Sekolah Tinggi Teknologi Garut
Diselenggarakan mulai tahun 1991 dan bernaung di bawah Yayasan Al-Musaddadiyah. http://www.sttgarut.ac.id/
Program Studi Teknik Informatika
Berdiri pada tanggal 30 Juni 1998 dan terakreditasi B. http://informatika.sttgarut.ac.id/
Rinda Cahyana
Dosen PNS Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dpk Sekolah Tinggi Teknologi Garut sejak tahun 2005
Jumat, 27 Mei 2022
Penilaian Salah
Jumat, 20 Mei 2022
Menyelesaikan Masalah dalam Keterbatasan
Musim penghujan, aspal kalah sama genangan air yg tdk bisa mengalir, di antaranya krn sistem drainase yg blm baik. Perbaikannya yg lama boleh jadi krn dua sebab, ketiadaan perhatian atau anggaran. Kepastiannya bisa diperoleh dgn melakukan ricek ke dinas PU atau anggota Dewan, butuh berapa anggaran perbaikannya dan apakah ada alokasi anggaran di kabupaten atau provinsi yg cukup utk menyelesaikan masalah tsb?. Sebab boleh jadi masalahnya belum selesai bukan krn tdk ada perhatian padanya, tetapi krn anggarannya tdk mencukupi.
Keberhasilan Indonesia menangani pandemi adalah seperti negara lain, yakni dgn menjaga kesehatan melalui vaksinasi dan lainnya, serta menjaga ekonomi masyarakat melalui subsidi dan lainnya. Anggaran banyak diarahkan utk ikhtiar-ikhtiar tsb, sehingga pastinya akan ada urusan lain yg level urgensinya berada di bawah yg dikorbankan. Tdk perlu jauh-jauh, cek kebijakan penggunaan dana desa di masa Pandemi.
Dlm kondisi tertentu kita hrs memaklumi suatu keadaan selama keadaan tsb terjadi krn adanya urusan yg lebih penting. Mengeluh itu manusiawi dan dapat menjaga setiap orang utk terus memperhatikan urgensi solusi utk masalah yg dikeluhkan. Solusinya tdk harus sekarang. Tetapi dgn adanya perhatian, solusi akan terwujud begitu ada kesempatan. Namun keterbatasan kesempatan membuat tdk semua masalahnya selesai sekaligus. Penyelesaian masalahnya dicicil sesuai skala prioritas.
#PersepsiCahyana
Senin, 16 Mei 2022
Ratisejiwa dan Filsafat Stoikisme
Suatu saat saya mengajarkan tali temali kepada dua orang adik kelas dalam kegiatan Kepramukaan di SMP. Ada satu simpul yg harus saya urai. Kepada keduanya saya katakan bahwa kita perlu menenangkan diri saat berhadapan dgn masalah tersebut, sehingga kedamaian tercapai, dan segala sesuatunya dapat dikuasai. Beberapa saat kemudian simpulnya terurai.
Tenang, damai, dan kuasai segalanya adalah buah dari Ratisejiwa (Meraba Hati dan Mensejahterakan Jiwa). Hanya dgn memahami hati dan mengendalikan apa yg bergerak di dalamnya manusia dapat mencapai ketenangan. Apabila hati telah tenang, kedamaian akan menghampiri, berdamai dgn dirinya dan apapun yg ada di sekitarnya. Hal demikian membuat apa yg tercapai atau terlepas menjadi suatu nilai yg dikuasai dan bermanfaat.
Rupanya pemikiran di masa lalu itu selaras dgn perkataan Marcus Aurelius. Penganut filsafat Stoikisme atau filsafat teras itu berkata, bahwa semakin dekat seorang pria dgn pikiran yang tenang, semakin dekat dia dengan kekuatan.
Ada banyak pemikiran Stoikisme yg dapat mengendalikan pikiran ini. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Semakin kamu memikirkan hal-hal di luar kemampuan mu, semakin sedikit kemampuan yang kamu miliki. Kamu akan lebih sering menderita dalam imajinasi, daripada dalam kenyataan.
Jangan menganggap sesuatu itu tidak mungkin hanya karena terasa sulit. Kamu telah melewati hidup tanpa lawan. Tidak ada yang pernah tahu apakah kamu mampu, bahkan diri mu sendiri. Sadarilah bahwa jika orang lain mampu melakukannya, kamu pun dapat melakukannya. Kesejahteraan diwujudkan dengan langkah-langkah kecil, tetapi sebenarnya itu bukan hal kecil.
Kamu diberi dua telinga dan satu mulut agar lebih banyak mendengar daripada berbicara. Tanyakan pada diri mu setiap saat, apakah kamu perlu melakukan langkah kecil tersebut?. Bila kamu merasa memiliki sedikit waktu utk melakukannya, ketahuilah bahwa bukan waktu mu yg singkat, tetapi kamu telah menyia-nyiakan banyak waktu.
#BiografiCahyana
Minggu, 15 Mei 2022
Pilihan Jalan Ekstrem dari Google
Hari ini saya ke Istana BEC di Bandung. Nampak kemacetan mengular dari Nagreg hingga Parakan Muncang dalam perjalanan saya menuju Bandung. Pulangnya saya melihat ada kemacetan menuju arah Nagreg. Seperti biasa Google menawarkan jalur alternatif.
Kali ini Google mengarahkan saya ke jalur ekstrem utk menghindari kemacetan di Nagreg. Masuk dari Cicalengka, dan keluar dari jalan raya Cijapati. Rupanya itu adalah jalanan desa yg sdh dibeton, hanya bisa dilewati oleh satu mobil. Seharusnya saya mengobservasi dulu jalurnya dgn melihat melalui mode satelit.
Di suatu tanjakan, ada kendaraan dari arah berlawanan yg nampak kesulitan menanjak dan didorong oleh sejumlah orang. Beruntung di titik puncak ada ruang yg membuat kendaraan bisa saling melewati.
Namun tantangannya tdk selesai sampai di sana. Ada jalan yg mengalami kerusakan, sehingga kendaraan sempat selip saat melewatinya. Konsentrasi saya agak buyar oleh suara istri yg panik. Beruntung saya dapat mengendalikan kendaraan yg mengarah sendirinya ke kanan dan ke kiri, sehingga tdk ke luar jalur.
Istri saya nampaknya sdh mulai menyerah dan meminta balik arah. Saya pun hampir demikian, sampai muncul pengendara motor dari arah berlawanan. Saya bertanya, seberapa jauh lagi ke jalan raya Cijapati. Ia mengatakan jaraknya tdk jauh lagi. Dan saya menerima informasi darinya kalau jalur yg saya lewati itu tdk dilewati kendaraan roda empat.
Saya sempat berputar dua kali di daerah Kadungora. Tempat keluar dari Kadungora ke arah Leles tdk bisa dilalui karena sedang diberlakukan one way. Saya ingin menghindari jalur bypass Kadungora ini krn kondisi jalannya yg serasa off-roading sampai daerah Banyuresmi.
Akhirnya saya menggunakan jalur Banyuresmi. Setelah melewati Cipicung, nampak kemacetan di depan mata. Saya memutuskan utk balik arah dan melalui jalur Cinunuk. Alhamdulillah, jalanan lancar hingga sampai rumah. Semoga tol segera masuk ke Garut, agar ketidaknyamanan ini pergi.
#BiografiCahyana
Jumat, 13 Mei 2022
Tutup Kepala Ala Manusia Gurun
Ada ujaran yg ramai diperbincangkan, isinya demikian:
"Jadi 12 mahasiswi yg saya wawancarai, tdk satupun menutup kepala ala manusia gurun."
Pernyataan tsb merupakan kiriman Prof Budi Santoso Purwokartiko di media sosial. Hari ini, teman di lab riset saya berpendapat bahwa pernyataan tsb dapat dianalisis kandungan ujaran kebenciannya. Selepas bangun tidur malam ini, saya menyempatkan utk menganalisisnya dgn bersandar pada apa yg telah saya baca dlm proses memahami ujaran kebencian.
Ada anggapan netizen bahwa istilah "manusia gurun" dalam ujaran tsb merupakan label buruk yg menargetkan karakteristik yg dilindungi (ras), sehingga memenuhi syarat utk dianggap sebagai ujaran kebencian atau hate speech. Prof Dr Suteki, SH, M.Hum, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro dalam acara Catatan Demokrasi TVOne menduga kuat pernyataan tsb sebagai perasaan kebencian SARA. Istilah "manusia gurun" hampir mirip dgn "kadal gurun".
Suatu isim juz'iy atau kata khusus pada awalnya dapat bersifat netral, seperti misalnya "manusia perahu" dan juga "manusia gurun". Dlm istilah "manusia gurun" dan "kadal gurun", kata "gurun" nya mengindikasikan wilayah gurun seperti di Timur Tengah. Berbeda dgn "manusia gurun" yg digunakan sebagai al-haqiqah (sesuai makna sebenarnya), "kadal gurun" dlm ujaran tertentu digunakan sebagai al-majaz (tdk sesuai makna sebenarnya). Oleh krnnya tdk aneh bila suatu saat kita menemukan kamus istilah mengartikan "kadal gurun" tdk hanya terkait dgn hewan kadal, tetapi juga manusia, yakni orang yg dipengaruhi oleh gerakan ekstremisme Timur Tengah.
Suatu ketika, istilah atau isim, baik kulliy (umum) atau juz'iy (khusus) bisa dianggap offensive atau non-offensive saat muncul dlm ujaran yg menargetkan karakteristik yg dilindungi atau kelompok tertentu. Misalnya istilah "Ajam" yg berarti non-Arab. Kamus Hatebase memberi keterangan bahwa istilah tsb mungkin digunakan dlm ujaran rasis yg menargetkan kelompok kebangsaan Iran atau etnis Persia. Istilah "Ajam" populer di Argentina dan Venezuela dlm ujaran yg menargetkan kelompok tsb. Walau demikian, "Ajam" dianggap sebagai non-offensive.
Dalam Q&A Hatebase dijelaskan, bahwa suatu kosa kata dianggap sebagai ujaran kebencian apabila merujuk kelompok tertentu, dan bukan penghinaan umum; serta berpotensi digunakan dgn niat jahat. Apabila digunakan utk penghinaan umum saja tdk dianggap sebagai ujaran kebencian, apalagi ujarannya bukan penghinaan. Contoh ujaran yg menggunakan kata "Ajam" dan bukan penghinaan, tetapi niat baik menyamakan kedudukan terkait kebangsaan dan ras dapat ditemukan dlm khutbah Nabi SAW saat Haji Wada:
"Wahai sekalian manusia! Rabb kalian satu, dan ayah kalian satu (Adam). Ingatlah. Tdk ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan bagi orang Ajam atas orang Arab, tdk ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dgn ketakwaan ..." (Musnad Ahmad)
Kembali ke istilah "Manusia Gurun" atau "Kadal Gurun", apakah keduanya digunakan dlm ujaran yg berpotensi niat jahat dan menargetkan kelompok tertentu? Bila ya, maka dianggap sebagai ujaran kebencian. Tetapi terindikasi menargetkan kelompok tertentu saja blm tentu dilabeli offensive, seperti misalnya istilah "Ajam" dlm kamus Hatebase. Pertanyaannya, seberapa offensive nya istilah "Manusia Gurun" bila pernyataannya terbukti menargetkan kelompok tertentu?
Istilah "Kadal Gurun" atau "Manusia Gurun" dapat digunakan oleh siapapun dlm ujarannya yg netral atau positif, sebagaimana penggunaan istilah "Ajam" oleh Nabi SAW saat Haji Wada. Ujaran yg ramai diperbincangkan merupakan kesan Prof Budi terhadap mahasiswi yg diwawancarainya. Beliau mengidentifikasi mahasiswi lain yg menutup kepala ala manusia gurun.
Menurut saya pribadi, menyebut seseorang menutup kepala ala manusia gurun, ala manusia kutub, atau ala manusia manapun bukanlah ujaran kebencian yg menargetkan kebangsaan atau etnis, dan istilah yg digunakan bukan offensive. Makna "manusia gurun" itu sama seperti "manusia kutub" atau "manusia perahu", tdk bermuatan sentimen negatif.
Kata "ala" menurut KBBI bermakna "secara". Misal, dlm konteks model, "ala Barat" bermakna mengikuti model secara Barat. Bila tutup kepala adalah model, dan manusia gurun dimaknai orang Timur Tengah, kalimat, "menutup kepala ala manusia gurun" dapat difahami sebagai model secara orang Timur Tengah. Modelnya boleh jadi berbeda dgn manusia kutub atau orang Eskimo.
Penggunaan istilah "manusia XYZ" lajim dlm percakapan kita. Buktinya dalam KBBI ada contoh istilah "manusia perahu", yg bermakna orang-orang yg berbondong-bondong meninggalkan negerinya menuju negara lain dgn menggunakan perahu. Oleh karenanya kita akan menemukan satu dua pernyataan yg menggunakan istilah manusia gurun, manusia kutub, manusia neadherthal, atau manusia bodoh.
Tdk ada yg salah dgn pernyataan Prof Budi bila memang pengalaman beliau demikian adanya, di mana faktanya 12 mahasiswi yg diwawancarainya tdk satupun yg mengenakan tutup kepala secara orang Timur Tengah. Penggunaan istilah manusia gurun utk orang timur tengah sudah ditunjukan lajim dlm percakapan sehari-hari. Alasan beliau menggunakan istilah tsb ada kaitannya dgn agama Islam yg muncul dari Timur Tengah, karena beliau menyinggung soal kata2 langit yg bersumber dari teks Islam, seperti Insya Allah, Barakallah, Syiar, Qadarullah, dsb.
Pendapatnya ttg otak mahasiswi yg open minded tentu saja subjektif, dan setiap orang boleh setuju atau tdk di ruang pendebatan atau kebebasan berekspresi. Siapapun boleh berpendapat bahwa orang yg open minded itu mencari Tuhan ke negara2 maju dan bukan ke negara2 yg pandai bercerita tanpa karya teknologi; dan boleh juga tdk menyepakatinya. Hal tsb sebagaimana pendapat Prof. Dr. Henri Subiakto, S.H., M.Si, Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga yg disampaikannya dlm kesempatan acara Catatan Demokrasi di TVOne yg mengatakan bahwa Prof Budi boleh berpendapat demikian di alam demokrasi.
Dlm pernyataan klarifikasinya, Prof Budi menyatakan tdk bermaksud merendahkan atau mendiskriminasi muslimah berkerudung. Pernyataan ini menjelaskan tdk ada niat buruk, sehingga istilah "manusia gurun" yg digunakannya adalah istilah lajim dan tdk masuk kategori hate speech menurut Q&A Hatebase.
Kebetulan saja Prof Budi saat itu tdk bertemu dgn mahasiswi berkerudung ala manusia gurun yg memenuhi kriteria open minded nya, sebab semua mahasiswi yg diwawancarai tdk berkerudung semua. Oleh krnnya beliau mengatakan tdk ada kaitannya berkerudung dgn open minded, kebetulan saja mahasiswi yg open minded itu tdk berkerudung. Beliau menyatakan tdk membedakan antara mahasiswi yg berkerudung dgn selainnya.
Dalam klarifikasi tersebut, beliau menjelaskan bahwa tulisannya tsb merupakan harapan agar mahasiswi tdk terkena lingkungan yg mengutamakan kulit dari pada isi. Dlm tulisannya beliau bercerita bhw mahasiswi yg open minded itu mencari Tuhan tdk di negara yg "orang2nya pandai bercerita tanpa karya teknologi". Saya dapat menerima kalimat dlm tanda kutip tsb sebagai orang2 yg cuma kulit (pandai bercerita) tanpa isi (karya teknologi).
Di sisi lain saya juga membayangkan, sikap mengutamakan kulit tanpa isi juga seperti orang yg penampilannya agamis, tetapi sikap atau perbuatannya jauh dari agama, suka mempersulit hal yg mudah, mempermasalahkan sesuatu yg bisa dibuat tdk menjadi masalah; atau dgn kata lain tukang bikin masalah yg pada akhirnya merusak citra agama, dan menimbulkan antipati.
Sebenarnya menyikapi pengalaman Prof Budi itu sederhana, cukup dgn meyakini bahwa pengalaman manusia itu bisa berbeda dan persepsinya dipengaruhi oleh pengalaman tsb. Ikhtiarnya bagi muslimah adalah cukup dgn menjadi kandidat penerima beasiswa yg open minded, yakni menjadi insan yg tdk hanya kulit (agamis) tetapi juga berisi (bereputasi).
#PersepsiCahyana
Rabu, 04 Mei 2022
Pulang Mudik Bersama Google
Sebelum sampai di Nagreg, tepatnya di daerah Ranca Ekek, Google membantu saya mencarikan jalan alternatif yg tdk terfikirkan, dan meminta persetujuan utk memandu ke jalan tersebut. Tentunya saya berhati-hati dalam memberikan persetujuan, mengingat pengalaman di masa lalu pernah masuk ke jalanan tdk lazim krn mengikuti panduannya. Google nampak berkali-kali melakukan kalkulasi rute. Hal tsb membuat saya berfikir, kecerdasan buatan ini tengah bekerja keras utk memberikan layanan terbaik bagi penggunanya. Saya memutuskan utk mengikutinya dan meninggalkan jalur menuju Nagreg.
Akhirnya saya sampai di rumah setelah menempuh waktu berkendara selama kurang lebih empat jam, ditambah waktu istirahat di tiga tempat sekitar satu jam. Waktu tempuhnya relatif sama dgn di luar mudik. Google memandu saya melewati jalan tikus di daerah Cijapati dan Tarogong Kaler utk menghindari kemacetan. Jalannya sempit, sehingga kendaraan harus mepet dgn kendaraan lain bila berpapasan.
Kemudahan ini merupakan amal kebaikan yg mengalir deras utk siapapun yg menemukan dan mengoperasikan layanan Google Maps. Saya mengatakan kpd anak, mereka harus punya perusahaan yg mengoperasikan layanan seperti Google Maps bila ingin mendapat pahala yg terus mengalir. Saya selalu teringat, sebaik-baiknya manusia adalah yg memberi manfaat bagi banyak orang.
Terima kasih Google Maps Google
#PersepsiCahyana