Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Permendikbud 49/2014 Pasal 1:14)

Selasa, 24 Februari 2009

Sejarah Perkembangan Aktivitas Keislaman Mahasiswa Sekolah Tinggi Teknologi Garut 1997 - 2004

Posisi Strategis Masjid Kampus

Masjid kampus al-Musaddadiyah merupakan salah satu sentra dakwah di komplek pesantren al-Musaddadiyah. Posisinya yang tepat berada di antara berbagai institusi pendidikan dan dakwah, menyebabkan masjid tersebut sering digunakan oleh berbagai kalangan untuk kegiatan-kegiatan Islam. Tidak hanya santri, pelajar, mahasiswa, atau peserta pengajian umum al-Musaddadiyah yang menggunakan masjid tersebut, tetapi juga beberapa ormas dan orpol Islam menjadikannya sebagai sentra aktivitas Islam. Tercatat ormas seperti Front Pembela Islam dan Dewan Imamah Umat Islam Garut, juga orpol seperti Partai Keadilan, Partai Persatuan Pembanguna dan Partai Kebangkitan Bangsa, pernah dan bahkan memiliki kegiatan rutin di masjid tersebut.

Pondok Pesantren Mahasiswa dan Mahasiswi STAIM

Bangunan tertua di kompleks pesantren al-Musaddadiyah tersebut adalah Masjidil-Ula al-Musaddadiyah. Didirikan oleh alm. Prof. K.H. Anwar Musaddadd r.m. Bersama-sama dengan putera beliau, K.H. Cecep Abdul Halim, Lc (kini menjadi ketua MUI Garut), beliau membangun pondok pesantren mahasiswa yang berada tepat di belakangnya. Khusus untuk mahasiswi, dibangun pesantren di Ciledug. Pesantren mahasiswi tersebut dipimpin oleh K.H. Toto Tantowi Musaddad bersama Istri beliau.

Setelah masjid dan pondok pesantren mahasiswa berdiri, masjid tersebut menjadi masjid jami di lingkungan Jayaraga, serta menjadi salah satu pusat pendidikan dan dakwah di Garut. Secara rutin masyarakat umum menghadiri kajian pengetahuan keislaman yang diberikan oleh alm. Prof. K.H. Anwar Musaddadd r.m. di masjid tersebut. Sementara itu, santri Sekolah Tinggi Agama Islam al-Musaddadiyah (STAIM) yang tinggal dibelakangnya, juga melakukan aktivitas di masjid tersebut, mulai dari kegiatan pengajaran hingga keorganisasian.

Beberapa tahun kemudian, pondok pesantren mahasiswa pindah ke Muara Sanding. Pondok persantren tersebut masih dipimpin oleh K.H. Cecep Abdul Halim Musaddad. Beliau memberi nama pondok pesantren dengan nama ‘al-Bayyinah’. Dengan dipindahkannya pesantren maka pusat aktivitas Islam santri mahasiswa beralih dari Masjidil-Ula ke tempatnya yang baru.

Anak Bimbingan al-Musaddadiyah (ABIM)

Setelah santri mahasiswa pindah ke Muara Sanding, bukan berarti masjid menjadi sepi dari kegiatan mahasiswa. ABIM adalah salah satu bentuk pelembagaan kegiatan mahasiswa STAIM di masjid tersebut. Jajaran pengurus generasi awal ABIM yang terdiri dari mahasiswa/i dan santri/iah mahasiswa/i STAIM, merupakan bukti bahwa sekalipun santri mahasiswa pindah ke Muara Sanding dan santriah mahasiswi tinggal di Ciledug yang lokasinya jauh dari Masjidil-Ula, mereka tetap menjadikan Masjidil-Ula sebagai sentra kegiatan mereka. Kebetulan Masjidil-Ula merupakan masjid kampus mereka dan mereka memiliki cukup banyak waktu untuk menyelenggarakan pengajian anak-anak serta kegiatan lainnya di Masjidil-Ula. Beberapa tahun kemudian, Yayasan al-Musaddadiyah menjadikan ABIM sebagai bagian dari institusi pendidikan dan dakwahnya.

Kemudian peran mahasiswa/i dan santri/iah mahasiswa/i STAIM di ABIM jadi berkurang. Bahkan terkesan bahwa ABIM bukan lagi merupakan bagian dari kegiatan mereka. ABIM dikelola oleh sebagian dari mereka yang sudah lulus dan menjadi pengurus atau tenaga pengajar di lingkungan pondok pesantren dan institusi pendidikan formal al-Musaddadiyah. Di tahun 2004 ini kita bisa melihat, bahwa ABIM telah menjadi lembaga independent yang terpisah dari aktivitas mahasiswa/i dan santri/iah mahasiswa/i STAIM.

Pondok Pesantren Mahasiswa Sekolah Tinggi Teknologi Garut

Beberapa tahun sebelum pondok pesantren mahasiswa STAIM dipindahkan ke Muara Sanding, Sekolah Tinggi Teknologi Garut (STT-Garut) sudah berdiri. Beberapa mahasiswanya (khususnya dari rantauan), tinggal di pondok pesantren mahasiswa STAIM.

Setelah pondok pesantren dipindahkan, beberapa santri mahasiswa dari STT-Garut masih tinggal di lokasi pesantren lama. Kemudian, lembaga STT-Garut resmi menyelenggarakan Pondok Pesantren Mahasiswa STT-Garut bagi mahasiswanya dan menjadikannya sebagai bagian dari program pendidikannya. Pondok pesantren mahasiswa lama dijadikan pondok pesantren mahasiswa STT-Garut. Santriah mahasiswinya ditempatkan di pondok pesantren siswi al-Musaddadiyah yang dipimpin oleh K.H Abdullah Margani Musaddad, Ir.

Pondok pesantren Mahasiswa/i STT-Garut dipimpin oleh alm. Dr. Maman Abdurrahman Musaddad, ketua Sekolah Tinggi Teknologi Garut pada waktu itu. Kegiatan santri mahasiswa di pondok pesantren tidak jauh beda dengan santri mahasiswa sebelumnya, yakni mengkaji pengetahuan Islam klasik setiap ba’da Maghrib dan ba’da Subuh.

Metode salaf yang diterapkan di pesantren mahasiswa STT-Garut adalah merupakan kelanjutan dari tradisi pesantren mahasiswa sebelumnya. Kekhususan mahasiswa teknik dari sisi karakter, latar belakang pendidikan, kebutuhan pengetahuan, dan tuntutan propesinya di masa depan, kemudian menjadi sebab terjadinya upaya penyesuaian metode, kurikulum dan bentuk kegiatan di pondok pesantren ini.

Menjelang tahun 1998, alm. Dr. Maman Abdurrahman Musaddad mengajukan usulan untuk mengadakan aktivitas keteknikan dalam aktivitas pondok pesantren. Beliau telah mempersiapkan format sistem yang dipandang mendukung keterbutuhan menyeluruh santri mahasiswa STT-Garut. Sebagai langkah persiapan, beliau membangun perpustakaan yang rencananya akan diisi oleh referensi-referensi keagamaan dan keteknikan. Seandainya usia beliau panjang, mungkin pondok pesantren ini akan seperti pondok pesantren pertanian di Bogor. Namun Alloh berkehendak lain, beliau dipanggil-Nya pada tahun 1998. Selanjutnya kedudukan beliau digantikan oleh Ust. Drs. Asep Saepuddin Musaddad.

Pergeseran Menuju Pergerakan

Di masa kepemimpinan Ust. Drs. Asep Saepuddin Musaddad, santri mahasiswa STT-Garut dikenalkan kepada bentuk aktivitas baru, yakni pergerakan. Puncak persentuhan santri mahasiswa dengan aktivitas pergerakan dirasakan oleh angkatan terakhir. Keterlibatan mereka dalam Musayawarah Daerah Front Pembela Islam I Jawa Barat telah membukakan ide-ide pergerakan dalam benak. Mereka kini mulai memiliki banyak referensi tentang pergerakan. Diskusi dan tulisan yang awalnya lebih didominasi oleh materi kejiwaan, kini mulai bergeser ke arah pergerakan. Lembar propaganda “Independent” merupakan salah satu contoh bentuk aktivitas pergerakan mereka yang bersifat politis.

Hingga penghujung tahun 1999, aktivitas dakwah mereka baru sebatas pemikiran-pemikiran tertulis yang dipublikasikan melalui jaringan persaudaraan yang mereka miliki. Tahun 2000, barulah mereka mulai mengadakan kajian terbuka. Mereka adalah yang pertama kali mengadakan kajian Audio-Visual di lingkungan pesantren al-Musaddadiyah. Bisa ditebak, kajian Auido-Visualnya tidak jauh dari ide-ide pergerakan. Mereka mengangkat isu Palestina dan perjuangan Islam lainnya dalam kajian-kajiannya.

Di akhir tahun 2000, mereka memunculkan ide Komunitas Ilmiah al-Musaddadiyah, yang merupakan forum komunikasi dan komite bersama kegiatan Islam antar mahasiswa dan pelajar di lingkungan al-Musaddadiyah. Beberapa bulan setelah ide itu lahir, bahkan ada upaya untuk menjadikan ide lebih besar lagi, yakni membangun komunitas aktivis Islam. Secara informal mereka mulai melakukan dialog dan pendekatan dengan aktivis organisasi mahasiswa seperti HMI dan KAMMI. Kesibukan mereka dalam membangun usaha-usaha mempertahankan eksistensi pondok pesantren mahasiswa telah menyedot perhatian, sehingga ide besar tersebut terabaikan.

Masa Kemunduran

Tidak semua mahasiswa teknik yang menjadi santri di sana, memiliki latar belakang pengetahuan agama yang baik dan semangat keislaman yang kuat. Inilah kiranya yang menjadi sebab pada tahun-tahun kedua, beberapa ustadz mengundurkan diri. Metode salaf yang dirasa memberatkan santri mahasiswa, telah menyebabkan sistem terbentuk tidak seperti yang diharapkan oleh beberapa ustadz. Sementara itu, tidak ada orang di sana selain alm. Dr. Maman Abdurrahman Musaddad yang dapat berbicara dan merealisasikan sistem yang tepat bagi santri mahasiswa teknik.

Sekalipun telah dilakukan upaya penyesuaian kurikulum dan kegiatan, namun perubahan itu tidak menyentuh aspek pembentukan kepribadian santri mahasiswa. Oleh karenannya, keadaan sistem tidak berubah, malah menjadi mundur. Terlebih setelah fungsi pengasuhan tidak berjalan, mahasiswa yang memang pada awalnya tidak memiliki ketertarikan pada sistem, lebih leluasa menjadikan sistem jauh keadaannya dari yang diharapkan.

Ketidaktertarikan sebagian besar ustadz dalam mengurusi pondok pesantren mahasiswa STT-Garut, ikut menjadi faktor kemunduran sistem. Walau demikian, sebagian kecil santri yang memang pada awalnya membutuhkan keberadaan sistem, tetap berusaha menjaga eksistensi kegiatan pondok pesantren. Seandainya ustadz yang kebanyakan berlatar belakang pendidikan pesantren salaf memiliki pengetahuan tentang keteknikan, dan sebagian kecil santri mahasiswa tersebut memiliki pengetahuan dan semangat keislaman yang cukup, tentu sistem bisa dipertahankan untuk tidak jatuh dan tidak pasif.

Ide alm. Dr. Maman Abdurrahman Musaddad masih diikuti oleh sebagian santri mahasiswa STT-Garut yang berusaha mempertahankan kegiatan pondok pesantren. Keadaan sistem yang tidak menguntungkan mereka telah membuat mereka tertuntut untuk membuat rumusan tentang Pesantren Teknik al-Musaddadiyah.

Rumusan tersebut merupakan implementasi dari ide, pemikiran, dan rencana alm. Dr. Maman Abdurrahman Musaddad. Diharapkan rumusan tersebut dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapi oleh pondok pesantren mahasiswa STT-Garut. Namun sebelum sempat rumusan itu diajukan dan dibicarakan, penyelenggaraan pondok pesantren mahasiswa STT-Garut dihentikan. Sekalipun mereka sempat mengajukan keberatan dengan keputusan penghentian tersebut, tetapi pada akhirnya mereka tidak dapat mencegah penghentiannya. Tidak banyak kekuatan yang mereka miliki.

STT-Garut telah melepaskan pondok pesantren mahasiswa dari programnya pada saat sistem menjadi mundur. Setelah pondok pesantren dihentikan, keberadaannya berubah menjadi asrama bagi mahasiswa STT-Garut. Hingga saat ini, beberapa mahasiswa STT-Garut masih tinggal di sana. Beberapa tahun ke depan, asrama itupun akan ditiadakan. Tidak banyak aktivitas keislaman mahasiswa STT-Garut yang bisa dilihat setelah pondok pesantren mahasiswa STT-Garut ditiadakan. Sebagian santri yang masih tinggal di sana memiliki aktivitas pribadi. Selanjutnya, gerakan dakwah mereka beralih ke kampus.

Realisasi Ide Pesantren Teknik

Beberapa santri mahasiswa STT-Garut yang memiliki ide Pesantren Teknik masih tinggal di sana. Mereka masih tetap melakukan aktivitas keislaman. Ide Pesantren Teknik direalisasikan oleh mereka dalam bentuk buletin kampus “Persepsi”. Mereka tetap melakukan diskusi keagamaan dan menghimpun karya tulis mereka dalam bulletin “Raudlotul-Ulum” yang kemudian dipublikasikan melalui jaringan persaudaraan mereka yang berada di kota Purwakarta, Tasikmalaya, Subang, dan Garut.

Tujuan kajian mereka di buletin Persepsi adalah memasukan pemikiran-pemikiran yang dapat menjadikan kampus STT-Garut sebagai ‘Pesantren Teknik’ bagi mahasiswa/i STT-Garut. Tetapi mereka mencukupkan diri dengan hanya sekedar mewujudkan Pesantren Teknik dalam buletin saja, artinya buletin tersebut merupakan Pesantren Teknik mereka dan pembacanya.

Lain dengan bulletin Raudlotul-Ulum yang lebih didominasi oleh kajian Tazkiyatun-Nafs, Persepsi lebih dipenuhi oleh pemikiran kritis terhadap sistem pendidikan STT-Garut. Buletin itu mencoba menawarkan rumusan dan solusi bagi sistem yang dibangun berdasarkan referensi-referensi Islam. Sebagian rumusan yang ditawarkannya, ada yang diterima dan direalisasikan oleh lembaga STT-Garut.

Gerakan Dakwah Kampus

Di tahun 2000, mereka mulai dekat dengan senat mahasiswa dan lembaga mahasiswa lainnya. Kedekatan tersebut membuat mereka dilibatkan dalam beberapa kegiatan dan persoalan aktivitas mahasiswa secara umum. Kesempatan tersebut merupakan jalan bagi mereka untuk melakukan Islamisasi dalam komunitas mahasiswa.

Kesempatan terbesar mereka dimulai dengan diberinya mereka kesempatan untuk merancang acara diklat senat mahasiswa sesi keislaman. Setelah itu, mereka terlibat dalam dialog tentang format baru orientasi pengenalan kampus bagi mahasiswa baru. Hingga pada akhirnya konsep orientasi pengenalan kampus mereka yang dibangun atas dasar keislaman diterima dan dijalankan pada orientasi pengenalan kampus. Komite menuliskan konsepnya dalam bentuk panduan bagi panitia, lalu disosialisasikan kepada semua panitia yang terlibat.

Selain melakukan kegiatan pengkritisan terhadap sistem secara single fighter, dalam suatu kesempatan merekapun menerima ajakan dari salah satu unit kerja mahasiswa untuk melakukan aktivitas pengkritisan isu tertentu. Mereka tidak memperdulikan soal ideologi yang dianut oleh mahasiswa di unit kerja tersebut yang berbeda dengan mereka. Yang terpenting bagi mereka adalah apa yang dilakukan tidak bertentangan dengan ide dan mereka bekerja dalam lingkungan toleransi yang baik.

Sebelum Persepsi terlahir, bulletin sebelumnya adalah Jurnal Kampus. Jurnal ini terbit pada saat mereka bergabung dalam aktivitas senat mahasiswa. Jurnal tersebut merupakan media pemikiran dan sosialisasi hasil-hasil yang dicapai oleh mahasiswa dalam kegiatannya di kampus. Isinya seputar kegiatan senat mahasiswa, dan tidak ditemukan kajian keislaman padanya. Jurnal itu diterbitkan setelah secara formal ketua senat mahasiswa meminta mereka untuk meluncurkan sebuah jurnal yang mengulas kegiatan mahasiswa di seputar orientasi pengenalan kampus.

Pada satu kesempatan, mereka menjadikan jurnal menjadi alat untuk menengahi konflik yang terjadi di antara mahasiswa, khususnya yang terjadi antara senat mahasiswa dengan oposisi mereka, yakni MAPALA yang merupakan salah satu unit kerja mahasiswa di STT-Garut. Kedekatan mereka dengan senat mahasiswa dan MAPALA telah menjadikan mereka sebagai alat untuk mengkomunikasikan aspirasi MAPALA dengan bahasa yang dapat diterima oleh senat mahasiswa, dan juga begitu juga sebaliknya

Pada saat jurnal ini terbit, bulletin Raudlotul-Ulum dan Lembar Independent telah terbit. Dengan demikian mereka tetap menuliskan kajian keislamannya dan tidak terjadi pergeseran ide dan semangat mereka.

Ada satu tujuan yang ingin dicapai oleh mereka dalam kedekatan mereka dengan senat mahasiswa, yakni bertambahnya kekuatan mereka untuk mempertahankan eksistensi pondok pesantren mahasiswa STT-Garut. Saat mereka bergabung dalam kegiatan di kampus, mereka sedang menghadapi masa-masa sulit mempertahankan eksistensi pondok pesantren mereka. Mereka ingin agar kemudian senat mahasiswa ikut memperjuangkan apa yang sedang mereka perjuangkan.

Apa yang mereka harapkan terwujud, ketua senat mahasiswa saat itu bersedia berusaha bersama mereka. Senat mahasiswa kemudian memilih mereka untuk menduduki jabatan di senat mahasiswa, dalam urusan jurnalistik dan pengembangan masjid. Pembentukan pesantren Teknik al-Musaddadiyah merupakan salah satu tujuan dari urusan pengembangan masjid.

Setelah upaya mempertahankan eksistensi pondok pesantren mahasiswa STT-Garut gagal, kemudian muncul ide pembentukan Lembaga Dakwah Kampus. Di awali dengan perkenalan mereka dengan salah satu Ikhwan jaringan Depok yang menawarkan pembentukan Lembaga Dakwah Kampus di STT-Garut. Beberapa minggu kemudian, salah satu anggota senat mahasiswa yang merupakan aktivis HMI mengusulkan hal serupa.

Seiring dengan mundurnya gerakan mahasiswa di kampus di tahun 2001, senat mahasiswa dan unit kerjanyapun menjadi mundur pula. Demikian pula halnya dengan divisi jurnalistik dan pengembangan masjid. Terlebih setelah lembaga STT-Garut menarik pengelola Persepsi yang juga menjadi pengurus divisi jurnalistik dan pengembangan masjid menjadi pengurus di laboratorium komputer, maka kegiatannya jadi lebih tersita untuk kegiatan di laboratorium. Setelah itu, Persepsi tidak terbit lagi.

Untuk beberapa bulan, kampus sepi dari segala bentuk aktivitas ekstra kampus. Tetapi di akhir tahun 2003, beberapa aktivis mulai menggagas kegiatan di unit kerjanya masing-masing. Mereka menggerakkan kegiatan di tingkat local (himpunan atau unit kerja) untuk kemudian menggabungkannya dengan kekuatan local lainnya, sehingga senat mahasiswa kemudian dapat hidup kembali. Di saat itu, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) berdiri.Hingga tahun 2004, LDK memiliki kepengurusan dan aktivitas di Masjid Kampus. Hanya hingga saat ini, belum ada kegiatan besar yang melibatkan seluruh anggota komunitas Ilmiah di STT-Garut yang diadakan oleh LDK. Mungkin beberapa waktu ke depan, insya Alloh LDK akan lebih maju dan berkembang, serta memberi kontribusi strategis bagi pembentukan karakter ilmiah islamiah di STT-Garut.

0 comments :

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya