Ada ujaran yg ramai diperbincangkan, isinya demikian:
"Jadi 12 mahasiswi yg saya wawancarai, tdk satupun menutup kepala ala manusia gurun."
Pernyataan tsb merupakan kiriman Prof Budi Santoso Purwokartiko di media sosial. Hari ini, teman di lab riset saya berpendapat bahwa pernyataan tsb dapat dianalisis kandungan ujaran kebenciannya. Selepas bangun tidur malam ini, saya menyempatkan utk menganalisisnya dgn bersandar pada apa yg telah saya baca dlm proses memahami ujaran kebencian.
Ada anggapan netizen bahwa istilah "manusia gurun" dalam ujaran tsb merupakan label buruk yg menargetkan karakteristik yg dilindungi (ras), sehingga memenuhi syarat utk dianggap sebagai ujaran kebencian atau hate speech. Prof Dr Suteki, SH, M.Hum, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro dalam acara Catatan Demokrasi TVOne menduga kuat pernyataan tsb sebagai perasaan kebencian SARA. Istilah "manusia gurun" hampir mirip dgn "kadal gurun".
Suatu isim juz'iy atau kata khusus pada awalnya dapat bersifat netral, seperti misalnya "manusia perahu" dan juga "manusia gurun". Dlm istilah "manusia gurun" dan "kadal gurun", kata "gurun" nya mengindikasikan wilayah gurun seperti di Timur Tengah. Berbeda dgn "manusia gurun" yg digunakan sebagai al-haqiqah (sesuai makna sebenarnya), "kadal gurun" dlm ujaran tertentu digunakan sebagai al-majaz (tdk sesuai makna sebenarnya). Oleh krnnya tdk aneh bila suatu saat kita menemukan kamus istilah mengartikan "kadal gurun" tdk hanya terkait dgn hewan kadal, tetapi juga manusia, yakni orang yg dipengaruhi oleh gerakan ekstremisme Timur Tengah.
Suatu ketika, istilah atau isim, baik kulliy (umum) atau juz'iy (khusus) bisa dianggap offensive atau non-offensive saat muncul dlm ujaran yg menargetkan karakteristik yg dilindungi atau kelompok tertentu. Misalnya istilah "Ajam" yg berarti non-Arab. Kamus Hatebase memberi keterangan bahwa istilah tsb mungkin digunakan dlm ujaran rasis yg menargetkan kelompok kebangsaan Iran atau etnis Persia. Istilah "Ajam" populer di Argentina dan Venezuela dlm ujaran yg menargetkan kelompok tsb. Walau demikian, "Ajam" dianggap sebagai non-offensive.
Dalam Q&A Hatebase dijelaskan, bahwa suatu kosa kata dianggap sebagai ujaran kebencian apabila merujuk kelompok tertentu, dan bukan penghinaan umum; serta berpotensi digunakan dgn niat jahat. Apabila digunakan utk penghinaan umum saja tdk dianggap sebagai ujaran kebencian, apalagi ujarannya bukan penghinaan. Contoh ujaran yg menggunakan kata "Ajam" dan bukan penghinaan, tetapi niat baik menyamakan kedudukan terkait kebangsaan dan ras dapat ditemukan dlm khutbah Nabi SAW saat Haji Wada:
"Wahai sekalian manusia! Rabb kalian satu, dan ayah kalian satu (Adam). Ingatlah. Tdk ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan bagi orang Ajam atas orang Arab, tdk ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dgn ketakwaan ..." (Musnad Ahmad)
Kembali ke istilah "Manusia Gurun" atau "Kadal Gurun", apakah keduanya digunakan dlm ujaran yg berpotensi niat jahat dan menargetkan kelompok tertentu? Bila ya, maka dianggap sebagai ujaran kebencian. Tetapi terindikasi menargetkan kelompok tertentu saja blm tentu dilabeli offensive, seperti misalnya istilah "Ajam" dlm kamus Hatebase. Pertanyaannya, seberapa offensive nya istilah "Manusia Gurun" bila pernyataannya terbukti menargetkan kelompok tertentu?
Istilah "Kadal Gurun" atau "Manusia Gurun" dapat digunakan oleh siapapun dlm ujarannya yg netral atau positif, sebagaimana penggunaan istilah "Ajam" oleh Nabi SAW saat Haji Wada. Ujaran yg ramai diperbincangkan merupakan kesan Prof Budi terhadap mahasiswi yg diwawancarainya. Beliau mengidentifikasi mahasiswi lain yg menutup kepala ala manusia gurun.
Menurut saya pribadi, menyebut seseorang menutup kepala ala manusia gurun, ala manusia kutub, atau ala manusia manapun bukanlah ujaran kebencian yg menargetkan kebangsaan atau etnis, dan istilah yg digunakan bukan offensive. Makna "manusia gurun" itu sama seperti "manusia kutub" atau "manusia perahu", tdk bermuatan sentimen negatif.
Kata "ala" menurut KBBI bermakna "secara". Misal, dlm konteks model, "ala Barat" bermakna mengikuti model secara Barat. Bila tutup kepala adalah model, dan manusia gurun dimaknai orang Timur Tengah, kalimat, "menutup kepala ala manusia gurun" dapat difahami sebagai model secara orang Timur Tengah. Modelnya boleh jadi berbeda dgn manusia kutub atau orang Eskimo.
Penggunaan istilah "manusia XYZ" lajim dlm percakapan kita. Buktinya dalam KBBI ada contoh istilah "manusia perahu", yg bermakna orang-orang yg berbondong-bondong meninggalkan negerinya menuju negara lain dgn menggunakan perahu. Oleh karenanya kita akan menemukan satu dua pernyataan yg menggunakan istilah manusia gurun, manusia kutub, manusia neadherthal, atau manusia bodoh.
Tdk ada yg salah dgn pernyataan Prof Budi bila memang pengalaman beliau demikian adanya, di mana faktanya 12 mahasiswi yg diwawancarainya tdk satupun yg mengenakan tutup kepala secara orang Timur Tengah. Penggunaan istilah manusia gurun utk orang timur tengah sudah ditunjukan lajim dlm percakapan sehari-hari. Alasan beliau menggunakan istilah tsb ada kaitannya dgn agama Islam yg muncul dari Timur Tengah, karena beliau menyinggung soal kata2 langit yg bersumber dari teks Islam, seperti Insya Allah, Barakallah, Syiar, Qadarullah, dsb.
Pendapatnya ttg otak mahasiswi yg open minded tentu saja subjektif, dan setiap orang boleh setuju atau tdk di ruang pendebatan atau kebebasan berekspresi. Siapapun boleh berpendapat bahwa orang yg open minded itu mencari Tuhan ke negara2 maju dan bukan ke negara2 yg pandai bercerita tanpa karya teknologi; dan boleh juga tdk menyepakatinya. Hal tsb sebagaimana pendapat Prof. Dr. Henri Subiakto, S.H., M.Si, Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga yg disampaikannya dlm kesempatan acara Catatan Demokrasi di TVOne yg mengatakan bahwa Prof Budi boleh berpendapat demikian di alam demokrasi.
Dlm pernyataan klarifikasinya, Prof Budi menyatakan tdk bermaksud merendahkan atau mendiskriminasi muslimah berkerudung. Pernyataan ini menjelaskan tdk ada niat buruk, sehingga istilah "manusia gurun" yg digunakannya adalah istilah lajim dan tdk masuk kategori hate speech menurut Q&A Hatebase.
Kebetulan saja Prof Budi saat itu tdk bertemu dgn mahasiswi berkerudung ala manusia gurun yg memenuhi kriteria open minded nya, sebab semua mahasiswi yg diwawancarai tdk berkerudung semua. Oleh krnnya beliau mengatakan tdk ada kaitannya berkerudung dgn open minded, kebetulan saja mahasiswi yg open minded itu tdk berkerudung. Beliau menyatakan tdk membedakan antara mahasiswi yg berkerudung dgn selainnya.
Dalam klarifikasi tersebut, beliau menjelaskan bahwa tulisannya tsb merupakan harapan agar mahasiswi tdk terkena lingkungan yg mengutamakan kulit dari pada isi. Dlm tulisannya beliau bercerita bhw mahasiswi yg open minded itu mencari Tuhan tdk di negara yg "orang2nya pandai bercerita tanpa karya teknologi". Saya dapat menerima kalimat dlm tanda kutip tsb sebagai orang2 yg cuma kulit (pandai bercerita) tanpa isi (karya teknologi).
Di sisi lain saya juga membayangkan, sikap mengutamakan kulit tanpa isi juga seperti orang yg penampilannya agamis, tetapi sikap atau perbuatannya jauh dari agama, suka mempersulit hal yg mudah, mempermasalahkan sesuatu yg bisa dibuat tdk menjadi masalah; atau dgn kata lain tukang bikin masalah yg pada akhirnya merusak citra agama, dan menimbulkan antipati.
Sebenarnya menyikapi pengalaman Prof Budi itu sederhana, cukup dgn meyakini bahwa pengalaman manusia itu bisa berbeda dan persepsinya dipengaruhi oleh pengalaman tsb. Ikhtiarnya bagi muslimah adalah cukup dgn menjadi kandidat penerima beasiswa yg open minded, yakni menjadi insan yg tdk hanya kulit (agamis) tetapi juga berisi (bereputasi).
#PersepsiCahyana
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya