Sejak tahun 1997 saya mukim di pondok pesantren mahasiswa. Saya pernah bertemu dengan al-Habib Muhammad Rizieq Syihab di rumah pimpinan pondok pesantren mahasiswa. Sungguh kebetulan sekali karena pertemuan itu terjadi dalam periode penelaahan mandiri karya tulis Ibnul-Qayyim, topik pergerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin, dan sebelum interaksi saya dengan Syabab Hizbut Tahrir di Garut. Kebetulan pimpinan pondok pesantren memiliki hubungan yang cukup baik dengan pucuk pimpinan FPI (Front Pembela Islam) tersebut. Pertemuannya dilaksanakan pada malam hari yang dihadiri oleh seluruh santri mahasiswa Sekolah Tinggi Teknologi Garut.
Waktu itu saya banyak mendengar di kalangan pegiat Islam bahwa Laskar Jihad pimpinan Jafar Umar Thalib diupamakan seperti tentaranya umat Islam, dan Laskar FPI diumpamakan seperti polisinya umat Islam. Apa yang saya dengar tersebut kemudian ditanyakan maksudnya kepada Habib. Dengan lemah lembut beliau menjelaskan fungsi laskar FPI dalam kaitannya dengan amar ma'ruf nahyi munkar dan menyampaikan pendapatnya tentang Laskar Jihad secara ringkas. Penjelasan beliau memberi tambahan pengetahuan saya seputar pergerakan Islam, khususnya yang ada di Indonesia.
Beberapa waktu kemudian saya diminta oleh pimpinan pondok pesantren untuk memimpin suatu kegiatan se Jawa Barat di Garut. Saya sering menyelenggarakan kegiatan saat aktif di Generasi Muslim al-Muhajirin atau Palang Merah Remaja. Tetapi untuk yang satu ini saya merasa tidak bisa menyelenggarakannya sendirian. Syukurlah saya memiliki banyak kenalan teman-teman kampus, adik-adik tingkat yang aktif di organisasi mahasiswa Islam eksternal kampus. Pimpinan pondok dan teman-teman menunjuk saya sebagai ketua pelaksana, sekalipun saya sudah menyampaikan usulan agar salah satu teman yang bergabung dalam kepanitiaan yang menjadi ketua pelaksananya. Saya setuju dengan catatan bahwa teman tersebut bertanggung jawab atas operasional kegiatannya.
Kegiatan tersebut adalah Musyawarah Daerah FPI Jawa Barat yang pertama. Saya tidak terlalu faham FPI itu apa, tetapi pimpinan pondok pesantren lebih faham karena banyak berinteraksi dengan pengurus pusatnya. Saya melaksanakan tugas tersebut dengan dua alasan, 1) Menghormati permintaan ketua pondok pesantren, dan 2) Ingin membantu sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam. Dengan alasan tersebut saya menyanggupi untuk menjadi ketua pelaksana kegiatannya.
Saat kegiatan itu berlangsung, saya hampir tidak mengikuti kegiatannya. Saya stand-by di kobong. Saya telah menyerahkan operasional kegiatannya secara penuh kepada teman yang saya percayai tersebut. Rupanya dia sangat handal sehingga dapat mengelola kegiatan pemilihan ketua FPI Jawa Barat yang pertama itu hingga selesai. Itulah sebab kenapa saya memilihnya, karena saya yakin dia lebih faham dari pada saya soal tata tertib dan administrasi pemilihan ketua kepengurusan. Walau saya diminta sebagai ketua pelaksana Musyawarah Daerah FPI Jawa Barat, tetapi saya tidak pernah diminta untuk menjadi anggota FPI. Oleh karenanya, setelah selesai kegiatan tersebut, saya kembali melaksanakan rutinitas di kobong, mengikuti pengajian, membaca buku, dan mengamalkan aurod, jauh dari kegiatan organisasi apapun.
Beberapa tahun kemudian saya mendengar berita tentang FPI, mulai dari berita positif dan negatif. Saya membaca bagaimana gesekan FPI dengan akar rumput Nahdiyin mengeras saat Habib mulai mengkritik dengan gaya bicara orang Betawinya kepada Gus Dur. Saya membaca bagaimana media mengeksploitasi gesekan FPI dengan masyarakat untuk kepentingan rating. Bahkan ada lembaga independen yang secara khusus membuat daftar masalah tersebut dan mempublikasikannya di internet, yang dimanfaatkan oleh banyak perkumpulan untuk mendorong pembubaran FPI. Dan sekarang ini saya membaca bagaimana FPI yang didirikan pada tanggal yang sama dengan kemerdekaan Indonesia itu dikait-kaitkan dengan organisasi teroris.
Sebenarnya FPI ini memiliki banyak kegiatan yang pasti akan dinilai positif oleh umumnya masyarakat, seperti misalnya kegiatan relawan dalam kejadian Tsunami Aceh. Namun pemberitaan yang banyak dimunculkan di media sosial lebih banyak seputar gesekan tersebut. Nahyi munkar yang menjadi penciri umat Islam itu penting adanya di tengah masyarakat yang mulai melepaskan kearifan lokalnya. FPI memiliki prosedur nahyi munkar yang tidak melanggar aturan pemerintah dan telah melaksanakannya. Hanya tinggal mengendalikan pelaksana dan mengelola pemberitaannya saja agar direspon positif oleh masyarakat yang memerlukan ketertiban umum.
Semoga saja Rabithah Alawiyah sebagai induk dari segala organisasi habaib (seperti Majelis Rasulullah, Nurul Mustafa, FPI, dan lain sebagainya) dapat memberikan pendampingan agar FPI dapat menjadi organisasi yang dapat melaksanakan nahyi munkar dalam wajah yang lebih simpatik lagi, sekalipun kita tahu tidak mungkin semua orang dibuat simpatik dengan nahyi munkar, seperti pelaku maksiat yang melanggar aturan pemerintah, syariat agama, atau nilai dan norma budaya bangsa. Karena bagaimanapun, FPI yang dianggap sebagai organisasi habaib oleh Habib Zen, harus dapat mewujudkan rahmatan lil alamin dan menjadi "telaga al-kautsar" yang menghilangkan dahaga masyarakat yang terganggu oleh kemunkaran dengan kelezatan rasa yang abadi di dalam hati.
Semoga saja Rabithah Alawiyah sebagai induk dari segala organisasi habaib (seperti Majelis Rasulullah, Nurul Mustafa, FPI, dan lain sebagainya) dapat memberikan pendampingan agar FPI dapat menjadi organisasi yang dapat melaksanakan nahyi munkar dalam wajah yang lebih simpatik lagi, sekalipun kita tahu tidak mungkin semua orang dibuat simpatik dengan nahyi munkar, seperti pelaku maksiat yang melanggar aturan pemerintah, syariat agama, atau nilai dan norma budaya bangsa. Karena bagaimanapun, FPI yang dianggap sebagai organisasi habaib oleh Habib Zen, harus dapat mewujudkan rahmatan lil alamin dan menjadi "telaga al-kautsar" yang menghilangkan dahaga masyarakat yang terganggu oleh kemunkaran dengan kelezatan rasa yang abadi di dalam hati.
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya