Jika
kurikulum yang mengandung matpel (mata pelajaran) TI (teknologi
informasi) ini berlaku umum, tidak hanya Sekolah Menengah Kejuruan
Informatika, maka matpel TI ini harus menyediakan keahlian TI dasar
yang diperlukan oleh umumnya pengguna, yang diajarkan sistematis dari PC
component hingga cloud Apps (kami
sering menyebutnya dengan c2c). Tidak hanya membuat mereka menjadi
melek TI saja, tetapi juga cerdas TI. Mereka diajarkan cara
pemanfaatan TI yang cerdas (efisien dan efektif) dari lapisan component
hingga cloud dari berbagai sudut pandang: hukum, agama, psikologi,
sosiologi, kesehatan, dls. Setelah melek dan cerdas TI dasar itu
disampaikan, baru masuk ke aplikasi sesuai bidang studi atau rumpun yang
dipilih untuk menciptakan kapasitas. Tujuan penciptaan kapasitas adalah
siswa mendapatkan manfaat dari TI dalam bidang yang sedang
ditekuninya. Akhir dari semuanya, diharapkan bukan hanya mendapat
manfaat dari TI dan memutuskan dengan penuh kesadaran dari bahaya TI,
tetapi mereka mampu berbagi konten sesuai bidang masing-masing di
internet dan memanfaatkan konten untuk kesejahteraan mereka. Adakah
kurikulum dari SD sampai SMA yang mengakomodasi itu?
Jangan
lupa bahwa TI ini bukan hanya kepentingan mereka yang berada dalam
bidang informatika saja, dan tidak setiap orang perlu untuk menjadi
pengembang platform TI untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Mungkin
bagi siswa elektro dan informatika membuat
platform TI itu membawa kepada kesejahteraan, tetapi bagi siswa di
luar bidang itu, mereka cukup menjadi pengguna akhir yang memanfaatkan
platform TI jadi dan tidak perlu jadi pengguna spesialis yang membuat
platform TI. Terkait idealisme menggunakan platform TI sendiri,
sungguh sangat luar biasa. Tetapi kita juga harus realistis bahwa tidak
semua platform TI yang dibutuhkan (produk dalam negeri) itu tersedia,
baik yang berbayar ataupun FOSS. Jadi fokus terpenting adalah pada
pengetahuan dan keahlian apa yang harus diberikan. Pemilihan platform
TI itu urusan kedua.
Menurut
yang saya fahami sebab pemilihan platform TI itu dua, yakni kebutuhan
dan gaya hidup. Kalau fungsi suatu platform TIK memadai, maka yang
berorientasi kebutuhan pasti mencukupkan diri dengan platform TI
tersebut. Tetapi kalau bicara gaya hidup,
yang dilihat bukan hanya fungsi tetapi dorongan-dorongan subjektif.
Dorongan-dorongan itu manusiawi sehingga gaya hidup ini merupakan HAM (hak
asasi manusia yang harus dihormati). Dengan demikian kebebasan memilih
platform TI juga HAM yang harus diindahkan, selama pemilihannya
dilakukan secara cerdas, tidak merugikan diri sendiri dan orang banyak.
Menurut survei Android itu digemari anak muda, sementara blackberry itu
digemari kalangan mapan. Biarkan saja kondisinya seperti itu, mengalir
begitu saja, karena setiap platform TI menciptakan segmen gaya hidupnya
sendiri. Tidak perlu saling ganggu.
Pada akhirnya kebebasan memilih platform TIK yang merupakan HAM ini
berujung pada kata sederhana yakni "pokoknya bisa dipake", soalnya kalau tidak terpakai otomatis ditinggalkan bukan? Frasa
"bisa digunakan" maknanya sangat dalam, meliputi
mereka yang berorientasi kebutuhan dan juga gaya hidup. Jadi frasa itu
merupakan frasa umum mewakili semua orang dengan platform TI yang
dipilihnya. Seseorang boleh jadi bisa menggunakan
suatu sistem operasi tetapi tidak bisa menerima jika harus meninggalkan
kenyamanan sistem operasi lainnya. Jadi kata "bisa" ini juga bersifat
umum. Oleh karenanya cara
sekolah memilihnya adalah "yang bisa digunakan siswa atau yang bisa
digunakan dalam materi yang sedang digunakan". Tidak perlu dilakukan
pengaturan harus platform A, B, atau C. Yang suka menggunakan platform
berbayar dalam sistem pengajarannya silahkan, yang tidak suka juga
silahkan.
(Dikutip dari komentar saya dalam diskusi malam bersama bapak Michael S. Sunggiardi di grup Facebook Asosiasi Guru TIK dan KKPI Nasional)
(Dikutip dari komentar saya dalam diskusi malam bersama bapak Michael S. Sunggiardi di grup Facebook Asosiasi Guru TIK dan KKPI Nasional)
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya