Oxford mendefinisikan post truth sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal. Seseorang dapat menyangkal fakta hanya karena tdk sejalan dgn emosi dan keyakinannya, dan terkadang berusaha menjaga superioritasnya dlm perdebatan dgn bahasa kasar dan julukan, semisal argumentum ad hominem yg menyerang pribadi (fisik) lawan bicaranya.
Saya jadi teringat bagaimana sikap masyarakat jahiliyah dulu terhadap Muhammad, seorang utusan Tuhan. Masyarakatnya menyangkal penjelasan yg masuk akal bukan karena tdk memahaminya, tetapi karena berlawanan dgn emosi dan keyakinan. Mereka membangun opini publik dgn menyematkan julukan kpd utusan tersebut, seperti orang gila, sekalipun selama ini mereka tahu kualitas baik sang utusan dari sisi keturunan ataupun perilaku hidup. Bahasa kasar mereka terekam dalam kitab suci:
Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al Quran kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila". (QS al-Hijr: 6)
Indikasi mereka mengalami post truth terekam dalam ayat lainnya:
Atau (apakah patut) mereka berkata: "Padanya (Muhammad) ada penyakit gila". Sebenarnya dia telah membawa kebenaran kepada mereka, dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu. (QS al-Mu'minun: 70)
Kata "benci" berkaitan dgn emosi yg karenanya mereka menolak kebenaran. Di antara kebenaran yg pernah diungkap oleh utusan Tuhan adalah fakta adanya kesalahan dlm sistem keyakinan mereka.
Mari kita lihat, bagaimana bapak agama Samawi menunjukan fakta tsb dalam cuplikan dialog dgn masyarakatnya yg terekam dlm surat al-Anbiya. Suatu ketika Ibrahim menghancurkan berhala hingga berkeping-keping, kecuali yang terbesar, agar ada yg bertanya kepadanya.
Sebagian bertanya, "Siapakah yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami? Sungguh, dia termasuk orang yang zalim."
Sebagian lainnya menjawab, "Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala ini), namanya Ibrahim".
Lalu dikatakan saat itu, "(Kalau demikian) bawalah dia dengan diperlihatkan kepada orang banyak agar mereka menyaksikan."
Kaum Nabi Ibrahim bertanya, "Apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami wahai Ibrahim?"
Nabi Ibrahim menjawab, "Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepadanya, jika ia dapat berbicara."
Kaum Nabi Ibrahim berkata, "Sesungguhnya kamulah yang menzalimi (diri sendiri). Engkau (Ibrahim) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara."
Nabi Ibrahim pun menjawab, "Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kamu? Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?"
Sebagaimana umumnya kalangan yg mengidap post truth, fakta yg masuk akal tsb dibungkam dgn tindakan menyakiti. Seseorang dapat menyakiti secara psikis dgn bahasa kasar sebagaimana yg dialami oleh Nabi Muhammad SAW, atau secara fisik seperti yg dialami oleh Nabi Ibrahim AS. Kaum Nabi Ibrahim yang marah berkata, "Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat."
Apabila saat ini kita menemukan ada netizen atau kalangan tertentu yg menolak fakta kesalahan mereka atau fakta kebenaran dgn cara melakukan serangan seperti itu, ternyata itu sudah menjadi karakter manusia jahiliyah dari masa lalu. Mereka menjadi demikian krn fanatisme yg terbangun oleh loyalitas atau kesukaan emosional, bukan krn akal yg sehat.
Sebagaimana kondisi kaum Nabi Ibrahim yg fanatik thd keyakinannya krn ikut-ikutan. Mereka berkata, "Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya." Kalau sekarang, sikap ikut-ikutan netizen yg membuat mereka menolak fakta terjadi krn pengaruh teman dekat dalam jejaringnya yg mempercayai sesuatu dgn penuh emosi.
#PersepsiCahyana
#LiterasiDigital
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya