Informatika, bidang ini dipilihkan oleh Bapak untuk saya dengan pertimbangan pengumuman lowongan kerjanya senantiasa ada di surat kabar. Pagi itu saya dibawa Bapak berangkat ke Garut, setelah beberapa minggu sebelumnya proses seleksi Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri tidak saya tuntaskan karena marah setelah ditelanjangi masal untuk pemeriksaan kesehatan. Ibu dan bapak memutuskan saya kuliah di jurusan Teknik Informatika Sekolah Tinggi Teknologi Garut agar dapat sekalian menimba ilmu agama di al-Musadddiyah, padahal saat itu saya sudah terdaftar sebagai mahasiswa jurusan teknik mesin Sekolah Tinggi Teknologi Kutawaringin Subang. Saya tidak menolak dimasukan ke sana dan harus mukim jauh dari orang tua, sekalipun pada tahun-tahun awal kuliah saya sering sekali mudik. Saya menyengajakan diri memanfaatkan batas minimum presensi di setiap matakuliah agar dapat mudik. Saat itu rasa kangen dengan keluarga dan teman-teman Generasi Muslim al-Muhajirin senantiasa melingkupi hati, hingga saya bermimpi perjalanan saya selama satu tahun di Garut.
Pada awal tahun kuliah di Garut itu saya belum menikmati cita rasa materi informatika yang diperoleh di kelas. Saya malah lebih asik mendengarkan dan menulis bisikan hati yang terbesit di sela-sela ceramah dosen. Saya tidak melakukan usaha yang luar biasa untuk menguasai bidang informatika. Kesanggupan untuk menyerap materi algoritma dan pemrograman lebih karena pengalaman sebelum kuliah dengan kalkulator warisan kakak yang dapat diprogram. Buku terkait informatika bekas studi kakak di matematika komputasi IPB tidak pernah saya baca. Bahkan beasiswa peningkatan prestasi akademik yang diberikan oleh KH Dr Maman Abdurrahman Musaddad (ketua Pondok Pesantren Mahasiswa) malah saya belikan satu set buku Fiqh Sunnah yang sering disebut oleh ustadz fiqh di Pondok Pesantren. Bolehlah saya sebut diri ini saat itu sebagai jiwa yang terkurung di dalam tubuh informatika.
Tetapi perubahan terjadi setelah siang itu dibawa masuk oleh orang tua ke dalam kamar di Subang. Saya tidak menyebutnya sebagai kamar saya karena sepanjang hidup tidak pernah menetapkan satu kamarpun di rumah sebagai kamar sendiri. Di sana ternyata sudah ada Personal Computer yang dibelikan khusus untuk saya. Setelah itu saya mulai banyak menuliskan kode program Pascal dan buletin kampus. Buku pemrograman mulai mengisi rak buku di kamar. Mesin tersebut menyebabkan saya bertemu dengan teman di bengkel komputer yang mengajarkan cara otodidak memasang perangkat lunak dan meningkatkan kapasitas perangkat kerasnya. Mesin itu menghantarkan saya kepada pengalaman menjadi relawan teknologi informasi dan jurnalistik di kampus. Kegiatan relawan teknologi informasi di kampus saya sebut sebagai usaha penghapusan dosa, sementara kegiatan relawan jurnalistik disebut sebagai sedekah pengetahuan.
Kembali ke Perkenalan Pertama Mengajar
wow hebat nih bisa coding pascal. Ajarin saya mbak
BalasHapus