Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Permendikbud 49/2014 Pasal 1:14)

Minggu, 15 Februari 2009

Moses Leadership Development Life Cycle


Kaum Musa berkata: "Kami telah ditindas (oleh Fir`aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab: "Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi (Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu. (Q.S. al-A’raaf : 129)
Moses LDLC (Source: Rinda Cahyana, Pelajaran Kepemimpinan dari Sumber Hukum Islam)

Setiap Manusia Memiliki Kelengkapan Diri Untuk Menjadi Seorang Pemimpin
Sejak awal, manusia diciptakan dengan membawa kelengkapan atau potensi dasar seperti perasaan (hati), penglihatan (mata) dan pendengaran (telinga) untuk dapat menjalankan berbagai kewajiban dalam kepemimpinan, seperti pelayanan, perhitungan, pengorganisian dan pertanggungjawaban. Manusia diberikan potensi akal budi dan panca indra untuk melihat, mendengar, meresapi, memikirkan, membuat berbagai bentuk pelayanan, dan kemudian menjalankannya. Juga memiliki hati untuk memilih jenis pelayanan dan jalan pengamalannya, serta memiliki kemampuan berkomunikasi untuk menyampaikan hasil kepemimpinannya. Lebih dari itu, manusia mampu mengorganisir aktifitas pelayanannya dalam sistem kepemimpinan atau pemerintahan.

Dengan potensi dan karunia yang dimilikinya, manusia dapat tampil di muka bumi sebagai pemimpin yang unggul dalam membangun peradaban di muka bumi (berikut sistem kepemimpinannya) dibandingkan mahluk lainnya. Hal itu disebabkan karena tingkat pencapaian ilmu manusia melebihi mahluk lainnya.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (Q.S. al-Baqarah : 30-33)

Tanpa karunia dari Alloh ini, manusia tidak akan pernah sampai pada tingkat pencapaian seperti itu.

Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya). (Q.S. an-Naml : 62)

Dan apabila manusia tidak menggunakan potensi dasar kepemimpinannya dengan sebaik-baiknya, maka mereka tidak akan menjadi seorang pemimpin yang sukses. Misi kepemimpinannya akan gagal, dan ia akan dicemooh dan menderita setelah tidak dapat melaksanakan dan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya sebaik-baiknya.

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S. al-A’raaf: 179)

Definisi Pemimpin
Muhammad bin Abdullah SAW mendefinisikan pemimpin sebagai pelayan bagi kaum yang dipimpinnya, sebagaimana sabda beliau. “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka” (H.R. Abu Na’im) Artinya, seorang pemimpin akan melakukan tugas pelayanan, yakni memenuhi segala kebutuhan kaumnya dan tidak berlaku semena-mena. Dengan kata lain, kepemimpinan adalah tugas pelayanan. Maka pemimpin yang tidak memperhatikan nasib dan tidak melayani kebutuhan orang yang dipimpinnya, dianggap belum menjalankan tugas kepemimpinan.

Di tempat yang lain, Muhammad SAW memperluas arti kepemimpinan, bahwa kepemimpinan itu bukan hanya dalam berbangsa atau bernegara saja, tetapi juga dalam pekerjaan, keluarga, dan pemimpin bagi dirinya sendiri.

Setiap kamu adalah pemimpin (mas_uulun) dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam pemimpin bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang istri pemimpin dan bertanggung jwab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya. (H.R. Bukhori – Muslim)

Mengingat pentingnya masalah kepemimpinan dan kesuksesannya bagi manusia, maka setiap manusia tertuntut untuk memiliki wawasan kepemimpinan, dan memiliki acuan untuk membangun metode atau jalan yang tepat menuju kepemimpinan yang sukses. Wawasan tersebut minimalnya harus meliputi soal daur kepemimpinan, tujuan kepemimpinan, bentuk-bentuk kepemimpinan, dan pengatahuan akan factor penghambat dan pendukungnya.

B. PEMBAHASAN
Kewajiban Pemimpin

Dalam hadits riwat Bukhori dan Muslim tersebut Beliau SAW menegaskan bahwa setiap pemimpin selain wajib melayani orang yang dipimpinnya juga wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, yakni presiden kepada rakyat atau bangsanya, karyawan kepada atasannya, istri kepada suaminya, anak kepada ayahnya, dan seseorang kepada dirinya sendiri. Maka pemimpin yang tidak dapat atau tidak mau mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dianggap tidak memenuhi kewajibannya yang kedua setelah melakukan tugas pelayanan.

Lelaki Pemimpin Perempuan
Seperti yang tergambar dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim terdahulu, seorang lelaki memiliki tugas kepemimpinan, dan demikin pula dengan wanita. Dalam konteks rumah tangga, kepemimpinan rumah tangganya secara umum dipegang oleh lelaki, dan kepemimpinan atas harta dan rumah suami dipegang oleh istri.

Dalam Islam, kaum lelaki akan menjadi pemimpin bagi kaum perempuan karena ada kelebihan yang Alloh berikan kepada lelaki yang tidak diberikan kepada perempuan. Di dalam surat an-Nisaa’ kepemimpinan juga didasarkan kepada siapa yang memberi nafkah maka dia yang dianggap pemimpin. Seandainya pada jaman sekarang wanita dapat mencari nafkah untuk suaminya atau dipilih menjadi pemimpin Negara, tetapi kelebihan yang Alloh berikan kepada lelaki tidak dimiliki oleh perempuan, yang karenanya tidak merubah status lelaki sebagai pemimpin wanita.

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (Q.S. an-Nisaa’ : 34)

Kewajiban Utama Kepemimpinan Wanita
Tentang ayat “Lelaki memiliki beberapa kelebihan atas wanita”, Muqatil, as-Sadi, dan adh-Dhahak berkata, maka wanita wajib menaati laki-laki sebagaimana telah diperintahkan Alloh untuk menaati Alloh dan suaminya, berlaku baik terhadap suami, dan memelihara hartanya (ar-Rifa’i: 703).

Ibnu Jarir meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasululloh SAW bersabda, “Sebaik-baiknya wanita ialah seorang istri yang jika kamu (suaminya) memandangnya maka ia menyenangkanmu; jika kamu menyuruhnya, dan dia menaatimu; dan jika kamu tidak ada, dia menjaga dirinya untukmu dan menjaga hartanya.”

Dari hadits tersebut diketahui bahwa lingkup kepemimpinan wanita yang utama adalah di dalam keluarganya, dengan menjalankan tugas pelayanan kepada keluarga seperti menjaga nama baik keluarga, menjaga hubungan dan kepercayaan sang pemimpin (suami) kepada dirinya, menjaga asset keluarga seperti harta keluarga, dan lain sebagainya.

Keadilan Sebagai Kunci Keberhasilan Dalam Kepemimpinan
Prinsip keadilan dianggap sebagai faktor utama dalam mewujudkan kepemimpinan yang berhasil. Keberhasilan kepemimpinan umat Islam dalam memimpin dunia, membangun peradaban besar di muka bumi sepanjang sejarah manusia adalah disebabkan karena ajaran agamanya telah membina mereka sebagai umat yang adil yang menerapkan keadilan dalam sistem kepemimpinannya, baik dalam lingkup individu, keluarga, berbangsa, maupun bernegara.

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (Q.S. al-Baqarah : 143)

Secara keseluruhan, ajaran Islam merupakan ajaran kehidupan yang mengarahkan manusia untuk mewujudkan perikehidupan yang berkeadilan,sebagaimana firman Alloh SWT, “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur'an, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-An’aam : 115)

Agama Islam mengajarkan keadilan dan menyeru umat Islam untuk menerapkan prinsip keadilan dalam seluruh bidang kehidupan, sebagaimana firman Alloh SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. an-Nahl: 90)

Misalnya dalam pengurusan anak yatim oleh Negara atau oleh siapapun, Islam mengajarkan: Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya". (Q.S. An-Nisaa’ 127)

Dan dalam urusan niaga, Islam mengajarkan: Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu., (Q.S. ar-Rahman: 9)

Prinsip keadilan dalam berniaga ini bukan hanya berlaku pada masa Islam pimpinan Muhammad bin Abdullah SAW saja, tetapi telah berlaku pada masa Islam sebelumnya Dan Syu`aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (Q.S. Huud: 85)

Semua Nabi dan Rasul agama Islam dari jaman dulu hingga Muhammad SAW, yang membawa risalah keadilan dan meletakkan dasar-dasarnya untuk pertama kali, meraih kesuksesan kepemimpinan dalam agama dengan keadilan: Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya. (Q.S. Yunus 47)

Dan Alloh yang mengajarkan manusia untuk bersikap adil telah mewajibkan keadilan atas diri-Nya sendiri, yang karenanya Dia dinamai al-Adl (Yang Maha Adil). Keberhasilan kepemimpinan dan kekuasaan Alloh atas manusia khususnya dan seluruh mahluk-Nya di alam Dunia dicapai dengan penghisaban yang adil di Akhirat:

Hanya kepadaNyalah kamu semuanya akan kembali; sebagai janji yang benar daripada Allah, sesungguhnya Allah menciptakan makhluk pada permulaannya kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali (sesudah berbangkit), agar Dia memberi pembalasan kepada orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal saleh dengan adil. Dan untuk orang-orang kafir disediakan minuman air yang panas dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka. (Q.S. Yunis: 4)

Beberapa Sikap Yang Menjadi Faktor Keberhasilan Pemimpin
Untuk mewujudkan keadilan, diperlukan sikap kepemimpinan. Sikap ini meliputi itikad atau komitmen pribadi, amal pelayanan terpuji yang patut dicontoh, menjaga hubungan baik dengan sesama pemimpin lainnya, dan dakwah kepada kepemimpinan yang sebaik-bainya.

1. Penegak Keadilan
Seorang pemimpin dalam misi pelayanannya harus menjadi penegak keadilan, jujur, dan menahan diri dari mengikuti hawa nafsu diri sendiri maupun orang lain.

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan. (Q.S. an-Nisaa’ : 135)

2. Pembangun dan Pengamal Budaya Fastabiqul Khoirot Dalam Lingkungannya
Pemimpin harus berpegang teguh kepada aturan dan jalan kepemimpinan yang benar, membangun budaya fastabiqul khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan, termasuk di dalamnya bidaya disiplin kerja) dalam lingkungan kepemimpinannya.

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (al-Maidah: 48)

3. Mengikuti Aturan Dalam Setiap keputusan
Pemimpin harus memutuskan segala persoalan dengan menurut apa yang ditetapkan oleh Alloh, dan oleh peraturan organisasi dan administrasi, atau norma social yang diridloi Alloh, bersikap waspada terhadap orang-orang yang memiliki motif untuk mempermainkan atau bahkan menggagalkan kepemimpinan, dan bertawakal kepada Alloh SWT.

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. al-Maidah: 49)

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Q.S. Shaad : 26)

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q.S. al-Mu’minuun 71)

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Q.S. al-Jaatsiyah: 18)

4. Menjadi Teladan (Uswatun Hasanah)
Dan seharusnya pemimpin itu menjadi uswatun hasanah, atau teladan baik bagi orang yang dipimpinnya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (Q.S. An-Nahl : 120)

5. Bersikap Objektif
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Maidah: 8)

6. Tugas Kepemimpinan Yang Proporsional
Alloh telah membagi karunia yang berbeda antara lelaki dan wanita dengan maksud agar lelaki dapat menjadi pemimpin bagi wanita. Dan Alloh telah meletakan tugas utama kepemimpinan wanita di lingkungan keluarganya. Alloh melarang ketidaktaatan atas pembagian ini dan sikap mengambil urusan kepemimpinan yang bukan bagiannya. Contoh pelarangan Alloh diperlihatkan dalam hadist berikut ini: “Tidak akan memperoleh keberhasilan suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita” (HR Bukhori)

Dengan kata lain, bahwa tugas kepemimpinan diberikan atau diambil dengan memperhatikan kompetensi dari pengemban amanah kepemimpinan, dan didistribusikan dengan porsi yang tepat.

Pengawasan Sebagai Modal Dasar Dalam Mencapai Keberhasilan
Alloh mengingatkan baik dalam surat an-Nisaa’ ayat 58 ataupun suart al-Maidah ayat 8, bahwa sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang dikerjakan oleh manusia atau seorang pemimpin. Sikap sadar kaum muslimin akan adanya pengawasan dan adanya konsekuensi atas hasil kepemimpinannya (penghargaan atau hukuman, pahala atau siksa) dari dirinya sendiri, orang-orang yang dipimpinnya, dan dari Atasannya inilah yang jadi control atau sumber kekuatan untuk mencapai keberhasilan.

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. (Q.S. Az-Zalzalah : 7-8)

Sementara kegagalan manusia dalam kepemimpinannya, adalah disebabkan “karena mereka melupakan hari perhitungan”. (Q.S. Shaad : 26). Dalam tafsir hari perhitungan yang di maksud adalah di Akhirat. Sementara di dunia, manusia dimintai pertanggungjawabannya oleh orang yang dipimpinnya (sesama) atau yang memberinya amanat kepemimpinan (Atasan).

Dalam Islam, kekuatan kepemimpinan bersumber dari takwa kepada Alloh, yakni istiqomah (berketetapan) dalam menaati Alloh, Tuhan yang mengajarkan dan mengarahkan manusia melalui agamanya pada pola kehidupan yang berkeadilan, dan menjauhi segala larangannya yang termasuk didalamnya adalah mengikuti hawa nafsu.

Islam memberi lawan dari menaati hukum dengan hawa nafsu. Demikian pula Islam akan menyebut perilaku manusia yang tidak menjalankan prinsif keadilan dan prinsif lainnya yang dapat membawa manusia kepada kegagalan dalam kepemimpinannya sebagai mengikuti hawa nafsu.

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. An-Nisaa’ : 58)

Daur Kepemimpinan Musa : Perjalanan Untuk Menjadi Seorang Pemimpin Yang Sukses
Musa A.S. mengemukakan perjalanan kepemimpinan yang berhasil mengikuti alur perjalanan berikut ini:



  1. Memerdekakan diri (RIYADHOH)


  2. Melaksanakan tugas pelayanan (AMAL),


  3. Mengawasi kelurusan langkah (MUHASABAH)


  4. Mempertanggungjawabkan kepemimpinannya (AMANAH).


Sebagaimana terkandung dalam doa beliau untuk Bani Israil: Kaum Musa berkata: "Kami telah ditindas (oleh Fir`aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab: "Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi (Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu. (Q.S. al-A’raaf : 129)

Kalimat "membinasakan musuhmu" interpretasinya bisa berarti membebaskan diri kita dari segala hal yang mengganggu atau mengancam kepemimpinan. Sementara kalimat "menjadikan kamu Khalifah di bumi" artinya menjadi pemimpin dalam arti yang luas, dengan menjalankan semua proses bisnis pelayanan. Kalimat "maka Alloh akan melihat bagaimana perbuatanmu" mengingatkan pemimpin untuk dapat bersikap ihsan, taat kepada aturan dalam konteks luas dan takut melanggar aturan. Untuk mendapatkan pribadi bertaqwa dengan ihsan, maka harus ditempuh dengan melakukan inrospeksi diri dengan berbagai pengukuran (assesment), menganalisa proses yang telah dilakukan, menangani resiko (risk management) yang mungkin akan muncul sebagai akibat proses tersebut, melihat perkembangan untuk mengukur tingkat pencapaian (maturity level) yang dilakukan dalam rangka process improvement. Semua itu dilakukan dalam rangka mewujudkan kepemimpinan yang berhasil berdasarkan strategi dan kebijakan yang matang, untuk terlepas dari jerat hukum dan bahkan mendapatkan value added yang tidak terhingga atau yang tiak terkirakan.

Memerdekakan diri dalam artian membangun berbagai hal yang menjadi factor keberhasilan dan menghindarkan diri atau meruntuhkan berbagai hal yang menjadi factor kegagalan dalam kepemimpinan. Apabila para pemimpin berhasil mencapai kemerdekaan diri dan menggunakan segala kebaikan dari kebebasan untuk mewujudkan segala amal saleh yang merupakan bagian tugas pelayanan, dengan mengikuti jalan yang baik, yang dipuji oleh pemberi amanat, dan terhindar dari amal sebaliknya yang dicela, maka mereka akan mendapatkan kesuksesan dalam kepemimpinannya. Mereka akan merasa aman sentausa karena merasa tidak akan terjadi hal yang buruk dalam acara pertanggungjawabannya nanti dan akan memperoleh balasan kebaikan yang banyak, apakah itu pengampunan dari kesalahan ataupun berbagai kesenangan;

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (Q.S. an-Nuur : 55)

Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya. (Q.S. Thaahaa: 112) Aman sentosa itu dirasakan sepanjang mereka meyakini bahwa pemberi amanat yang menilai akan bersikap adil terhadap dirinya.

Kesuksesan tidak akan tercapai kecuali sorang pemimpin selalu melakukan penilaian terhadap pekerjaan (Muhasabah) untuk mengukur tingkat keberhasilannya, yang kemudian dilanjutkan dengan mengakui kekuarang (taubat) dan memperbaiki diri.. Selain itu, pemimpin harus sering mengikuti pendidikan dan latihan (Riyadloh) untuk memperbaharui sikap istiqomah dalam menaati perintah dan aturan pemberi amanah atau pemimpinnya, dan meningkatkan daya juang, agar kepercayaan pemberi amanah meningkat padanya.

Selain itu, seorang pemimpin harus memperbaharui amal dengan mengambil pelajaran atas segala keberhasilan dan kegagalan amal. Dan yang terakhir seorang pemimpin harus Amanah, serta meyakni bahwa kegagalan itu harus dihindari, dan keberhasilan itu menjadi tujuan. Keyakinan tersebut kemudian akan menjadi stimulus atau motivasi yang bisa melahirkan amal perbaikan.

Empat Golongan Pemimpin
Pertama Pemimpin yang bersikap berlebih-lebihan (ekstrim) terhadap aturan dan jalan kepemimpinan dengan cara yang tidak benar. Pemimpin seperti ini membutuhkan penyadaran dengan dialog sehingga menjadi jelas yang benar dan yang keliru, tetapi tidak perlu memberinya motivasi dalam menjalankan tugas kepemimpinannya.

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (Q.S. al-Maidah: 77)

Kedua, Pemimpin yang bersikap seakan-akan tahu dalam ketidaktahuannya. Pemimpin seperti ini harus diberikan pengetahuan dan diberi pendidikan dan latihan pembinaan ahlak.

Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.(Q.S. al-An’aam: 119)

Ketiga, Pemimpin yang mendustakan aturan dan jalan kepemimpinan atau bersikap sombong. Pemimpin seperti ini harus ditegur dan jika perlu diberikan sangsi.

dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan mereka. (Q.S. al-An’aam: 150)

Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka. (Q.S. Muhammad: 16)

Keempat, sikap pemimpin yang faham dan sadar atas kekurangan dalam kepemimpinannya, melakukan perbaikan, dan menjalankan tugas kepemimpinan dengan sebaik-bainya. Sikap ini tercermin dalam pribadi Yusuf A.S. Pemimpin seperti ini harus diberi dukungan.

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Yusuf: 53)

Enam Golongan Musuh Kepemimpinan
Yang menjadi musuh bagi kepemimpinan manusia adalah orang-orang berdosa. Dan tiadalah yang menyesatkan kami kecuali orang-orang yang berdosa. (Q.S. asy-Syu’araa’ : 99). Golongan mereka antara lain sebagai berikut:

Pertama, musuh biasa yang terbukti berkeinginan keras untuk menggagalkan kepemimpinan, namun makarnya tidak berpengaruh terhadap pemimpin yang memperhatikan aturan dan dilindungi hukum.

Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.(Q.S. Ali Imran: 69)

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.(Q.S. Luqman: 6)

Kedua, orang yang nampak atau besikap seperti teman dekat, namun menjadi musuh karena mempengaruhi atau mengajak kepada jalan atau aturan yang tidak benar.

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (Q.S. an-Nisaa’: 60)

Ketiga, pengikut hawa nafsu yang menyeru orang untuk meninggalkan aturan kepada hawa nafsunya tanpa pengetahuan, dan kekuatannya terletak pada banyaknya orang yang berfikiran sama dengan dirinya.

Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. al-An’aam: 119)

Keempat, musuh yang memiliki kekuasaan yang memaksa dan para penyokong yang selalu menawarkan keuntungan-keuntungan yang berhasil mereka peroleh dari penyimpangan tugas kepemimpinan.

Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). (Q.S. al-Ahzab: 67)

“Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan). “(Q.S. al-A’raaf: 202)

“Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan.” (Q.S. al-An’aam: 113)

Musa berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir`aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan kami akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksan yang pedih.” (Q.S. Yunus: 88)

Kelima, adalah diri sendiri, yang berlaku sombong dan tidak mengindahkan aturan dalam kepemimpinannya.

‘Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (Q.S. al-An’aam: 43)

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. at-Taubah: 115)

Keenam, musuh paling berbahaya yang memiliki sikap iri dengki yang sangat besar, memiliki ambisi kepemimpinan yang kuat namun jalan yang digunakannya sangat kotor, tidak segan untuk mendeklarasikan perang terhadap kepemimpinan orang yang dibencinya, dan memiliki catatan kesuksesan dalam menghancurkan kepemimpinan.

Sesungguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebahagian besar di antaramu. Maka apakah kamu tidak memikirkan? (Q.S. Yaa siin: 62)

“Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma`siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka"., (Q.S. al-Hijr: 39-40)

Siapa Yang Memastikan Pemimpin Telah Menjalankan Kewajibannya?
Yang memastikan seorang pemimpin telah menjalankan kewajibannya adalah siapapun yang dipimpinnya. Sebagaimana hadits berikut:

Setiap kamu adalah pemimpin (mas_uulun) dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam pemimpin bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang istri pemimpin dan bertanggung jwab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya. (H.R. Bukhori – Muslim)

Merekalah yang akan mengukur tingkat keberhasilan suatu kepemimpinan adalah dirinya sendiri, orang yang dipimpinnya, atau atasan yang mengamanati kepemimpinan tersebut.

Majelis Pertanggungjawaban Yang Adil
Majelis pertanggungjawaban yang adil mengharuskan penilai memberikan bukti otentik dan juga saksi-saksi yang adil dalam dakwaan yang disampaikan kepada para pemimpin yang telah melaksanakan tugasnya, juga keputusan yang adil, sebagaimana tergambar dalam majelis pertanggungjawaban Alloh SWT dalam firman-Nya berikut ini:

Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan. (Q.S. az-Zumar: 69)

Demikian pula dengan pengadilan yang dilakukan pemimpin terhadap dirinya sendiri harus berdasarkan tuduhan dan keputusan yang objektif, dengan berdasarkan kepada fakta dan takaran aturan atau hukum dan ilmu.

C. KESIMPULAN
Setiap manusia memiliki potensi kepemimpinan, sehingga mampu menjalankan tugas kepemimpinan yang meliputi pelayanan dan pertanggung jawaban. Setiap manusia adalah pemimpin, yang karena kemampuannya bervariasi sehingga kemudian tugas kepemimpinannya bervariasi pula. Kesuksesan pemimpin dalam mencapai tujuan kepemimpinannya dan dalam menghadapi musuh kepemimpinannya terletak pada kesanggupannya dalam menegakan keadilan atas diri sendiri dan orang lain.

Untuk mewujudkan keadilan tersebut seorang pemimpin harus memiliki komitmen kepada keadilan, taat pada aturan, mengambil atau memberi tugas pelayanan secara proporsional (disesuaikan dengan kemampuan atau kompetensinya dan dengan prinsip mengutamakan orang yang lebih utama atas tugas tersebut), mengawasi rencana, amal, dan hasil kepemimpinannya, dan selalu mengadakan usaha perbaikan. Allohu a’lamu,

"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. al-Furqaan : 74)

REFERENSI
[1] Choiruddin Hadhiri S.P. 1993. Klasifikasi kandungan al-Qur’an, Gema Insani Press, Indonesia.
[2] Dr. Muhammad Faiz Almath. 1974. Qobasun min nuri Muhammad SAW, Darul Kutub Alarabiyyah, Syria.
[3] Muhammad Nasib ar-Rifa’i. 1999. Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Gema Insani Press, Jakarta.

0 comments :

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya