengukur seberapa logis temuan tersebut dapat menjawab pertanyaan penelitian dan menyelesaikan masalah penelitian. Semakin logis, semakin temuan tersebut dikuatkan (corroborated). Apabila kokoh, maka temuan itu merupakan Science. Kalau falsifikasi para penguji membuktikan temuan itu tidak menjawab pertanyaan penelitian atau tidak menyelesaikan masalah penelitian, maka temuan itu non science yang non sense.

Minggu, 17 Oktober 2021

Perdebatan

Perdebatan merupakan aktivitas yang banyak dihindari oleh kalangan berilmu. Namun al-Ghazali dalam Ayyuhal-Walad membolehkannya dengan menentukan syaratnya, yakni utk kebenaran, di mana kita tdk membedakan kebenaran yg datangnya dari lisan sendiri atau dari orang lain. Imam Syafi'i dalam Adabu Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu berkata, "Tidaklah aku mendebat seseorang melainkan dalam rangka memberi nasihat". Beliau juga berkata dalam Tabyinu Kadzbil Muftari, "Demi Allah, tidaklah aku mendebat seseorang melainkan berharap akulah yang keliru". Oleh karenanya, sikap default dalam perdebatan adalah semangat untuk memperbaiki kebenaran yang sudah diketahui. Fokusnya pada apa (kebenaran) yg dikatakannya (diyakininya), bukan pada siapa yg mengatakannya. Dalam daur hidup pengelolaan pengetahuan, memeriksa relevansi dan akurasi suatu pengetahuan itu merupakan tahapan terpenting untuk menumbuhkan pengetahuan. 

Dalam lingkungan kebebasan berekspresi, setiap orang bebas utk menentukan cara mengekpresikan sesuatu, dan bebas pula utk menentukan cara meresponnya. Sesuatu yang bermanfaat akan ditemukan oleh kedua belah pihak yg berkomunikasi saat pesan yg mengalir di antara keduanya hampir tidak terpengaruh oleh noise psikologis, seperti ketidaksukaan kepada pribadi seseorang.

Fokus perdebatan itu adalah utk menguji kekokohan suatu kebenaran, bukan fokus pada siapa yg meyakininya sebagai kebenaran. Setiap orang berangkat dari kesadaran bahwa kebenaran yg diyakininya itu nisbi, belum tentu selalu benar, atau setidaknya belum tentu merupakan kebenaran yg sempurna. Dan kebenaran itu datangnya bisa dari siapa saja, dari sudut pandang manapun. 

Apabila mereka yg berdebat tdk fokus melainkan kpd kebenaran, tdk akan ada keperluan dari siapapun utk melihat pribadi lawan debat. Demikian pula apabila muncul ujaran kebencian pada salah satunya yg menargetkan karakteristik yg dilindungi (ras, agama, dls), orang yang menjadi target ujaran kebenciannya tdk akan terganggu selama tetap fokus pada kebenaran.

Apabila lawan debat berputar-putar dgn ujaran buruknya tanpa bisa mencegah robohnya kebenaran yg ia yakini, hal demikian menunjukan ia mengalami fallacy, sebab ia mentolerir sesuatu yg telah runtuh (special pleading) atau menolak keruntuhannya secara tdk logis. Saat seseorang berpaling dari kebenaran yang kokoh dengan modal cemoohan, ia tengah bersikap sombong. Dalam kondisi demikian, siapapun yang telah memetik kebenaran yang kokoh harus menghentikan segera perdebatannya, dan berlalu dari siapapun yg terkungkung oleh fallacy. Perdebatan yg berakhir dgn penampakan kebenaran yg kokoh telah cukup sebagai counter-speech bagi hate-speech.

“Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan, sementara dia berada di atas kebatilan, maka Allah akan bangunkan sebuah rumah baginya di pinggiran surga. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan, padahal dia berada di atas kebenaran, maka Allah akan membangun sebuah rumah baginya di atas surga” (Shahih at-Targhib wat Tarhib, no. 138).

#PersepsiCahyana

Sabtu, 09 Oktober 2021

Rasa Bersalah


Rasa bersalah itu akan terasa beragam bagi setiap orang. Bagi sebagian orang, rasa bersalah kpd orang yg dikenal, terasa berbeda dgn rasa tsb kpd orang yg tdk dikenal. Bahkan ada yg mengalami rasa itu demikian: 1) Semakin dekat, semakin terasa, dan semakin jauh, semakin tak terasa; 2) Semakin terlihat jati diri, semakin terasa, dan semakin tersembunyi, semakin tak terasa.

Tetapi inti rasa bersalah itu sama utk segala kondisi yg beragam tsb. Dari inti itu terpancar ketidaknyamanan yg diletupkan dgn kekuatan, di mana kekuatannya beragam tergantung syarat kondisinya. Misalnya, kalau kondisi dirinya terlihat, dan objeknya dekat atau dikenal, letupannya akan besar, sehingga pancaran ketidaknyamananya akan sangat kuat dan membebani fikiran.

Inti tersebut sering dirujuk utk membuat pengertian umum dari makna bersalah dan rasanya. Inti dari rasa tersebut adalah bahan baku ketidaknyamanan yg akan diletupkan. Inti tersebut adalah pengabaian komitmen. Artinya, semua orang yg mengalami rasa bersalah seperti apapun kondisinya atau sebesar apapun rasanya, penyebabnya sama, yakni pengabaian komitmennya kpd objek, baik komitmen alami atau disepakati.

Misalnya kita punya komitmen utk bersikap lembut kpd siapapun. Apabila suatu saat bersikap sebaliknya, kita akan merasa tdk nyaman. Semakin berkomitmen, semakin tdk nyaman. Oleh karenanya, selain kondisi subjek (nampak/tersembunyi) dan objek (jauh/dekat, dikenal/tdk) yg menentukan seberapa kuat letupan rasanya, kondisi inti (komitmen) juga turut menentukannya.

#PersepsiCahyana

Kamis, 07 Oktober 2021

Mengelola Stress

Stress adakalanya menimbulkan masalah saat bebannya berlebih. Stress tidak selalu timbul karena adanya fikiran negatif. Semangat positif yang dibangun oleh fikiran positif terkadang menimbulkan stress saat fikiran menjadi sangat penuh. Ada beberapa jurus pengelolaan stress yang saya kutip dari beberapa pustaka.

Dari karya tulis Ibn Arabi saya menemukan satu konsep Raja Hati. Gagasan utamanya adalah aku yang harus menunggangi fikiran atau perasaan ku,  jangan fikiran dan perasaan yang menunggangi ku, atau selain ku yang menunggangi fikiran dan perasaan tersebut. Fikiran dan perasaan itu seringkali diidentifikasi sebagai sosok lain. Dalam perbincangan psikologi ada istilah Dualisme Kepribadian yang gagasan utamanya adalah "aku" bukanlah "aku yang berlawanan". Dihubungkan dengan konsep Raja Hati, aku sebagai raja di dalam hati, bukanlah aku yang berlawanan, dan aku yang berlawanan harus ditundukan untuk mempertahankan kedudukan ku sebagai raja hati.  

Dari karya tulis al-Ghazali saya menemukan konsep untuk mengurangi fikiran dan perasaan yang tidak penting, yakni selalu berpaling dari bisikan negatif dalam hati sampai pembisiknya patah semangat. Sama seperti kita yang bersifat diskrit, memiliki batasan usaha, aku yang berlawanan juga memiliki batasan usaha. Apabila usahanya mandeg, aku yang manapun mungkin akan berhenti dengan sendirinya.

Dari karya tulis Ibnu Athaillah saya menemukan konsep istirahat sebagai upaya mengurangi tekanan. Wujud istirahatnya adalah kontemplasi. Tujuannya dua:

Pertama, berpegang terus pada "tonggak yg sama" dalam fikiran utk mencegah diri terbawa arus negatif di dalam diri. Bagi muslim, "tonggak" itu berupa ingatan kepada Tuhan, di mana berpegang terus padanya itu diwujudkan dalam dzikrullah. Aku dapat menghindari dari keinginan aku yang berlawanan dengan mengarahkan "wajah" ku kepada "wajah" Nya, kepada nama-Nya.     

Kedua, mensugesti diri dalam kontemplasi tersebut untuk mengarah kepada fikiran dan perasaan yang baik, sehingga aku yang berlawanan mendapat penghalang tebal untuk mengganggu ku.

Dari semua konsep yang telah disampaikan, kunci pengelolaan stress adalah pengetahuan baik dan buruk yang berasal dari beragam sumber pengetahuan yang dipercaya. Selain itu adalah dengan menyeimbangkan aku dengan aku yang berlawanan, yin-yang. Artinya kita tidak mungkin lepas dari stress, hanya bisa menyeimbangkan kemampuan aku dengan aku yang berlawanan. Stress itu benar-benar hilang saat aku tidak ada.

#PersepsiCahyana

Keyakinan dan Sains

Istilah naik ke langit dan turun ke bumi telah menjadi bagian dari sistem kepercayaan manusia dari dulu, di mana orang pilihan tertentu dipercaya telah mengalaminya. Misalnya, Isa naik ke langit; Adam, Hawa, dan Isa turun ke Bumi; Muhammad naik ke langit dan turun kembali; beberapa Nabi yg telah meninggal ditemui di lapisan atau dimensi langit tertentu. Beberapa teks suci mendeskripsikan kendaraan yg digunakannya. Hal ini serupa dgn keyakinan bangsa Mesir dan kebudayaan tinggi lainnya di masa lalu, di mana raja mereka setelah meninggal, jiwanya akan menetap di langit. 

Urusan ketuhanan dan metafisika ini telah menjadi teori umum di masa lalu, sumber inovasi manusia. Dan sekarang ini, Positivis menolak klaim yg tdk bisa dibuktikan tsb, dan menyebutnya sebagai omong kosong, sampai datang pengalamannya kpd diri mereka sendiri yg dapat diuji. Selama klaim pengalaman apapun tdk dapat diuji, mereka menganggapnya sebagai pseudoscience.

Namun sebagian ilmuan memilih jalan moderat dgn mengatakan, bahkan tdk ada satupun kebenaran dari pengalaman manusia yg merupakan kebenaran krn mungkin suatu saat falsifikasi akan menunjukan kebenaran yg tertunda/sebenarnya. Itulah sebab knp tdk bijak menjadikan pengalaman manusia yg kebenarannya nisbi sebagai dalil kebenaran bagi pengetahuan mutlak Tuhan, sehingga dlm urusan keyakinan kpd Tuhan, pilihan kita hanya percaya hingga datang keyakinan ☺️

#PersepsiCahyana

Senin, 04 Oktober 2021

Perjalanan Menemukan Kebenaran dari Tangga Korespondensi hingga Pragmatis



Teori kebenaran Koresponsensi menjadikan pengideraan sebagai dasar kebenaran, di mana seseorang meyakini kebenaran dari adanya sesuatu atau hal tertentu apabila telah menginderanya sendiri. Sementara dalam teori Koherensi,  kebenaran akan adanya sesuatu atau hal tertentu tidak cukup hanya apabila telah terindera saja, tetapi harus rasional atau sesuai dengan akal sehat. Namun adakalanya mereka yang telah mengindera dan menggunakan akal sehatnya membuat kesimpulan tentang kebenaran adanya sesuatu atau hal tertentu yang berbeda karena berdiri pada sudut pandang berbeda atau sempit. sehingga menurut teori Konsensus semuanya dapat duduk bersama untuk merangkai setiap kesimpulan yang diperoleh dari sudut pandang sempit yang beragam menjadi kesimpulan yang lebih luas lagi. Adapun teori Pragmatik mensyaratkan kebermaknaan atau manfaat dari kesimpulan tersebut, apabila tidak demikian maka adanya sesuatu atua hal tertentu tidak perlu dianggap sebagai kebenaran.

Contoh perjalanan manusia dari teori kebenaran Korespondensi hingga ke Pragmatik bisa kita lihat dari ajaran Budha Gautama yang diceritakan dalam Tipitaka tentang kisah sejumlah orang buta yang belum mengetahui Gajah dan berusaha mengidentifikasi kebenaran adanya Gajah. Pada awalnya, setiap orang buta berdiri di sudut yang berbeda dan dengan alat indera yang masik dimilikinya berusaha mengidentifikasi adanya Gajah. Dengan berhasil menyentuhnya, setiap orang buta meyakini kebenaran adanya Gajah. Hal tersebut telah memenuhi teori kebenaran Korespondensi

Ada kalanya seseorang itu skeptis, sehingga tidak langsung begitu saja percaya dengan apa yang diideranya. Orang buta yang menyentuh belalai Gajah dan pernah memiliki pengalaman menyentuh Ular mungkin perlu menggunakan logikanya untuk memastikan apa yang disentuhnya bukan Ular. Dengan menyamakan pengalamannya sekarang dengan pengalamannya menyentuh Ular ia akan berhasil melihat perbedaannya dan meyakini bahwa yang disentuhnya bukan Ular, sehingga lebih percaya dengan kebenaran adanya Gajah. Proses demikian telah memenuhi teori kebenaran Koherensi.

Apabila semua orang buta dikumpulkan, lalu diminta untuk menjelaskan karakteristik Gajah, akan ada perdebatan di antara orang buta tersebut. Hal demikian dikarenakan satu orang buta mengindera Gajah dari belalai, satu orang lainnya dari kaki, satu orang lagi dari tubuh, dan ada pula yang dari ekor. Apabila semua orang buta rendah hati, semuanya akan duduk bersama dan merangkai wujud Gajah dari pengalaman yang berbeda, sehingga tercipta dalam benak semuanya citra Gajah yang lebih lengkap. Hal demikian telah menghantarkan semua orang buta pada tahapan kebenaran menurut teori kebenaran Konsensus.

Pertanyaan terpenting yang harus difikirkan oleh semua orang buta adalah tentang kemanfaatan mahluk yang besar tersebut, lepas dari apakah sebelumnya telah melewati perjalanan dari kebenaran Korespondensi hingga Konsensus atau tidak. Apabila tidak ada manfaat yang diperoleh diri sediri dan masyarakatnya, keberadaan Gajah tidak perlu diindahkan dan cukup disikapi seperti kaum Positivis mengacuhkan Metafisika. Namun saat satu atau beberapa atau semua orang menganalogikannya dengan hewan serupa yang telah memberi manfaat, semuanya akan merasa optimis dengan keberadaan Gajah sebagai kebenaran yang layan diindahkan. Sampai tahap ini, semuanya telah sampai pada teori kebenaran Pragmatik

#PersepsiCahyana

Kamis, 30 September 2021

Saya Muak dengan Eksploitasi Bayi


Maghrib itu laju kendaraan saya terhenti di perempatan jalan Proklamasi karena lampu lalu lintas menyala merah. Seorang anak mengunjungi beberapa kendaraan di depan saya utk meminta uang. Nampak seorang bayi dibawa sertanya. Tadinya saya mau membuka kaca mobil utk mengekspresikan sikap "protes" atas tindakan anak tsb, tetapi anak itu tdk melewati kendaraan saya.

Beberapa hari sebelumnya, ada seorang ibu yg mengenakan jas hujan sambil membawa bayi di sisi perempatan lainnya. Saat itu memang sedang hujan. Ibu itu menghampiri utk meminta uang. Saya tdk memberinya krn tdk ingin menjadi orang yg mendukung bayi dibawa2 seperti itu, apapun alasan ibu tsb.

Di tempat lain, tepatnya di depan ATM pinggir hotel Alamanda, seorang ibu duduk di trotoar sambil menggendong bayi saat malam hari. Di pinggirnya ada karung yg entah berisi apa. Saya jadi teringat seorang ibu yg selalu duduk di atas trotoar dekat jembatan Cimanuk sambil mengais bayi setiap kali lewat ke sana saat malam hari.

Lepas dari pengalaman tersebut, jauh sebelum heboh pemberitaan ttg bayi yg dicat, saya sudah lama merasa muak dgn eksploitasi bayi oleh orang dewasa utk mencari uang di jalanan. Saya tdk pernah akan mendukungnya, sehingga tdk ingin memberinya uang. Seorang peminta-minta yg membawa bayi tdk membuat saya iba, tetapi membuat saya muak. Bayi itu bukan alat utk mencari uang, tetapi sosok rentan yg harus dijaga kesehatannya. Apakah ada yg juga merasa muak seperti saya?

#BiografiCahyana

Sabtu, 25 September 2021

Anti Komunis Simbolis atau Substantif?

Di era digital ini, masih ada kalangan yg terpaku pd bulan September utk menunjukan sikap anti Komunis. Padahal perilaku insan bertuhan yg netral / melepaskan agama ada di sekitar kita dan terlihat setiap saat dlm interaksinya thd konten atau netizen lainnya di medsos. Dalam kongres Sarekat Islam 1922, Sukendar yg mewakili kalangan Komunis mengatakan bahwa mereka percaya kpd Tuhan tetapi bersikap netral agama. Fikiran demikian dimiliki oleh kalangan Sarekat Islam "Merah".

Di internet, ada banyak orang yg mengalami post-nasionalism, di mana atribut Keindonesiaannya ditanggalkan saat masuk ke ruang maya, sehingga tdk terlihat citra dirinya sebagai bagian dari bangsa yg santun dan ramah yg merupakan karakter khas orang Indonesia yg telah lama dikenal di luar sana. Hal demikian juga menunjukan citra baru mereka di dunia maya yg menanggalkan agama pembentuk akhlak mulia. Dlm kemasan, dirinya nampak seperti insan Bertuhan; namun dlm tindakan, mereka sangat jauh dari ajaran Nya. Saat mereka mengemas diri sebagai insan anti Komunis dgn perilaku netral agama di medsos, hal demikian menunjukan sikap penolakannya secara simbolis, namun tdk secara substantif. 

Kamis, 16 September 2021

Tips Bertahan di Sekolah Pascasarjana

Tips bertahan di Sekolah Pascasarjana berikut ini berdasarkan artikel Kuther - Department of Psychology at Western Connecticut State University:

  • Memahami diri dengan mempelajari kapan atau bagaimana menjadi produktif dan sebaliknya, di mana setiap faktor pemicunya dapat dikenali dan dikelola dengan baik;
  • Fokus lebih banyak pada proses belajar dari pada hasil, sehingga dapat mempertahankan proses yang telah baik, atau meningkatkannya menjadi jauh lebih baik;
  • Memilih peluang dengan memperhatikan prioritas kebutuhan, sehingga tidak perlu mengambil semua peluang yang tidak akan termanfaatkan dalam waktu yang singkat. 
  • Memilih promotor dengan alasan yang dapat dijelaskan, sehingga dapat mengambil manfaat positif dari interaksi dengannya;
  • Konsultasi kepada mahasiswa lain yang lebih dahulu melalui proses belajar, agar dapat menangani kelemahan diri dan hambatan eksternal yang sama, serta mengulangi praktik terbaiknya.
  • Mengelola waktu agar semua pekerjaan dapat tuntas sesuai perkiraan waktu yang realistis;
  • Ujung perjalanan tidak ada batasnya, di mana proses belajar itu harus berlangsung sepanjang hayat;
  • Mengelola berkas yang sesuai dengan dengan minat, kebutuhan atau tujuan pekerjaan;
  • Membaca secara cerdas dengan hanya pustaka atau bagian tertentu di dalamnya yang sesuai dengan minat, kebutuhan atau tujuan pekerjaan;
  • Menulis secara rutin apa yang telah dibaca, baik secara langsung dengan tangan sendiri, atau dengan menggunakan bantuan alat pengenalan suara;
  • Kehidupan luar kampus harus merupakan upaya pemeliharaan diri yang secara efektif dapat mengurangi tekanan pekerjaan; 
  • Dukungan keluarga yang tercipta dengan adanya pemahaman akan alasan dan manfaat kesibukan dapat mencegah penambahan beban fikiran atau pekerjaan.


Senin, 13 September 2021

10 Pembelajaran dari Film Concussion


Berikut ini 10 point pembelajaran yang saya dapatkan dari film Concussion terkait sikap peneliti dalam mengawal minatnya terhadap sesuatu:

  1. Seorang ahli dapat memiliki topologi saintis yang religius, hal ini sebagaimana pribadi dr Bennet Omalu yang merupakan dokter dengan spesialisasi Anatomic Pathologist, Clinical Pathologist, Forensic Pathologist, Neuropathologist dan Epidemiologist, penganut agama Katolik taat yang menghormati jasad orang meninggal sebagaimana orang hidup. 
  2. Seorang ahli memperhatikan pengalaman empiris dalam penelitiannya, hal ini sebagaimana dr Omalu yang melakukan pengamatan empiris dari video pertandingan NFL (National Football League) dan latihan klub-klubnya. 
  3. Seorang ahli menyimpulkan sebab-akibat berdasarkan bukti, hal ini sebagaimana dr Omalu yang menyimpulkan kematian Mike Webster sebagai akibat efek jangka panjang pukulan berulang ke kepala yang mengakumulasi Chronic Traumatic Encephalopathy berdasarkan bukti neurotrauma.
  4. Peneliti mengoptimalkan sumber dayanya sendiri untuk membuktikan hipotesisnya, sebagaimana dr Omalu yang melakukan otopsi dengan biaya sendiri demi mendapatkan bukti 
  5. Temuan seorang ahli tidak serta merta akan diterima oleh siapapun, hal ini sebagaimana publikasi Dr Omalu bersama ahli lainnya atas temuannya di Bedah Syaraf yang ditolak oleh NFL
  6. Seorang ilmuan menyebarluaskan temuannya melalui beragam cara, sebagaimana dr Omalu yang mensosialisasikan temuannya melalui publikasi dan kegiatan penyadaran kepada masyarakat
  7. Temuan ilmiah dapat dianggap sebagai kebohongan tanpa bukti ilmiah untuk melindungi kepentingan tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh NFL terhadap dr Omalu hanya karena dipandang membahayakan otoritas pengelola liga
  8. Serangan terhadap temuan ilmiah dapat menggunakan sentimen tertentu, hal ini sebagaimana serangan dengan sentimen berdasarkan karakteristik tertentu (ras dan kewarganegaraan) yang ditujukan kepada dr Omalu
  9. Perlawanan terhadap ilmu pengetahuan menargetkan ilmuan dan pendukungnya, sebagaimana perlawanan terhadap temuan dr Omalu yang tidak hanya mengancam karirnya, tetapi juga kolega dan keluarga yang mendukungnya
  10. Temuan ilmiah dapat mencegah akibat buruk, seperti dialami oleh Mike Webster yang menunjukkan tingkah aneh, merasa kesakitan, gelisah, hingga akhirnya bunuh diri
  11. Peneliti berbuat untuk kemaslahatan, sebagaimana kegigihan dr Omalu dalam memberikan kesadaraan untuk mencegah banyak kematian


Jumat, 03 September 2021

Kembalikan Baliku padaku

Sebagaimana bencana pd umumnya yg berdampak ekonomi, pandemi ini telah menunjukan dampaknya di Bali. Seminggu work from Bali, berpindah dari hotel melati, ke hotel berbintang, hingga ke villa, ada pengalaman yg membuktikan dampak tsb. Gubernur Bali dalam kesempatan membuka Festival TIK mengungkapkan bagaimana terdampaknya sektor wisata, dan betapa pentingnya model bisnis di luar sektor wisata yg berbasis digital. 

Dlm perjalanan dari awal mendarat di Bali, saya melihat rasa bahagia pengemudi Grab saat mendapat penumpang. Saya mendengarkan cerita pengemudi lainnya tentang penurunan jml penumpang, sampai merasa kasihan dan setuju utk membekalinya makan malam. Saya melihat kebenaran cerita pengemudi tsb tentang objek wisata yg menjadi sepi. Rumah makan yg hendak saya tuju malam ini ternyata ditutup, demikian pula dgn sejumlah toko kecil hingga mini market non mainstream.

Kita semua harus segera mewujudkan kekebalan komunal dgn vaksinasi, agar cerita dan pemandangan yg menyedihkan ini segera berakhir. Sebelumnya saya telah mengunjungi Bali dua kali, dan melihat ada banyak orang yg menerima manfaat keberadaannya. Sekarang ini seakan Bali sedang menghadapi pandemi dgn karakter diam yg bukan khasnya. Semua penikmat Bali tentunya akan setuju dgn seruan ini, "Kembalikan Baliku padaku". Mengembalikan Bali dgn menuntaskan pandemi ini. 

#BiografiCahyana

Selasa, 27 Juli 2021

Memperluas Penetrasi Literasi Digital

Tantangan terbesar pemerintah dlm #literasidigital adalah menjangkau masyarakat yg enggan atau tdk punya waktu utk membangun kemampuan literasi digitalnya. Saya menduga, warganet yg berinteraksi secara tdk etis di sosmed atau buta digital umumnya enggan menyengajakan diri mendengar ceramah etika digital. Dugaan ini menarik utk dibuktikan melalui survei.

Cara efektif utk menjangkau seluruh pengguna perangkat digital mungkin bukan dgn seminar insidental, tetapi dgn mengintegrasikannya ke dlm sistem / kurikulum pendidikan wajib. Integrasi tsb menjadi jaminan setiap WNI yg melewatinya akan mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap literasi digital. Kurikulum memberi kesempatan bagi stakeholders utk mengukur kemampuan kompetensi literasi digital setiap jenjang dan setiap tahunnya.

Buta digital di era digital seperti buta aksara di masa kolonial.

#PersepsiCahyana

Logika Makan 20 Menit

Entah sebagian warganet itu usil atau benar-benar julid sehingga tidak mau menanggapi aturan makan 20 menit di RM (Rumah Makan) secara logis. Fahami dan terapkan saja aturannya dengan logis, 20 menit terhitung setelah makanannya tersaji. Kalau ada makanan yg waktu memakannya lebih dari itu, take away saja. 

Aktivitas menyiapkan makan tidak bisa diatur secara kaku, setiap jenis dan ukuran makanan punya durasi waktu penyiapan yang berbeda. Kalau durasinya tidak terpenuhi, makanan tidak akan tersaji secara layak, dan tentunya pelanggan akan kecewa. Sementara aktivitas pelanggan setelah makan bisa diatur. 

Di masa PPKM, kebiasaan sebagian pelanggan seperti saya yg menjadikan kunjungan ke RM sebagai rekreasi / kumpulan dengan keluarga / teman harus ditiadakan dulu demi kepentingan umum. Dicukupkan hanya dengan memuaskan keinginan menyantap makanannya saja, khususnya yang hanya tersedia di RM tersebut; setelah selesai makan langsung pergi. Di beberapa RM, saya harus menunggu waktu penyajian yang tidak secepat RM Padang. Di masa menunggu itulah kita bisa ngobrol atau internetan dengan tetap menerapkan prokes.

Pembuat konten bisa menjadikannya sebagai konten pembuktian, apakah benar memakan makanan yang tersaji di RM itu membutuhkan waktu lebih dari 20 menit? Tapi aktivitasnya makan saja ya, jangan sambil ngobrol di dunia maya atau di dunia nyata. Pengalaman saya pribadi, kalau makan sambil ngobrol, kerja daring, atau interaksi sosial yang penting di dunia maya, memang membutuhkan waktu makan yang lebih lama. Harapannya bisa teridentifikasi jenis makanan apa yang bisa dimakan di RM, dan mana yg harus take away.

Hari ini, 27 Juli 2021, saya makan siang di rumah makan nasi Padang. Di sana hanya ada 3 pengunjung saja yg makan di lokasi. Saya memilih ruang belakang yg tdk ada pengunjung sama sekali. Duduk rapat dinding utk menjauh dari perlintasan pengunjung. 

Setelah makanannya tersaji, stop watch pun dinyalakan. Saya berusaha utk bersikap senatural mungkin. Setelah selesai makannya, stop watch pun dihentikan. Ternyata saya membutuhkan waktu kurang dari 10 menit utk makan siang tsb, hanya setengah persen dari waktu yg ditentukan oleh pemerintah.


#PersepsiCahyana

Saat Saya Kelaparan

Suatu hari di masa muda saya pernah kelaparan, tidak punya uang yang cukup untuk membeli makan. Lalu Tuhan mengaruniakan fikiran utk memakan buah-buahan yg tumbuh di kebun dengan bumbu sekedar garam. Itulah usaha yang dilakukan kala itu untuk mengisi perut. Memang bukan makanan yang mengenyangkan, tetapi terasa lebih dari cukup. 

Apabila melihat ibadah pada Tuhan Sang Pemberi Rejeki yang belum seberapa, dosa yang ada, nikmat tersebut terasa belum layak saya terima. Saya tidak meminta bantuan kepada lingkungan sekitar, atau keluarga, atau kepada Tuhan selama Tuhan masih menunjukan jalan keluarnya. Cukuplah sabar dan syukur sebagai wasilah untuk mendapatkan pertolongan Nya, Tuhan memberikan jalan rejeki yang tidak disangka-sangka kepada hambanya yang bertakwa. 

Syekh Abdul Qadir Jailani r.m. mengajarkan kepada muridnya, bahwa beliau meminta kepada Tuhan apabila sudah sama sekali tidak mampu berusaha.

Minggu, 25 Juli 2021

Organisasi dan Luapan Out-of-the-Box

Dialog antar personal secara tertutup atau sesi berbagi pengetahuan secara terbuka dapat menjadi media pengukuran keselarasan setiap orang dgn organisasinya. Setiap gerak langkah atau putaran roda organisasi hrs sejalan dgn visi, misi, tujuan, sasaran, dan prokernya. 

Setiap orang harus dapat mengendalikan gerakannya dan setiap elemen yg menggerakannya. Setiap kekuatan di dlm organisasi dan kesempatan yg ada di luar organisasi, serta sumber daya yg dapat diakses di kedua sisi tsb harus dimanfaatkan utk melengkapi, menggerakan, meningkatkan kecepatan, atau memperbaiki roda organisasi. 

Pemikiran atau usaha orang2 yg out-of-the-box berikut hasil kerjanya merupakan hasil interaksinya dgn dunia luar yg kondisinya berbeda dgn kondisi organisasinya. Interaksi tsb merupakan kebiasaan orang yg tdk "kurungbatokeun" atau tdk "seperti katak dlm tempurung". Pemikiran atau usaha tsb baru bisa dimengerti atau diterima oleh organisasinya di saat kebutuhan masa depan organisasi yg telah diupayakannya sdh mulai muncul ke permukaan, atau ada praktik terbaik dari pesaing yg memperoleh daya saing atau keuntungan kompetitif dgn menerapkan pemikiran atau melakukan usaha tsb.

Organisasi hrs memberi ruang inovasi & kreativitas selama tdk melemahkan organisasi atau menimbulkan hambatan eksternal organisasi. Inovasi dan kreativitas merupakan kunci sukses organisasi, fase akhir literasi organisasi yg tdk boleh diabaikan. Secara teori, lingkungan yg inovatif dan kreatif tdk mudah terwujud dlm sistem kepemimpinan terpusat. 

Sementara itu, luapan inovasi dan kreatifitas itu merupakan kecenderungan, sehingga cenderung sulit dibendung. Luapannya bisa menggenangi organisasinya saja, atau meluap hingga sampai ke pesaingnya apabila kondisinya bukan merupakan aset bernilai bagi organisasinya atau organisasinya tdk memproteksi aset tsb. 

Rabu, 21 Juli 2021

Altruisme Mengokohkan Pembatasan Sosial Luas

Sumber Gambar: https://news.detik.com/berita/d-5026437/banyak-cara-antarkansemangat-untuk-pejuang-transportasi-saat-pandemi

Saya memperhatikan, di kita bansos menjadi satu2nya yg sering disebut warganet sebagai penyambung hidup di kala terdampak kebijakan pembatasan sosial secara luas. Padahal di medsos, saya melihat ramai penggalangan dana oleh NGO di saat terjadi krisis kemanusiaan atau konflik di LN. 

Masih teringat kisah penggalangan dana utk pembelian kapal selam yg sukses mengumpulkan banyak dana, sekalipun tdk sampai berhasil membelinya. Sementara itu potensi zakat di Indonesia tdk kalah besarnya. 

Ketika Pakistan memberlakukan kebijakan pembatasan sosial lebih luas untuk memerangi virus corona, sebuah hukum Islam tentang kedermawanan (zakat) telah membantu menyelamatkan mereka yang sedang tidak bisa bekerja. 

Lihat: https://www.google.co.id/.../indonesia/vert-tra-52194435.amp

Warganet hanya perlu mengkampanyekan Altruisme dan melawan Egoisme utk menguatkan ikhtiar pembatasan sosial yg luas utk menangani pandemi. Idul Adha mengajarkannya kpd penduduk muslim. Sumber dayanya sdh ada, hanya apakah mau bahu membahu dgn mengabaikan perbedaan dan ketidaksukaan, atau tdk? Ingatlah bahwa kita ini manusia, dan kita ini satu bangsa. 

#PersepsiCahyana

Senin, 19 Juli 2021

Tipu Daya Ketaatan yg Merupakan Ketidaktaatan


Syarat yg hrs dipenuhi utk berhaji adalah telah divaksin 2x dan disiplin menjaga jarak. Di sini, vaksinasi dan salat dgn menjaga jarak masih dipermasalahkan. Begitu pula dgn wacana vaksinasi 2x sebagai syarat perjalanan. 


Dgn mudahnya kalangan awal menyebut ketaatan kpd upaya vaksinasi dan prokes yg diberlakukan oleh pemerintah sebagai ketaatan kpd selain Allah, entah siapa yg mempengaruhinya. Padahal sdh jelas ulama telah menunjukan kesesuaian vaksinasi dan prokes tsb dgn ajaran agama, bahkan sudah dipraktikan di tanah suci. 

Wajib bagi kalangan Aswaja utk mentaati kebijakan pemerintah yg sejalan dgn agama. Hal berbeda dgn kaum Khawarij dan semisal lainnya yg menjual agama demi syahwat politik. Istilah yg digunakan kalangan radikal utk ketaatan model demikian adalah ketaatan kpd toghut atau arbaban min dunillah.

Kalau membaca fatwa al-Azhar Mesir terkait salat ied di rumah, dapat disimpulkan bahwa ketaatan kpd prokes yg seperti demikian itu sama dgn ketaatan kpd Allah, dan pelanggarannya merupakan perbuatan dosa. 

Dewan Ulama Senior Al-Azhar menyatakan di dalam fatwanya, "Setiap orang yang mengundang kerumunan massa seperti itu untuk berdoa dan memohon ampunan, padahal telah nyata bahaya yang mengancam, dinilai telah berdosa dan melanggar hukum Allah. Agama meminta agar mereka berdoa kepada Allah di rumah masing-masing, dengan penuh kekhusyukan dan kerendahan hati, memohon agar Allah menganugerahkan kesehatan, mengangkat wabah ini, dan bencana segera sirna dari semua orang".


Bahkan Dewan Ulama Senior Al-Azhar memutuskan, diperbolehkan secara syar’i untuk meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah sementara waktu sebagai upaya menghentikan penyebaran virus corona yang membahayakan. Walau demikian, tetap wajib hukumnya mengumandangkan azan pada setiap waktu shalat. Pada setiap azan, muazin diperbolehkan mengumandangkan “Shollu fii buyuutikum (shalatlah di rumah kalian)”.


Lucunya, ada kalangan awam yg mempertanyakan, apakah ulama yg berfatwa seperti itu tergolong ulama baik atau buruk?. Ia berupaya menolaknya hanya berbekal kitab kitab Safinah. Selevel gurunya saja banyak yg menaruh hormat kpd Dewan Ulama al-Azhar dan ingin belajar di Universits al-Azhar. 

Sungguh merupakan talbis iblis apabila seseorang berfikir utk mentaati Allah, atau tdk mentaati selain Allah, tetapi dgn cara yg berlawanan, yakni menegakan ketaatan dgn amal ketidaktaatan. Hidup kita akan kembali normal baru kembali dgn herd immunity setelah kebijakan vaksinasi dan prokes ditaati dan sukses dilaksanakan.

#PersepsiCahyana

Rabu, 14 Juli 2021

Ikhtiar Tanpa Atribut Agama

Mencari uang hrs seperti akang beca ini. Ia punya tanggung jawab menafkahi keluarganya. Tdk berhenti kerja dan berharap bansos, walau mungkin jumlah konsumennya menurun terimbas PPKM. Memang serba salah, dgn PPKM konsumennya menurun krn banyak yg diam di rumah; tanpa PPKM pun mungkin kondisinya sama krn banyak konsumennya yg sakit dan meninggal.

Saat ditemui, akang becanya bilang beberapa hari ini blm mendapat penumpang. Sebenarnya penumpang menurun sejak ojek online tumbuh berkembang. Dan di masa PPKM ini, penumpangnya semakin sepi. Menurut saya, ada dua solusi utk akang ini, perusahaan digital memberi layanan digital sebagaimana halnya ojek, atau upgrade usahanya menjadi ojek online.

Lembaga penggalang dana kemana ya? Kenapa iklannya muncul di medsos saat ada krisis kemanusiaan di luar negeri. Bahkan penggalangan dananya dilakukan di perempatan jalan sambil bawa bendera negara yg dibantu dan atribut agama. Saat PPKM, atribut agama itu di lingkungan saya hilang di telan bumi, seakan tdk laku jadi "alat pemasaran" utk penggalangan dana bagi warga terdampak PPKM. Yang terlihat anak kecil yg membawa kotak dan orang berjoget dalam baju karakter sedang mencari sesuap nasi.

Kita sebenarnya tdk butuh atribut agama utk membantu kesulitan orang seperti akang penarik beca, cukup bermodalkan rasa kemanusiaan saja, dan usaha semampunya, minimal berbagi konten informasi atau gagasan di medsos, dukungan imateri atau bantuan materi. Kalau hati tdk tergerak, agama bisa dijadikan terapi bagi mereka yg punya agama, tdk perlu "dijual" utk mengambil keuntungan bisnis penggalangan dana.

Sabtu, 10 Juli 2021

Penapisan Sebelum Mengabsolutkan


Semuanya kembali kpd hati dan lingkungan. Kalau rumus absolut diterapkan di dalam hati, maka semua masukan berupa data negatif bisa diproses menjadi informasi yg positif. Tetapi kalau intensitas data negatifnya tinggi sehubungan dgn arus data yg besar dari lingkungan interaksi sosialnya, pemrosesan absolutpun bisa jebol juga. 

Kalangan intelek hanya tertolong oleh satu hal, yakni sikap rasional, atau kemampuan menapis di fase sebelum mengabsolutkan yg membuatnya hanya bisa menerima masukan berupa data valid. Ada banyak dari mereka yg akhirnya menemukan kebenaran walau berangkat dari kondisi skeptis. Sebesar-besarnya arus data, kaum rasionalis bisa mendayung ke tepian, sehingga tdk tenggelam dan terliputi data negatif yg menghilangkan akal dan rasa.

#PersepsiCahyana

Guyub dan Solutif di Masa Bencana


Saat ada ruang kosong yg belum terisi oleh pemerintah, maka biasanya dlm lingkungan guyub/rukun yg solutif, masyarakat berinisiatif mengisinya utk membantu pemerintah, terpanggil oleh negaranya utk mengabdi. Misalnya, kalau dana bansos di masa PPKM tdk ada atau kurang, maka masyarakat dapat berpartisipasi dgn mengadakan atau menambahinya. Di lingkungan sebaliknya, masyarakat memberatkan beban pemerintah dgn doa buruk atau lainnya.

Di lingkungan yg baik, masyarakatnya mengembangkan prasangka baik, misalnya: mungkin pemerintah lupa, sehingga perlu diingatkan; atau mungkin pemerintah punya beban pembiayaan lain yg sama pentingnya, seperti vaksinasi, pengobatan, atau lainnya, sehingga perlu dibantu. Saya pribadi percaya, di lingkungan yg demokratis dan modern seperti sekarang ini, di mana penguasa dipilih oleh rakyat secara langsung, tdk ada penguasa yg bertujuan utk menghilangkan kesejahteraan rakyatnya utk meningkatkan kesejahteraan dirinya sendiri seperti halnya raja atau kaisar atau pewaris tahta kekuasaan dari keluarga di masa lalu.

Kembali ke sampel solusi. Kalau masyarakat tdk bisa melunasi cicilannya krn penghasilannya menurun akibat terdampak penanganan bencana pandemi, ada dua pilihan bagi masyarakat: 1) Menjual aset cicilan tsb bila tdk produktif; atau 2) Gerakan pembebasan hutang memperbesar kampanyenya, sehingga tersedia dana yg besar utk menutupi banyak cicilan aset produktif masyarakat terdampak bencana. Produktif dlm arti mempengaruhi kebutuhan mendasarnya. Kalau asetnya konsumtif, misalnya aset lebih, seharusnya dijualpun tdk apa2, sekiranya tdk lagi punya tabungan yg bisa dimanfaatkan. Kalau tdk mau menjualnya, ya berarti tamak atau tdk ingin berkorban utk kepentingan bangsa dan negara.

Bencana harus dijadikan ajang menambah kawan dan bukan musuh, agar psikologi kita tdk terganggu. Bencana harus dijadikan ajang menambah pahala kebaikan dan bukan keburukan, agar masa depan kita lebih baik. 

#PersepsiCahyana

Kamis, 08 Juli 2021

Ulah Sompral

Waktos seeur jalmi nu kainfeksi dirawat di RS, aya sapalih jalmi nu nyapirakeun kondisi eta ku cariosan, "Ah, paling oge covidisasi, nu puguh mah nuju perubahan musim"

Disangki na kalangan Medis mutuskeun jalmi kainfeksi teh ku cara ngetang kancing. Disangki na jalmi nu ngantri ka IGD teh olo-olo, teu keresa ngobatan nyalira panyawat na di bumi ku jajamuan. 

Teras urang teh ku Allah diuji deui. Nu seeur kajantenan teh ayeuna mah jalmi nu parupus. Pasti aranjeuna ayeuna bingung bade nyalahkeun kanu musim naon, da saumur-umur nu karaos ku abdi mah asa nembean hampir sadaya WhatsApp Group aya wae berita nu pupus. 

Kade ujang, nyai ... eta cariosan na kedah dijagi. Ulah sompral deui kanu ujian Allah. Hayu sauyunan sareng pamarentah dina ikhtiar nurunkeun penularan virus. Sing sabar mayunan kebijakan nu ngabates lengkah urang di luar bumi. Naon hartos na "Bebas ti na Batesan", pami bebas na eta aya di luhureun layon jalmi nu rentan ku infeksi virus nu sakitu seeur na.