Subang, 26 Agustus 2018. Hari ini saya memenuhi undangan panitia Temu Kangen GMA (Generasi Muslim al-Muhajirin) di kolam renang Ciheuleut Subang. Ada tugas yang harus ditunaikan dalam acara tersebut, yakni menyampaikan pengalaman selama aktif di Generasi Muslim al-Muhajirin. Karena itulah saya menyempatkan diri untuk ke Subang sebelum siangnya berangkat ke Semarang untuk menghadiri Musyawarah Nasional Forum Dosen Indonesia.
Ternyata hari itu juga merupakan Milad GMA yang ke-25. Panitia sudah menyiapkan kue, lengkap dengan angka 25. Potongan pertama dilakukan oleh kang Heri yang dianggap yang paling dituakan oleh semua anggota GMA yang hadir. Potongan pertama tersebut diberikannya kepada ketua umum GMA pertama yang juga merupakan founder, mas Yudho Hertono Rifangi.
Di dalam acara tersebut, saya menceritakan kronologis bergabung dengan GMA, pengalaman, serta pengaruh GMA bagi diri sendiri dan masyarakat. Diceritakan pada sore hari di tahun 1993 itu saya pulang dari kegiatan Pramuka dengan fikiran kalut oleh sebab konflik kubu-kubuan dalam kepengurusan penggalang yang saya pimpin. Tepat depan jembatan masjid al-Muhajirin, mas Yudho yang tengah duduk di jembatan tersebut memanggil saya untuk berbincang. Saya lupa isi lengkap pembicaraannya, hanya yang saya ingat, itulah kali pertama saya diberikan jalan untuk mengenal Islam sebagai solusi untuk keluar dari kekalutan tersebut.
Melalui mas Yudho saya dikenalkan sebuah buku berjudul Minhajul Abidien karya Imam al-Ghazali r.m. Buku tersebut sangat berpengaruh dalam perjalanan spiritual awal saya pada masa studi saya di SMA Negeri 1 Subang. Buku tersebut merupakan buku pembuka, sebelum buku-buku karangan guru-guru tarikat Syadziliyyah berdatangan saat saya kuliah di Garut. Saya menyebut fase tersebut sebagai fase langit, karena kekhasannya dalam "ketidakhadirannya" di "dunia".
Yang membuat saya begitu terikat dengan pemikiran tarikat ini adalah buku kedua yang ditunjukan oleh mas Yudho, yakni al-Hikam karya Ibnu Athoillah r.m. Buku itu sangat menakjubkan, sehingga walau dikhatamkan berulang-ulang selalu ingin mebacanya lagi. Karya spiritual ini ajaib karena mampu "menggerakan ruh". Dan karena penyaksian inilah saya semakin terikat dengan pemikiran tarikat ini. Oleh karena itulah anak lelaki saya yang kedua diberi nama Syazwan Asy-Syadziliyyah sebagai monumen kecintaan saya kepada para guru tarikat ini, khususnya Ibnu Athaillah r.m.
Selama menjadi anggota GMA saya lebih banyak menghabiskan waktu di masjid al-Muhajirin dan di rumah mas Yudho dari pada di rumah. Bahkan sering kali saya baru pulang malam hari ke rumah atau menginap di rumah mas Yudho. Di rumah itu saya sering mendengar pemikiran Cak Nun dari tape dan menyanyikan lagu Kyai Kanjengnya yang berjudul Tombo Ati. Dakwah Islam dengan pendekatan socio-kulturan memang menjadi penciri GMA.
GMA tumbuh di tengah masyarakat yang saat itu sangat partisipatif. Kalangan mudanya aktif di organisasi kepemudaan (karang taruna), dan kalangan tua nya aktif di DKM. GMA menjadi jembatan antara kalangan muda dan tua. Sebagian tokoh kalangan tuanya ada yang tidak sejalan dengan pendekatan socio-cultural, sehingga saat GMA membawa keseniaan berupa nasyid gamelan atau teater ke dalam lingkungan masjid, hal tersebut menimbulkan persoalan. Tetapi GMA berhasil menjaga silaturahmi, walau disebut sebagai anak muda yang "mempermainkan agama".
Pengalaman memanfaatkan media itulah yang juga mempengaruhi saya saat menjadi santri di Ponpes Mahasiswa Sekolah Tinggi Teknologi Garut al-Musaddadiyah. Saya ingat kala itu organisasi santri yang saya pimpin mengundang santri siswa untuk menyimak video keislaman yang diputar melalui TV milik KH Asep Saepudin Musaddad - ketua Ponpes di pelataran masjid kecil al-Musaddadiyah. Beberapa waktu kemudian, KH Abdullah Margani Musaddad - ketua Ponpes Siswa al-Musaddadiyah membeli proyektor dan layarnya untuk kegiatan nobar santri mingguan di aula mini Ponpes. Penggunaan media (proyektor) / multimedia dalam dakwah ini sebenarnya merupakan penciri Prof KH Anwar Musaddad.
Beberapa tahun yang silam saya mendorong mahasiswa pegiat TIK di kampus untuk melebarkan manfaatnya ke luar kampus. Saya ingin agar manfaat relawan dalam bidang TIK bagi institusi juga dirasakan institusi lainnya melalui relawan pelajar. Kumpulan relawan mahasiswa dan pelajar tersebut disebut Kelompok Penggerak TIK dan Kelompok Pengembang Platform TIK yang kemudian dilebur dalam satu wadah bernama Komunitas TIK dan bersatu di bawah Komunitas TIK Garut. Atas peranannya di tengah masyarakat, Komunitas TIK Garut mendapatkan penghargaan sebagai Komunitas TIK terbaik se Jawa Barat dari Gubernur Jawa Barat dan Bupati Garut. Upaya membangun jejaring pegiat TIK dari kalangan pelajar tersebut terinsfirasi dari Ikatan Pelajar Muslim Subang yang merupakan underbow nya bidang Pendidikan dan Dakwah GMA.
Walau demikian, ada masa di mana saya keluar dari kebiasaan praktik socio-culture GMA saat mulai membaca karya pemikiran Ibnu Taimiah, Ibnul Qayyim Jauziyah, Ibnul Jauzi, dan lain sebagainya. Di antara praktik yang saat itu mulai saya tidak sepakati adalah tentang bersatunya ikhwan dan akhwat dalam pengajian cahaya. Saya adalah satu-satunya anggota dan pengurus GMA yang hadir dalam pengajian tersebut di belakang hijab dengan niat menghijabi diri dari akhwat. Era tersebut saya sebut sebagai era bumi.
Namun syukurlah ikatan hati dengan Ibnu Athaillah ini yang membuat saya kembali bisa bersikap lunak terhadap tradisi dan memahami bahwa Islam dapat tumbuh di dalam local socio-culture. Walau demikian, perjalanan saya mengembara di alam pemikiran langit dan bumi memberi bekal dalam berinteraksi dengan kedua kelompok yang dianggap saling besebrangan ini. Saya mempelajari sikap moderat di tengah perbedaan dua kelompok ini dari Ibnul Qayyim Jauziyah melalui karyanya Madarijus-Salikin dan dari KH Choer Affandy saat mengaji buku Akidah Islamiyahnya di Ponpes al-Musaddadiyah, walau dalam praktiknya di media sosial banyak dimusuhi oleh kedua kelompok tersebut karena disalahfahami sebagai keberpihakan kepada salah satu kelompok.
Alhamdulillah, hari itu saya merasa senang menyampaikan ucapan terima kasih kepada mas Yudho dan anggota lainnya yang ikut membentuk Keislaman saya selama di GMA. Saya menyampaikan bahwa sedekah jariyah yang berbuah amal kebajikan penerimanya menjadi pahala atau investasi akhirat yang tidak terputus, yang harus disyukuri. Selepas salat Dzuhur dan makan siang, saya mohon pamit kepada semua anggota GMA yang hadir karena harus berangkat ke Bandung untuk mengejar waktu boarding di Bandara Husein. Dalam perjalanan menuju Bandung, saya mengingat tanggapan mas Yudho atas pemaparan pengalaman saya tersebut, bahwa manfaat GMA bagi kehidupan akan dicapai oleh mereka (anggota GMA) yang ikhlas berbuat semata mengharap ridha Allah. Mardhatillah ini merupakan ajaran utama beliau di GMA yang sangat diingat oleh banyak anggota dan pengurus GMA hingga kini. Semoga Allah membimbing kita untuk senantiasa Mardhatillah. Amin.
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya