Pernahkah kau kunjungi kampung beliau yang sederhana? Rumahnya yang tak megah? Kebanggaan dan kebahagiaan beliau tidak dengan limpahan kekayaan fatamorgana, tetapi dengan kekayaan Akhirat yang abadi. Beliau tidak duduk di kursi seperti singasana Romawi atau Yunani, karena kursi agungnya ada di Syurga.
Lihatlah, para pecinta dari segala penjuru dunia memuji-mujinya dengan shalawat dan salam padanya. Beliau tersenyum bahagia, karena ummatnya begitu cinta dan merindukannya. Dalam kekaguman dan rasa cinta ku hadapkan pandangan mataku kepadanya. Ku tarik lengannya dan ku kecup. Duhai … betapa halus … menggetarkan hati. Berderai air mataku dalam lantunan syairku padanya.
Namun saat ku hendak menggapai tubuhnya, lengan ini dilepaskannya. Beliau tersenyum, berlalu meninggalkanku, sehingga hatiku jadi tak menentu. Tubuhnya hilang di kepulan awan. Senandung terlantun menagisi kepergianya.
Kini mataku menatap kosong, hatiku menjerit sakit. Bertanya aku pada diriku, “Apakah guru meninggalkanku karena kehinaanku, karena dosaku?”
Tak kusangka beliau di belakang menyentuh bahuku. Seketika hatiku berteriak bahagia, aku terjatuh, dan terucap dari lisanku, “Wahai Rasulullah”. Lalu kucium lagi lengannya yang putih, lebut, dan bercahaya.
Kemudian beliau mengangkat tubuhku dan mencium keningku. Aku menghiba padanya, “Biarkan saja aku terjatuh wahai Rasulullah, aku tak sanggup berdiri dengan dosa-dosa ini. Doakanlah agar aku pergi menemuimu saat jiwaku merindukan-Nya”.
Kemudian datanglah kesadaran dalam diriku, bahwa syarat utama menghadap kepada-Nya adalah kesungguhan dalam beribadah.
Lihatlah, para pecinta dari segala penjuru dunia memuji-mujinya dengan shalawat dan salam padanya. Beliau tersenyum bahagia, karena ummatnya begitu cinta dan merindukannya. Dalam kekaguman dan rasa cinta ku hadapkan pandangan mataku kepadanya. Ku tarik lengannya dan ku kecup. Duhai … betapa halus … menggetarkan hati. Berderai air mataku dalam lantunan syairku padanya.
Namun saat ku hendak menggapai tubuhnya, lengan ini dilepaskannya. Beliau tersenyum, berlalu meninggalkanku, sehingga hatiku jadi tak menentu. Tubuhnya hilang di kepulan awan. Senandung terlantun menagisi kepergianya.
Kini mataku menatap kosong, hatiku menjerit sakit. Bertanya aku pada diriku, “Apakah guru meninggalkanku karena kehinaanku, karena dosaku?”
Tak kusangka beliau di belakang menyentuh bahuku. Seketika hatiku berteriak bahagia, aku terjatuh, dan terucap dari lisanku, “Wahai Rasulullah”. Lalu kucium lagi lengannya yang putih, lebut, dan bercahaya.
Kemudian beliau mengangkat tubuhku dan mencium keningku. Aku menghiba padanya, “Biarkan saja aku terjatuh wahai Rasulullah, aku tak sanggup berdiri dengan dosa-dosa ini. Doakanlah agar aku pergi menemuimu saat jiwaku merindukan-Nya”.
Kemudian datanglah kesadaran dalam diriku, bahwa syarat utama menghadap kepada-Nya adalah kesungguhan dalam beribadah.
Terima kasih atas informasinya. please visit
BalasHapusvisit us