Sifat utama guru adalah mendidik dengan kelembutan, seperti gambaran karakter profesor oleh Socrates. Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah engkau bersikap lembut. Karena tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali pasti memperindahnya. Dan tidaklah kelembutan itu tercabut dari sesuatu, kecuali pasti memperjeleknya.” (HR. Muslim no. 2594) Maksudnya, hendaklah engkau bersikap lembut dengan berlemah lembut kepada siapa pun yang ada di sekitarmu, sederhana dalam segala sesuatu dan menghukum dengan bentuk yang paling ringan dan paling baik. (Faidhul Qadir, 4/334) Namun apabila anak tidak bisa lurus dengan cara lembut seperti itu dan anak sudah mencapai usia baligh, maka tidak apa-apa jika dilakukan pengajaran fisik yang tidak menimbulkan cacad permanen dan menghilangkan nyawa untuk mendidik. Hal ini sejalan dengan ajaran Rasulullah SAW, “Perintahkanlah anak untuk shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun. Dan bila telah berusia sepuluh tahun, pukullah dia bila enggan menunaikannya.” (HR. Abu Dawud no. 494, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih). Yang penting memukulnya itu tidak menyalahi aturan agama, seperti tidak memukul bagian wajah. “Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.” (HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612).
Di dalam Cheddadi (2000) disebutkan bahwa Ibnu Khaldun menolak kekerasan fisik terhadap anak didik karena dapat menghambat perkembangan kepribadian serta menimbulkan kemalasan, sikap berbohong, dan kelicikan. Namun beliau masih mentolerir memukul anak jika terpaksa dan tidak lebih dari tiga kali. Artinya menghukum itu pilihan terakhir dan dilakukan tidak secara berlebihan. Kelembutan itulah yang harus lebih banyak dari kekerasan "yang terpaksa". Allah berfirman, “Maka dengan sebab rahmat dari Allah, engkau bersikap lemah lembut kepada mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan keras hati niscaya mereka akan menjauh darimu…” (Al Imran :159)
Dalam negara yang berdasar kepada Ketuhanan YME, maka UU perlindungan anak itu seharusnya memperhatikan pengajaran agama atau mendasarkan aturannya kepada sumber hukum agama. Jangan sampai UU yang dibuat manusia itu menghilangkan hikmah yang terkandung dalam ajaran agama, yang sebenarnya disetujui dalam konsep pendidikan modern sekalipun. Dengan ditutupnya pintu bagi guru untuk terpaksa "memukul" anak yang sudah baligh, hal ini menyebabkan tertutupnya pintu kebaikan bagi anak, sama dengan membiarkan anak tersebut dalam keadaan tidak lurus. Seorang guru pastinya berkarakter tidak bisa meluruskan sebagian anak dan membiarkan sebagian yang lainnya. Tetapi kenapa implementasi UU perlindungan anak terkesan menolak karakter guru tersebut?
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya