Gambar Ilustrasi
ANAK ASUHAN SUNGAI
Saya merasa sedih dgn adanya musibah yg menimpa siswa sekolah yg terseret arus sungai yg datang tiba2 saat menjelajahi sungai. Saya pun merasa bersyukur karena Allah memberikan perlindungan dari musibah tersebut semasa saya melakukan kegiatan yg sama di masa kecil dulu.
Semasa SMP dulu, saya mengikuti berbagai jenis kegiatan terkait rute perjalanan. Umumnya dalam rutenya terdapat pos ujian. Seperti dlm kegiatan perjalanan malam PERSAMI dari sekolah, makam, dan kembali ke sekolah berjalan berdua; atau kegiatan melewati pos ujian secara berkelompok pd saat JAMBORE Kwarcab di siang hari; atau kegiatan Hicking di luar agenda organisasi, di mana kakak dan adik Pramuka semuanya berbaur.
Berjalan adalah bagian dari kegiatan kami. Saat menonton film Tjoet Njak Dhien, kami berjalan dari SD Panglejar ke Bioskop, sekitar 1.7 km. Menjelang pembagian raport kami melakukan botram (makan bersama) di kolam renang Ciheuleut, sekitar 1.3 km. Dan saat upacara nasional, kami berjalan menuju alun-alun Tugu Benteng Pancasila, sekitar 1 km.
Saya masih mengingat kegiatan Hicking yg penah diikuti. Kami jalan bersama dari pangkalan SMPN 2 Subang menuju area Bumi Perkemahan Ranggawulung melalui jalanan perdesaan, sungai, dan jalan setapak di hutan. Ada satu sungai di daerah Pasirkareumbi yg kami lintasi.
Saat akan melintasinya, terlebih dahulu kakak Pramuka memeriksa dan menentukan jalan yg harus kami lalui. Selanjutnya kami menyebrangi sungai dgn berpegangan tangan. Saya agak grogi krn kakak Pramuka meminta saya untuk berpegangan tangan dgn adik anggota puteri. Kegiatan tsb dilaksanakan hanya setengah hari.
Hicking juga saya lakukan bersama teman-teman GMA (Generasi Muslim al-Muhajirin). Kami menyebutnya Rihlah yg dilaksanakan pd bulan Ramadhan. Sangat mudah menemukan praktik Kepramukaan di GMA mengingat founder dan anggota angkatan awal banyak dari kalangan Pramuka.
Rihlah dilaksanakan selepas salat Isya. Sama seperti di Pramuka, kakak dan adik angkatan semuanya bersatu dlm satu barisan. Ada sebagian yg membawa obor, jenis penerangan yg dibawa selain senter. Berbeda dgn Pramuka, barisan dikelompokan menjadi dua berdasarkan jenis kelaminnya.
Malam itu kami menempuh rute yg sama, melewati daerah Pasirkareumbi. Hanya saja kami tidak belok kanan menuju sungai, tetapi belok kiri menuju hutan. Di tengah kegelapan hutan itu kami mengikuti jalan beraspal sambil melantunkan dzikr bersama. Hingga tiba lah kami di desa dan bermalam di masjid dan madrasah yg ada di sana.
Pagi harinya di waktu Dhuha, kami pun berangkat dari desa tsb utk melanjutkan perjalanan. Saat itulah kami menemukan ada sungai besar yg harus dilewati. Sungai Cipunagara yg kami lewati ini memiliki pemandangan khas pertanian. Ada sejumlah kincir air yg terpasang utk membawa air ke tempat di atasnya di mana sawah berada. Dan kami pun sampai di daerah Nyimplung menjelang Dzuhur yg panas. Ujian berpuasa yg luar biasa.
Rupanya penjelajahan sungai itu terasa sangat mengasikan. Dalam kegiatan Pramuka dan GMA, melintasi sungai hanyalah bagian kecil dari rute saja. Saya pernah mengikuti aliran sungai dari titik awal di Pasirkareumbi hingga ke titik akhir di Nyimplung bersama teman bermain. Ada keasikan saat mengikuti aliran sungainya, seakan sedang menguak misteri ujung sungai.
Mungkin ketertarikan saya terhadap aliran sungai sangat dipengaruhi oleh masa bermain yg tdk jauh dari sungai. Rumah orang tua berada dekat dengan sungai. Hampir sering saya melihat sungai itu berarus deras dan kering. Sesekali saya turun utk menemukan benda menarik yg terbawa arus sungai. Permainan yg menyenangkan di sungai pd masa TK - SD itu adalah melayarkan perahu kecil di pintu air. Saya pegangi tali yg terikat ke perahu tersebut, dan mata ini takjub melihat perahu bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti arus deras sungai di pintu air tsb.
Kami boleh lah disebut anak2 air. Lingkungan bermain kami dekat air. Saya tdk pernah sengaja berenang di sungai tsb, tapi pernah mengalami tercebur dua kali. Pertama, saat memainkan mainan roda di atas jembatan, tercebur krn gagal menjaga keseimbangan. Kedua, saat berusaha menangkap bola dlm permainan boy2an, tercebur krn gagal melihat pijakan yg sdh berakhir di ujung sungai. Atraksi yg dianggap hebat oleh remaja di desa saya adalah meloncati sungai. Sewaktu kecil dulu sungainya nampak sangat lebar, sekarang tdk perlu menjadi hebat utk meloncatinya.
Saya merasa penasaran, ke mana sungai tempat saya pernah tecebur itu mengalirnya? Saya pun mengikuti aliran sungainya sendirian, melewati jalan raya, mengikuti jalan pinggir sawah, dan tentu saja yg terlihat aliran ini tdk bertepi. Dari sana saya mencukupkan diri seraya membuat dugaan kalau sungai itu mengarah ke kebun Karet Wanareja tempat di mana bapak saya bekerja.
Kami sepertinya memang anak asuh sungai. Saat SD dulu, saya suka bermain di sungai pinggir kantor kelurahan Soklat, dekat Masjid al-Muhajirin tempat saya berkegiatan bersama GMA beberapa tahun kemudian. Teman bermainnya adalah Iwan, yg rumahnya tdk jauh dari kantor kelurahan. Di sungai itu kami menemukan tanaman air tumbuh lebat. Kami menjadikannya sebagai rumah. Utk saat itu, permainan tsb nampak menyenangkan.
Semua sungai yg saya ceritakan bukanlah sungai jernih sebagaimana sungai di dusun dekat hutan. Maklum saja, rumah orang tua saya, tempat di mana saya bermain adalah daerah perkotaan. Saat itu sungainya hanya berbau lumpur sawah berwarna coklat, seperti warna tanah setelah tergenangi air hujan. Walau demikian, ibu selalu menyuruh saya lekas mandi bila tercebur ke sungai tsb.
Saat SMA, saya juga beberapa kali menjelajahi sungai di daerah Sompi yg berbatasan dgn bumi perkemahan Ranggawulung. Saya dibawa teman-teman PMR menuju air terjun kecil yg katanya indah. Rute nya melewati pesawahan, lalu menapaki jalan yg di kanannya mengalir air dari mata air yg terlihat bening. Kemudian kami menjelajahi sungah, meloncati bebatuan, menemui banyak serangka yg terbang di atas air ataupun berenang. Hingga tibalah kami di air terjun tersebut. Suara gemercik airnya menyegarkan fikiran, membebaskan diri dari penat rutinitas belajar mingguan.
Sepertinya pengalaman menjejaki sungai itu sangat berkesan, sehingga saya memimpikan penjelajahan yg lebih menakjubkan lagi. Dlm mimpi itu saya menemukan gua yg tersembunyi di balik sungai. Gua itu mengarah ke Ranggawulung. Mimpi itu terasa sangat nyata, bahkan hingga saat ini. Hampir saja saya meyakini mimpi itu sebagai sesuatu yg benar adanya.
Saya bersyukur karena saat itu tdk mengalami musibah sebagaimana dialami oleh para siswa tsb. Tdk bisa membayangkan betapa ngerinya bila musibah semacam itu menimpa saya dan teman-teman. Semoga dlm setiap hobi yg kita jalani, kita senantiasa dilindungi Nya, bersama orang2 yg mengawasi resiko, dan tdk lupa selalu mengingat Nya di awal dan akhir perjalanan.
http://rindacahyana.sttgarut.ac.id/2020/02/anak-asuhan-sungai.html
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya