Saat di Pondok dulu saya suka mengenakan jubah, terbawa kebiasaan pakaian di GMA (Generasi Muslim al-Muhajirin). Beberapa teman di GMA mengenakannya krn terinsfirasi wali songo dan merasa semangat keagamaannya terdorong dgn pakaian tsb. Beberapa teman GMA lainnya (dgn sumber insfirasi yg sama) memilih utk mengenakan atribut pakaian adat seperti bendo dan iket dlm kegiatan keagamaannya.
Pilihan warna hitam dari jubah yg saya kenakan mengikuti semangat asketis, bukan krn pengaruh aliran harokah jihadi apalagi syiah, hehehe. Harokah saya adalah Mujahadah Ratisejiwa (Meraba Hati Mensejahterakan Jiwa), perang besar melawan hawa nafsu utk memperoleh Cahaya, melalui laku dzikir dan tafakur.
Saat itu di pondok ada dua kebiasaan pakaian harian. Santri mahasiswa teknik Sekolah Tinggi Teknologi Garut secara umum berbeda dgn santri salafiyah, mereka tdk sarungan. Tapi kalau ngaji semuanya pasti sarungan dgn pakaian seragam jenis koko.
Pernah saya mengusulkan agar pakaian santri teknik bentuknya jubah. Beberapa santri menyetujuinya. Lalu saya mendengar yg baru saya dengar dari salah satu teman (seorang guru sekolah yg tinggal di pondok) bahwa muslim seharusnya tdk terjebak dgn simbol. Makna dari perkataan teman tsb adalah ingatan bahwa agama itu yg terpenting adalah pengamalan dan tdk sekedar penampilan atau simbol2.
Usulan saya tsb tdk pernah saya wujudkan. Cukup pak Kyai saja yg mengenakan jubah putih, krn keluhuran ilmu dan amaliahnya. Bagi santri teknik yg sedang belajar, perhatian thd pengamalan agama lebih penting dari pada penampilan. Pengamalan agama adalah penampilan muslim yg sebenarnya.
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya