Orang tua biologis/kandung atau ideologis/guru, menasihati atau mengarahkan anaknya dgn beragam cara, mulai dari cara yg lembut hingga keras, dgn perkataan atau tindakan fisik. Cara itu diingat oleh anak dan diikuti krn orang tua adalah figur. Oleh krn nya dikatakan, anak adalah cerminan orang tuanya.
Saat ada seseorang yg berbuat salah atau dlm posisi bahaya, ia akan menasihati atau mengarahkan dgn cara orang tuanya. Utk kesalahan yg tdk seberapa, mungkin ia akan menggunakan cara yg lembut sebagaimana contoh orang tuanya. Utk kesalahan yg berbahaya, mungkin ia akan menggunakan cara yg lebih keras sebagaimana contoh orang tuanya.
Boleh jadi bagi mereka yg orang tuanya berbeda, cara tsb dipandang berlebihan atau bahkan dipandang terlalu lembek. Tetapi dlm lingkungan keluarga yg menganut cara tsb, tdk ada yg terbukti ampuh bagi anggota keluarga melainkan cara tersebut.
Bagi anak yg merupakan anggota keluarga, menganggap cara tsb bukan ekspresi cinta, sama dgn menuduh orang tua melakukan cara itu bukan atas dasar cinta. Padahal tdk ada orang tua yg mencubit, memarahi, atau bahkan memukul krn kesalahan anaknya, melainkan dasarnya adalah cinta. Hadirnya emosi yg membuat caranya menjadi keras adalah manusiawi, selama terkendali. Seseorang akan membiarkan orang lain berbuat salah, tdk menasihatinya, bila sudah tdk punya cinta atau perhatian.
Bagi anak yg bukan merupakan anggota keluarga, menyalahkan cara tsb sama dgn membanding-bandingkan orang tua atau keluarga. Pembandingan yg tdk perlu krn setiap orang tua atau keluarga punya kekurangan dan kelebihan. Pembandingan yg tdk perlu krn kondisi keluarga pasti berbeda, sehingga tdk bisa menggunakan cara yg sama. Mungkin di satu keluarga cukup dgn nasihat lembut, tetapi tdk di keluarga lain yg terbiasa dgn nasihat keras.
Titik temu di antara cara yg beragam adalah cinta. Apapun cara yg dipilih oleh seorang anggota keluarga utk anggota keluarga lainnya, dasarnya adalah cinta yg diajarkan oleh orang tua. Orang tua mendapatkan pengajaran cinta itu dari orang tuanya, demikian seterusnya sampai leluhurnya. Anak-anaknya mengajarkan cara berdasar cinta itu kpd anak-anaknya lagi, demikian seterusnya sampai keturunannya ke bawah.
Perubahan cara sangat mungkin terjadi saat dua keluarga disatukan oleh pernikahan, di mana suami dan istri saling berbagi cara dan menyempurnakan. Perubahan juga sangat mungkin terjadi bila ada revisi dari orang tua lainnya (guru). Tetapi bukan berarti cara lama yg ditinggalkan layak dijelekkan secara mutlak. Bagaimana pun, cara lama itu telah digunakan utk kebaikan.
Melihat cara yg dipraktekan orang tua sebagai cinta adalah tantangan tersendiri bagi anak. Terkadang rasa sakit karena tercegah dari keinginan menjadi hijaban utk melihat cinta tsb. Terlebih melihat cinta dlm cara orang tua yg dipraktekan oleh orang lain. Tantangannya menjadi lebih besar krn bukan orang tua yg melakukannya, sekalipun orang tsb sedang mempraktikan amal cinta orang tuanya.
Beruntung bagi anak yg berhasil melihat cinta. Cara orang tuanya yg atas dasar cinta, saat dipraktekan oleh saudaranya atau orang lain, ia tetap memahaminya sebagai cinta krn kesamaan cara. Ia bisa membedakan cara penjahat yg tdk atas dasar cinta dgn orang tua atau saudara yg atas dasar cinta.
Beruntung bila rasa cinta itu terjaga dan keyakinan atas cinta sebagai dasar tindakan tdk sirna. Karena dgn rasa dan keyakinan itu, rasa bahagia akan muncul saat cara itu menghampirinya. Ia akan sangat berterima kasih bila masih diperhatikan dgn cara yg diwariskan dari orang tua atau leluhur yg dicintainya.
#persepsicahyana
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya