Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Permendikbud 49/2014 Pasal 1:14)

Kamis, 15 September 2016

Romantika Candori 2016 Yogyakarta


Pada bulan September 2016 saya ditanya oleh teh Hani - teman Relawan TIK dari Bogor, apakah sudah dikonfirmasi kehadirannya melalui telepon oleh Direktorat Pemberdayaan Informatika Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia untuk menghadiri Festival TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) Candori 2016? Saya bilang sempat ada telepon dari jakarta tetapi tidak ada suaranya, mungkin karena handphone nya saat itu sedang terhubung ke internet. 

Beberapa waktu kemudian konfirmasi yang dimaksud muncul melalu email. Karena kegiatan Relawan TIK Indonesia selama ini menjadi bagian dari pengajaran, penelitian, dan pengabdian, maka saya menyanggupi untuk hadir. Sebagai penghuni pulau Jawa saya diarahkan untuk menempuh jalur darat dengan kereta api atau lainnya. Syukurlah uang sertifikasi dosen cair tepat waktu sehingga saya bisa segera membeli tiket kereta api. Simpang siur jadwal acara membuat saya mengambil tiket pulang pada hari Senin, sehingga saya akan cukup lama di Yogyakarta karena diminta untuk datang oleh Kementrian pada hari Kamis.

Pagi hari tanggal 14 September 2016, saya mencetak x-Banner Relawan TIK Garut yang saya buat dengan Microsoft Power Point tengah malam tadi. Tidak ada uang kas Relawan TIK Garut, uang pribadi pun jadi. Biar nanti kwitansinya saya kasihkan ke Bendahara agar minus saldo kasnya bertambah, xixixixi. Minus itu dicatat sebagai dana talangan dari saya yang nanti diganti oleh organisasi kapan-kapan kalau dapat uang. Entah sekarang minusnya sudah berapa rupiah, saya tidak berusaha untuk mengingatnnya. 

   
Selepas mengambil x-Banner dan mengisi bensin, mobil yang akan saya gunakan ke Statsiun Bandung mati mendadak. Agak panik karena waktu sudah menuju malam, dan kalau mobil ini tidak bisa dihidupkan kemungkinan tiket berangkat besok hangus. Syukurlah kakaknya istri datang membantu. Ternyata masalahnya pada sambungan ACCU. Orang yang bisa troubleshooting komputer tidak jamin bisa troubleshooting mobil, hahaha.

Sekitar pukul tiga pagi lebih saya berangkat menuju Statsiun Bandung. Pagi itu saya sarapan nasi di statsiun kereta api. Alhamdulillah keretanya datang tepat waktu. Gerbong Eksekutifnya lumayan nyaman walau jauh kalau dibandingkan kabin pesawat Garuda, hahaha. Kenyamanan itu sedikit terganggu saat hidung ini mulai menunjukan masalahnya. Beberapa bulan ini saya memang mengidap Alergi Kronis di mana dua lubang hidung ini menyempit kalau terkena debu atau kedinginan.  

Sayangnya kereta api Lodaya Pagi ini mengalami masalah di roda sehingga perjalanannya menjadi delay satu jam. Selain itu air di toiletnya tidak berfungsi. Tadinya mau sms petugasnya, tidak jadi karena lupa isi pulsa, hehehe. Beberapa jam sebelum tiba di Statsiun, saya sempat dihubungi bang Mihram - Relawan TIK Papua yang sama-sama turun di Statsiun Yogyakarta kalau ia pergi menuju lokasi inap duluan. Kasihan juga sih kalau nunggu lama, gara-gara delay. 


Akhirnya sore itu saya tiba di statsiun. Saya menghubungi kang Ipan - ketua Relawan TIK Tasikmalaya yang tiba bersama dengan kereta api Lodaya Pagi melalui Whatsapp dan mengatakan akan salat dulu di masjid. Dalam perjalanan menuju masjid saya melewati warung nasi Gudeg Jogja. Langsung saja rencana dibuat untuk kembali ke sana setelah salat. Tidak lupa saya memberi tahu kepada kang Ipan kalau lokasi pertemuannya di rumah makan tersebut.


Lepas salat saya menunaikan hajat mencicipi Gudeg Jogja. Beberapa saat kemudian saya menerima informasi kalau kang Ipan ternyata sudah berangkat ke lokasi inap. Akhirnya diputuskan untuk merubah jadwal kepulangan dulu menjadi Minggu, karena kebetulan sebelum turun dari kereta api saya mendapatkan informasi kalau jadwal kegiatan dari Jum'at sampai Sabtu. Agak lama antri di loket sambil menggendong tas yang berat. Tapi akhirnya tiket pulang berubah dengan membayar sekitar 80 ribu atau 20% dari harga tiketnya. Bang Mihram menghubungi kembali menanyakan di mana posisi saya. Saya sampaikan kalau saya masih di Statsiun Kereta Api untuk memperbaiki tiket pulang.

Di statsiun itu saya memilih ojeg untuk sampai ke lokasi inap. Pilihan keliru karena saya harus menahan beban tas yang berat dan mempertahankan kantung x-Banner dengan tangan kiri dari dorongan angin dari depan saat motornya melaju kencang. Dengan kelelahan akhirnya sampai di hotel tempat Relawan TIK menginap. Di depan pintu sudah menunggu wa Aboer, Relawan TIK dari Majalengka. Beliau yang didaulat sebagai koordinator pemondokan menyerahkan kunci kamarnya ke saya. Kebetulan saat dalam perjalanan kereta api sebelumnya, melalui Whatsapp beliau menawarkan diri untuk tidur sekamar. Selain dengan beliau, bang Semy - Relawan TIK Ambon juga mengonfirmasi melalui Whatsapp saat saya di kereta api siap satu kamar dengan kita berdua. 

Rasanya lelah sekali dan ingin tidur, tetapi malam itu saya sebagaimana teman-teman Relawan TIK lainnya harus berangkat menuju Graha Pustaka tempat penyelenggaraan Festival TIK. Di lokasi kita berbincang informal dengan teman-teman dari Direktorat Pemberdayaan Informatika seputar pemanfaatan TIK di desa. Ada kepala desa dan pegiat perempuan yang hadir dalam diskusi ringan malam itu. Beberapa saat kemudian datang ibu Septriana Tangkari, Direktur Pemberdayaan Informatika menyalami kami dan mengemukakan pendapat dan harapannya terhadap Relawan TIK indonesia. 



Beliau juga mengenalkan Relawan TIK Indonesia kepada staf ahli menteri bidang TIK yang menyarankan agar ke depannya Relawan TIK ini diberikan insentif seperti pendamping desa pada umumnya. Gagasan tersebut bukan hanya sekali saya dengar, tetapi pada bulan-bulan sebelumnya saya juga mendengar gagasan tersebut dari Asisten Deputi Menko Ekuin saat diskusi dalam forumnya kepala Dinas Usaha Kecil Menengah dan Koperasi provinsi Jawa Barat. Soal insentif ini saya berpegang pada literatur yang pernah saya baca pada tahun 2012 saat membuat konsep Aktivitas dan Kompetensi Relawan TIK untuk Direktorat Pemberdayaan Informatika, bahwa insentif itu terkadang dicari oleh mereka yang belum memiliki pekerjaan tetap, dan terkadang juga mengganggu semangat relawan. Bagi pelajar, insentif yang dikejar itu berbentuk peningkatan kapasitas gratis, bukan uang. Bagi saya, untuk mewujudkan gagasan satu desa satu relawan TIK yang disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, diperlukan pengelolaan kegiatan kaderisasi dan pelayanan relawan TI yang serius. Jika pekerjaan serius ini dilakukan oleh relawan TIK pendamping desa, maka insentif tersebut merupakan hal yang masuk akal, sebagaimana masuk akalnya insentif bagi pendamping desa, walaupun umumnya relawan dapat bekerja tanpa insentif. Saya melihat penerapan insentif ini kondisional. 


Keesokan harinya saya bergegas memasang standing banner Relawan TIK Garut di lokasi. Ternyata di sana sudah berdiri sejumlah standing banner milik Relawan TIK Indonesia, pengurus wilayah, dan pengurus cabang. Juga ada standing banner milik saka Telematika yang dirintis oleh Relawan TIK Jawa Barat. Berbeda dari banner lainnya, yang saya buat ini menampilkan luaran kegiatan Relawan TIK di Garut yang dibagi ke dalam empat bagian sesuai komponen layanan pada framework tiga lapis infrastruktur pembangunan masyarakat informasi yang tertuang dalam artikel penelitian saya. Bagian tersebut meliputi kerja kolaborasi, kerja teknologi informasi, kerja literasi digital, dan kerja informasi. 



Lepas salat Jum'at, di hotel saya berbincang dengan teman-teman Relawan TIK dari Papua, Ambon, dan Lampung. Saya juga akhirnya bertemu dengan teman Relawan TIK yang mengira saya itu perempuan. Padahal namanya sudah diubah jadi Cahyana dan fotonya diganti jadi gambar Festival TIK Candori, tetap saja masih dianggap perempuan ... nasib, hahaha. Secara mendadak tiba-tiba kami berfikir untuk menggunakan sebagian waktu untuk menjelajahi Yogyakarya, karena tidak ada waktu yang disediakan oleh panitia untuk melakukan hal penting tersebut. Akhirnya kami patungan dan melaju ke Perambahan untuk kemudian berakhir di Malioboro. Mbak Nova - Relawan TIK Bojonegoro juga ikut jalan bersama kami. Ceritanya Malioboro ini makan siang yang tertunda bari Relawan TIK Garut, Papua, Lampung, dan Bojonegoro, karena pada saat berangkat kami melewatkan makan siang di Graha Pustaka. Perjalanan tersebut cukup menguras tenaga dan membuat kami semua kehausan. 

  


Malam harinya pak FED (Fajar Eri Dianto) - Ketua Relawan TIK Jawa Barat sekaligus ketua bidang literasi pusat mengumpulkan kami semua untuk mendiskusikan tentang calon ketua umum baru. Kang Gery dari Jawa Barat sudah ramai sebelumnya di grup Whatsapp Relawan TIK Indonesia untuk diangkat jadi calon ketua umum. Saya adalah satu-satunya di grup yang menyuarakan #FED2016 di saat banyak orang memasang tagar #Gery2016. Maklumlah, karena pak FED ini pernah mempengaruhi saya sehingga kata Pecinta dalam nama Kelompok Pecinta TIK saya ubah menjadi Penggerak. Saya juga melihat Relawan TIK Jawa Barat solid di bawah kepemimpinan beliau. Jadi, walau banyak orang bilang beliau terlalu senior untuk maju jadi calon ketua umum, saya melihat dalam kondisi ini beliaulah yang tepat menjadi ketua umum.  

Tentang bursa calon ketua umum ini saya jadi ingat perbincangan dengan teh Meti - Relawan TIK Bandung saat kereta api mulai berangkat. Waktu itu saya menyatakan dukungan terhadap pak FED dan bertanya bagaimana pendapatnya tentang kang Gery sebagai calon ketua umum?. Teh Meti mengatakan dua-duanya diharapkan oleh relawan TIK Jawa Barat. Kalau kang Gery maju pun di belakangnya tetap ada pak FED, hehehe. Kemudian teh Meti mendorong saya untuk juga masuk bursa ketum, karena katanya Jabar memikirkan kang Gery atau saya yang maju. Jawabannya sama seperti yang pernah disampaikan kepada pak Bambang, pak FED, dan pak Yamin, bahwa saya tidak bisa karena ingin tahun depan fokus kuliah strata tiga. 


Malam itu pak Yamin dari Yayasan Nawala Nusantara datang dan mendorong saya untuk maju jadi calon ketum. Bahkan beliau mengajak saya bicara bertiga dengan pak FED agar saya bersedia maju. Tetapi jawaban saya tetap sama dan saya mengatakan kepada pak FED kalau saya istiqomah mendukung beliau. Lepas itu, dalam kumpulan tersebut pak Yamin masih saja mengatakan kalau saya bersedia menjadi calon ketum, hahaha. Melalui Whatsapp saya memberi penjelasan kepada beliau berdua, point penting penjelasannya adalah sebagai berikut :
  • Pada prinsipnya saya sebagaimana kawan RTIK Universitas lainnya selalu ingin jadi dan membesarkan RTIK Id. Oleh krn nya saya membutuhkan dan akan mendukung siapapun caketum yg terbuka dan mampu menyatukan semua kekuatan yg Indonesia miliki dgn melepaskan segala sekat2nya. 
  • Saya melihat kawan2 yg telah sukses memimpin banyak relawan utk melaksanakan kegiatan RTIK di daerahnya (baik dgn atau tanpa konsep) adalah manusia Indonesia terbaik yg dapat dipilih utk Caketum ke depan. 
  • Selama masih ada yg lebih baik dari saya utk jadi Caketum, maka saya akan senantiasa seperti sekarang, selalu memberi dukungan dgn apa saja yg saya miliki.
  • Dengan senang hati saya membantu RTIK Id sebagai apapun, seperti sekarang ini yg walau hanya ketua RTIK Cabang kota kecil Garut secara de facto, saya senantiasa berbagi konsep yg dijalankan di Garut. 
  • Saya siap membantu sepanjang kemampuan, karena saya tahu bhw menjadi Relawan itu baik personal atau pemimpin tim hrs memiliki komitmen waktu dan kemampuan.   


Sebenarnya saya tidak ingin bersikap tidak sopan menolak dorongan para senior ini. Tetapi saya melihat tanda-tanda kalau tahun depan fikiran saya harus mantap studi strata tiga, di mana Prof Iping sudah membukakan pintu, ketua Sekolah Tinggi Teknologi Garut mendorong saya untuk memikirkan kuliah strata tiga. Prof Ali Ramdhani sebagai penasihat Relawan TIK Garut mengatakan jika semua pilihan mengandung kemaslahatan dan memiliki konsekuensi, beliau mempercayakan kepada saya untuk memilih sendiri apa yang dianggap terbaik.

Malam hari itu saya berbincang dengan pak Deo Rindengan - Relawan TIK Menado yang berprofesi sebagai Dosen di Universitas Samratulangi. Sama seperti saya, beliau pun ada yang dorong menjadi calon ketum. Dan beliau menolak dengan alasan yang sama seperti saya, karena sudah diminta oleh Dekan untuk segera kuliah strata tiga. Sejak Rakernas Bandung tahun lalu, saya sebenarnya berkeyakinan kalau rekan dari Indonesia Timur punya kapasitas untuk menjadi calon ketum. Namun pak Deo mengubah keyakinan saya malam itu, beliau mengatakan keberadaan ketum dekat dengan Jakarta sangatlah penting. Beliau mendorong saya untuk jadi calon ketum. Kali ini menjawabnya relatif mudah karena jawaban penolakannya sama persis dengan jawaban pak Deo, hehehe. Malam itu kita sama-sama bersepakat kalau di struktur kepengurusan pusat harus ada wakil dari Perguruan Tinggi, karena Perguruan Tinggi seperti Universitas Samratulangi ataupun Sekolah Tinggi Teknologi Garut mendukung budaya relawan dan menyediakan sumber daya relawan yang sangat banyak. Kita mendukung kalau pak Said dapat mewakili unsur Perguruan Tinggi, sekiranya beliau tidak sibuk dengan S3 nya, hehehe.

Keesokan harinya saya kembali mendapatkan dorongan dari beberapa pengurus Wilayah. Tetapi saya tetap tidak bergeming dari pendirian. Saya meminta semuanya satu suara untuk mendorong pak FED. Saya sempat merasa kaget saat pak Deo di sesi break menunjukan foto pertemuan Munas, karena nama saya masih muncul di daftar calon ketua umum. Tetapi semua sesuai dengan yang saya harapkan, pak FED mendapatkan suara mayoritas, yes !. Saya jadi teringat malam itu saat pak FED berusaha mempengaruhi banyak relawan TIK untuk mendukung saya ... saya berhasil membalikan dukungan relawan TIK kepada beliau, hahaha. Saat ini hanya pak FED menurut saya ketua umum yang tepat untuk membawa perubahan pada Relawan TIK Indonesia. Saya merasa yakin bukan hanya Relawan TIK di Jawa Barat saja yang berfikir demikian. 


Saat sesi ramah tamah, perkenalan Relawan TIK Jawa Barat dipimpin oleh kang Fajar yang jadi pelaksana harian Relawan TIK Jawa Barat. Dan ya ampun, kembali lagi Relawan TIK Jawa Barat mengeluh soal penolakan pengurus pusat Relawan TIK Indonesia terhadap konsep Aktivitas dan Kompetensi Relawan TIK yang saya buat. Saya berbisik kepada pak FED untuk menanyakan kenapa kang Fajar mengungkin lagi masalah itu? Saya serasa kembali ke masa lalu saat Rakernas di Bandung tahun lalu, saat pak FED selaku ketua Relawan TIK Jawa Barat juga mengungkit masalah tersebut. Waktu itu saya bilang ke beliau, "ya ampun pak, tidak perlu diungkit lagi". 


Bagi saya, penolakan "politis" tersebut tidak menjadi masalah. Ada banyak kepala di dalam Relawan TIK Indonesia yang berbeda pemikiran dan bahkan meragukan hal-hal berbau kajian. Saya boleh meyakini kajian dapat menstrukturkan gerakan, tetapi banyak kawan yang berfikir gerakan itu tidak perlu terstruktur, cukup lakukan apa yang bisa dilakukan. Itulah sebab kenapa saya berkata, "Saya lebih suka memimpin diri sendiri dalam kegiatan berfikir dari pada memimpin masa dengan pemikiran yang banyak". Saya lebih senang melakukan kajian dari pada berhadapan dengan perdebatan. Menerima sikap penolakan terhadap hasil kajian walau itu politis adalah lebih baik dari pada berderbat. Setidaknya itu yang saya pelajari dari kasus penolakan tersebut. Bagi saya, di dalam atau di luar, di terima atau diusir dari Relawan TIK Indonesia, aktivitas relawan akan tetap saya jalani, karena ia merupakan sedekah pembersih dosa, relawan adalah tarikat yang saya lalui untuk "membentuk hati".  

0 comments :

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya