Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Permendikbud 49/2014 Pasal 1:14)

Sekolah Tinggi Teknologi Garut

Diselenggarakan mulai tahun 1991 dan bernaung di bawah Yayasan Al-Musaddadiyah. http://www.sttgarut.ac.id/

Program Studi Teknik Informatika

Berdiri pada tanggal 30 Juni 1998 dan terakreditasi B. http://informatika.sttgarut.ac.id/

Rinda Cahyana

Dosen PNS Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dpk Sekolah Tinggi Teknologi Garut sejak tahun 2005

Senin, 29 Juni 2020

Pengabdian adalah Branding

Dlm Pengabdian kpd Masyarakat, sivitas akademika menyengajakan diri turun ke tengah masyarakat utk memberikan manfaat  keahlian atau luaran Tridharmanya dlm rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tsb merupakan blusukan gaya akademisi yg memberi manfaat pencitraan positif bagi kampus. 

Oleh krnnya kegiatan pengabdian merupakan bagian dari promosi kampus. Kegiatannya hrs dioptimalkan utk campus branding dgn sasaran terpenting menghasilkan intimacy antara kampus dgn masyarakat, sehingga kampus semakin dikenal dan berpengaruh.

Luaran pengabdian berupa publikasi artikel berita di media masa menjadi salah satu kunci sukses promosinya, cara personal branding yg tdk boleh dilewatkan oleh kampus, selain krn memang dapat menambah nilai kinerja di SIMLITABMAS. Setiap tim pengabdi adalah branding agent yg dapat menghasilkan citra positif kampus di tengah masyarakat dan dlm persepsi pembaca media. Semakin banyak pemberitaan pengabdian, semakin kuat upaya promosinya.

Pengelolaan media daring bisa dilakukan oleh divisi khusus di bawah unit bisnis kampus. Tentunya dikelola secara profesional dgn tim redaktur dan perizinan yg lengkap. Divisi tsb bisa menjadi medium pengembangan diri mhs dlm bidang jurnalistik, laboratorium bahasa, sekaligus menyediakan kesempatan kerja bagi alumni. Hal ini dimaksudkan agar dana mengalir di dalam lingkaran kampus.

Gambar ilustrasi: Relawan TIK Abdi Masyarakat II Sekolah Tinggi Teknologi Garut.

Sabtu, 27 Juni 2020

Pancasila Tidak Hendak Diganti, Tetapi Diberi Ciri


Kalau dicermati, pd pasal 7 RUU HIP tdk ditemukan kalimat yg arahnya mengganti Pancasila dgn Trisila atau Ekasila. Yg ada adalah penetapan Trisila sebagai ciri pokok Pancasila pd ayat (2), dan Ekasila sebagai kristalisasi Trisila pd ayat (3). 

Apakah ciri merupakan sesuatu yg sama dgn Pancasila sehingga dapat berpotensi menggantikan, atau bagian dari Pancasila sehingga melengkapi wujudnya? Mari kita ambil contoh penggunaan kata ciri pd mahluk hidup. Ciri pokok mahluk hidup itu bernapas, bergerak, iritabilitas, membutuhkan makan, tumbuh berkembang, bereproduksi, adaptasi, ekskresi. Bernafas itu bukan mahluk lain selain mahluk hidup, tetapi ia adalah atribut pengenal. Sehingga kita tdk bisa mengatakan bernafas adalah mahluk lain selain mahluk hidup yg berpotensi mengancam keberadaan mahluk hidup. 

Sampai di sini, kita sdh memahami bhw Trisila dlm pasal tsb diletakan oleh perumusnya bukan sebagai Ideologi lain yg akan menggantikan Pancasila, tetapi sebagai atribut pengenal Pancasila, di mana segala wujud Pancasila tdk akan seperti Pancasila kalau tdk bercirikan Trisila tsb. Seperti wujud mahluk tdk akan seperti mahluk hidup kalau tdk bernafas dls. 

Yg menjadi persoalan adalah apakah bangsa kita menyepakati Pancasila yg tertuang dlm UUD ini dicirikan oleh Trisila seperti pendapat Sukarno yg mengajukan nama Pancasila? Bila tdk diberikan ciri, apakah Pancasila ini tdk akan ditafsirkan keluar dari apa yg disepakati bangsa? Tentunya kita khawatir Pancasila ini dibawa terlalu ke kanan atau ke kiri. Kalangan Islam tentunya tdk suka Pancasila dibawa terlalu sekuler. Cirilah yg memastikan wujud Pancasila itu ajeg.

Oleh krnnya harus ada ciri tengahnya, tdk ke kanan atau ke kiri. Tugas perumus RUU ini mencari ciri tengahnya, menyepakati beberapa di antara banyak usulan ciri dari sisi kanan dan kiri. Sementara ini, Trisila diusulkan oleh tim perumus utk menjadi ciri tengah tsb, bukan menjadi pengganti Pancasila. 

Bila di tengah jalan ada yg tdk sepakat dgn ciri tsb, tim perumus dgn sokongan pakar bisa mengusulkan ciri yg dianggap bisa diterima oleh kalangan Nasionalis, Islam, dan lainnya. Tentunya yg memusyawarahkannya adalah politisi di parlemen yg menjadi wakil rakyat. Politisi yg memilih berjuang di luar parlemen, di luar sistem demokrasi, bukanlah entitas yg terlibat dlm musyawarah, tdk perlu dijadikan ikutan oleh rakyat Indonesia.

Jumat, 19 Juni 2020

Suara Gelisah Nyaring saat Kuliah Daring


Ada keresahan dlm benak sebagian mahasiswa baru yg saya ajar pada semester ganjil lalu saat mereka diberi pengalaman berbeda dari kelas lainnya, yakni tugas & ujian daring. Keresahan itu di antaranya krn beragam hambatan yg dihadapi, mulai dari keterbatasan kuota data & sinyal seluler, hingga masalah perangkat. Selebihnya adalah malas, hambatan yg tdk perlu diindahkan. Saya berusaha sebisa mungkin membantu mereka menghadapi persoalan perangkat saat pelaksanaan ujian daring.

Mungkin kesulitan yg timbul dari hambatan itulah yg membuat mereka yg mudah patah semangat mengeluhkan ujian daring & menginginkan ujian luring. Walau tdk ada yg berani menyampaikan keluhannya, kabar itu sampai juga ke telinga ini. Saya merasa perlu menjelaskan kenapa mereka diberikan pengalaman tsb.

Hari itu di kelas, saya sampaikan kpd mereka bhw pengalaman demikian seharusnya tdk terlalu sulit dihadapi oleh digital native seperti mereka yg menghabiskan waktu lama di internet, dibandingkan digital migrant seperti saya. Dan pengalaman demikian bukan hal aneh di luar kampus sana. Sdh lama praktik blended learning berjalan di lingkungan perguruan tinggi. 

Sebagai digital native yg belajar di prodi informatika, mrk hrs siap dgn praktik tsb. Apalagi yg dipelajari di kelas saya adalah teknologi informasi. Praktik tentunya sama pentingnya dgn teori. Semester genap depan, kampus berencana mulai menerapkan Elearning pd beberapa mata kuliah pilihan pd prodi Informatika. Mereka hrs senang menjadi kelompok pertama yg mendapat pengalaman blended learning. 

Beberapa bulan kemudian bencana Covid-19 pun terjadi. Di tengah semester genap itu, kampus membuat keputusan utk menerapkan Elearning sesuai arahan pemerintah. Semua prodi diperintahkan utk menyelenggarakan perkuliahan seluruh mata kuliah secara daring melalui Google Classroom. Syukurlah pd semester sebelumnya, semua dosen sdh mengikuti pembekalan Elearning oleh kampus.

Semua mhs sekarang mengikuti perkuliahan secara daring, termasuk mhs baru. Mau tdk mau mereka hrs mengelola hambatan agar pembelajarannya lancar. Di kelas yg saya ampu ada beberapa mhs yg menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatan pengiriman tugas yg disebabkan krn sinyal & kuota data. Saya tdk memberikan pengecualian terhadap kasus tsb dgn maksud agar mereka dapat menghadapi takdir dgn baik, tetap tersenyum & optimis dlm kegagalannya, serta berusaha utk mengejar ketertinggalan atau memperbaiki segala kekurangan dlm pengelolaan resiko. 

Tdk hanya hambatan tsb saja yg mengemuka, ternyata ada pula yg menginginkan penurunan beban belajar / SKS dgn alasan sedang bencana. Padahal jam belajarnya sekarang ini fleksibel, bisa disesuaikan dgn kesempatan masing-masing. Saya tdk mengabulkannya krn tdk ingin mereka menukar kesempatan belajar dgn kegiatan di luar belajar yg tdk ada kepastian kemanfaatannya. Cukup ditunjukan bahwa beban belajarnya sudah sesuai dgn besaran SKS dan luarannya sesuai dgn luaran pembelajaran yg tersebut dlm rencana kegiatan pembelajaran semester.

Dlm kesempatan mengerjakan tugas selama satu minggu, masih saja ada yg mengerjakannya ala kadarnya. Sepertinya belajar di rumah membuat sebagian kecil mhs menjadi lebih malas belajar. Saat kuliah luring, saya berada di hadapan mhs. Ada di antara mereka yg terlihat malas mengikuti kuliah. Bisa dibayangkan bagaimana mereka saat belajar di rumah, di mana tdk ada mata dosen yg memperhatikan.

Di penghujung perkuliahan saya sampaikan demikian kpd mereka: 

Para pembelajar semoga memahami bhw mempelajari sesuatu itu hrs dibarengi dgn keinginan yg kuat. Setiap pengalaman baru yg berhasil dilintasi dgn susah payah akan membangun kemampuan baru. Semakin bertambah kemampuan, semakin berdaya saing. Bagi pembelajar sejati, ketidakmampuan adalah masa lalu dan kemampuan adalah masa depan, pantang menghabiskan waktu dgn kemampuan yg tdk berkembang.

Pada akhirnya, mereka memperoleh apa selama satu semester sangat bengantung dgn usaha mereka sendiri. Bila Dosen memberikan petunjuk yg tdk mudah, hal tersebut utk membukakan kemampuan menyelesaikan masalah, bukan utk terjelembab dlm keluh kesah. Mengumpulkan malas dan keluh kesah itu tdk berdampak baik bagi pengetahuan, keterampilan, dan sikap calon Sarjana. 

Rabu, 17 Juni 2020

Memori Sayur Kacang


Teringat di masa bujang dulu sering keluar kompleks selepas jadwal ngaji di malam hari hanya utk menikmati sayur kacang di bunderan Jayaraga / Cimanuk. Saya tahu lokasi warung tsb dari teman. Dia mengatakan kalau makan di sana suka diberi nasi yg sangat banyak sekali. Sekarang ini, istri suka menyajikan sayur tsb dgn rasa yg sama, membuat saya terkenang masa bujang tsb.

Saat itu saya sering menyantap sayurnya dgn tambahan sambel terasi dan gehu (tahu berisi toge yg digoreng dlm balutan tepung). Gehu menjadi makan cukup dikenal mengingat pondok suka membagikan kudapan tsb selepas aurod setiap malam Jum'at. Walau dulu terasa nikmat, tetapi sekarang kebiasaan makan di atas jam 9 malam tsb mulai terasa mengganggu kesehatan.

Sabtu, 13 Juni 2020

Aku dan Buku


Teringat semasa kuliah dulu bisa membeli buku Fiqh Sunnah setelah mendapat uang beasiswa PPA dari Sekolah Tinggi Teknologi Garut. Sebelumnya pd malam itu, pimpinan ponpes mahasiswa, DR Maman Abdurrahman Musaddad rahimahullah menyampaikan kabar baik di Kopontren, bhw saya akan mendapat beasiswa tsb. Persyaratan administrasinya sdh diuruskan oleh kampus. Sungguh rejeki yg tdk disangka2. 

Adanya beasiswa itu membuat isi rak buku bertambah setiap bulannya. Saat saya memutuskan tinggal di perpustakaan pondok yg blm berfungsi, buku2 itu mengisi lemarinya. Ada banyak teman yg datang utk meminjam buku, di mana sebagian bukunya ada yg tdk kembali sampai sekarang. 

Ada juga yg meminjam buku Konsep Gerakan Terpadu Ikhwanul Muslimin utk keperluan menyusun skripsi dlm bidang Pendidikan Islam. Buku tersebut meluaskan pengetahuan saya seputar gerakan Islam modern dan kultural serta interaksinya dgn kalangan nasionalis sekuler yg sebelumnya diperoleh dari bukunya Deliar Noer.

Pertama kali mengetahui Fiqh Sunnah dari ustadz Aidid. Saat ngaji fiqh, beliau suka merujuk karya Sayyid Sabiq tsb utk meluaskan wawasan kami soal keragaman mazhab. Bila tdk faham dgn apa yg saya baca dari buku tsb, saya suka menanyakannya kpd ustadz Aidid saat main malam hari selepas ngaji ke rumah ustadz pondok.

Saat diminta kampus membantu Koordinator Labkom, saya dipercaya utk memelihara perangkat di Labkom dan memegang kuncinya. Ada ruang di bawah tangga Labkom yg saya jadikan tempat kerja. Sesekali saya tidur di sana. Utk menunjang kerja, saya diberi mess di samping kampus. Oleh krn nya, saat itu saya punya tiga tempat tidur.

Suatu saat saya menemukan lemari panjang bekas kantor teronggok dan terbuang di belakang gedung kampus, dekat mess. Bagian kulitnya yg terbuat dari triplek sudah banyak yg terkelupas. Saya membeli cat, gergaji, paku, dan palu ke toko besi dan menyulapnya menjadi lemari buku. 

Semua buku yg awalnya tersimpan di perpustakaan Ponpes dipindahkan ke lemari buku yg sudah menempati mess, menyekat tempat tidur dgn bagian lainnya. Setelah saya pindah ke mess, lemari di perpustakaan pondok pun dibongkar. Saya bergumam di dalam hati saat melihat pembongkaran itu, andai lemari itu bisa saya miliki. 

Mess itu saya tinggalkan setelah menikah. Saat pindah ke rumah mertua, semua bukunya saya masukan ke dalam dus besar. Sesampainya di rumah mertua, almarhum ayahnya istri melihat dus yg berisi buku tsb. Beliau bertanya, apakah saya jualan buku? Saya menjawab, buku tersebut koleksi dari semasa kuliah. 

Semua buku itu menempati lemari buku baru di rumah mertua. Sebelum beliau meninggal, saya diberi buku fiqh yg dulu dipakai oleh beliau saat mengaji. Satu-satunya warisan yg paling berharga krn mengingatkan saya utk terus mencintai buku. 

Kini lemari bukunya sudah rusak dan tdk bisa menampung buku-buku baru. Saya belum sempat membeli lemari baru. Pekerjaan juga membuat saya memiliki sedikit waktu utk membaca buku. Walau demikian, buku yg ditulis oleh ulama dulu masih suka menggoda hati ini utk membelinya. Dua set buku yg sampai hari ini masih ingin saya miliki adalah Ihya Ulumuddin al-Ghazali, Madarijus Salikin Ibnul Qayyim Jauziyah, dan al-Futuhat al-Makkiyah Ibn Arabi.