Hari ini pemerintah membuka kembali pembatasan platform media sosial Facebook, Whatsapp, dan Instagram. Pemerintah membatasinya sebagai upaya pencegahan terhadap serangan hoax yang dapat memicu kerusuhan besar pada tanggal 22 Mei 2019. Bahkan hoax itu muncul paska kerusuhan 22 Mei 2019.
Produsen hoax meracik hoax menggunakan bumbu kalimat keagamaan, dan menyebarkannya untuk memicu emosi netizen dan membangun suasana kebencian kepada pemerintah. Sebagian netizen yang tidak menyukai pemerintah dengan mudah mengalami efek fatamorgana, melihat hoax sebagai kebenaran. Syahwatnya bergembira karena menemukan santapan narasi kebencian kepada pemerintah dalam hoax tersebut. Akalnya tertutup dari menemukan fakta sehingga mengabaikan dugaan buruk yang tersaji dalam hoax.
Di antara hoax yang muncul di grup Whatsapp yang saya ikuti adalah tentang kematian seorang anak setelah dipukuli aparat yang terekam CCTV dan tersebar di media sosial. Belakangan diketahui bahwa pria yang dipukuli aparat itu bukan anak yang dimaksud, dan pria tersebut masih hidup.
Narasi berbau agama di dalam hoax tersebut menyebabkan banyak anggota grup tergerak dan mengaminkan do'a. Padahal di dalam do'a tersebut ada permohonan diturunkannya azab. Saya berusaha membongkar betapa narasi dalam hoax tersebut dipenuhi oleh hayalan dan terasa berlebihan.
Saya katakan bahwa kalimat "para pelaku berdalih mereka perusuh" merupakan kalimat sahih bila dalih tersebut telah dinyatakan aparat selaku pelaku pemukulan. Faktanya, Propam baru akan memanggil oknum Brimob yang menjadi pelaku pemukulan.
Saya katakan bahwa kalimat "Para pendukung penguasa bersorak ramai lewat jari2nya" itu sangat stereotif. Tdk semua pendukung penguasa (dibaca pemerintah atau pak Jokowi) bersikap demikian. Si pembuat hoax juga sok tahu dengan membuat kesimpulan bahwa pendukung penguasa itu berharap dirinya dan keluarganya terbebas dari segala musibah dengan cara memberi dukungan kepada penguasa.
Bagaimana kita tdk bersikap adil? Teringat firman Tuhan tentang prinsip keadilan, "Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Maa’idah: 8)
Si pembuat hoax menutup narasinya dengan permohonan azab bagi penguasa dan penyokongnya yang dianggapnya telah berlaku dzalim, bukannya mengharap petunjuk agar mereka yang dituduhnya dzalim diberi petunjuk untuk dapat memohon ampun. Mungkin dia tidak tahu kalau Allah SWT tidak akan mengazab selama mereka memohon ampun.
“Allah tidak akan menyiksa mereka selama kamu ada di tengah mereka. Dan Allah tidak akan menghukum mereka, sementara mereka memohon ampun.” (QS. al-Anfal: 33).
Jagalah mulut kita dari memohonkan azab. Tuhan menurunkan petunjuk Nya agar setiap orang dapat kembali & terselamatkan.
Bayangkan, hoax yang mengandung narasi kebencian berdasarkan prasangka buruk kepada penguasa tersebut disebarkan di media sosial. Ada banyak penghuni grup media sosial yang mengaminkan do'a hoax tersebut di bulan Ramadhan. Betapa cepat pahala puasa menguap gara-gara mengaminkan do'a hoax yang membenarkan prasangka buruk kepada penguasa tersebut. Dan betapa si pembuat hoax dan penyebarnya menuai dosa dari setiap orang yang mengaminkan do'a tersebut. Semua kerugian tersebut terjadi saat fakta sebenarnya terkuak, bahwa yang dipukuli itu bukan anak yang meninggal.
Berkata Bakar bin Abdullah Al-Muzani dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib: “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.
Teman media sosial saya berkata bahwa di dalam hoax tersebut terkandung kebenaran, yakni ada pria yang faktanya memang dipukuli aparat. Saya katakan, bila kebenaran bernilai 1 dan hoax bernilai 0, maka nilai hoax dan kebenaran menurut gerbang logika adalah 0 atau hoax. Artinya kebenaran yang dibumbui hoax adalah hoax.
Kita semua memang hamba Allah yang tidak sempurna, sering jatuh dalam khilaf dan dosa lantaran terpedaya bisikan hoax dari kalangan jin dan manusia. Semoga Allah melindungi kita dari khilaf dan mengaruniakan istighfar saat termakan hoax. Insya Allah kita akan terhindar dari hukuman Nya setelah kita memohon ampunan kepada Nya.
Saat saya bersikap adil kepada pemerintah dan melawan hoax yang ditujukan kepada pemerintah, banyak teman menganggap saya tidak melihat kebenaran dengan mata hati. Entah kebenaran seperti apa yang dimaksud, karena saya telah berusaha bersikap adil dan menggunakan hati dengan tidak menutup diri dari fakta kesalahan oknum aparat dan perusuh. Kepadanya saya katakan, "Kebenaran itu hanya nampak jelas dlm pandangan orang yg berpijak pada prinsip keadilan, bukan pada kecenderungan politik partisan". Kebenaran tidak bisa dikooptasi oleh keberpihakan politis.
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya