Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Permendikbud 49/2014 Pasal 1:14)

Jumat, 03 November 2023

Boikot

Istilah "boikot" mengingatkan saya pada sejarah Nabi, di mana kaum Muslimin diboikot oleh para tetua Quraisy yg di antara alasannya adalah mengganggu keyakinan leluhur yg telah memberi manfaat ekonomi. Kaum Muslimin tdk membalas boikot dgn boikot, bahkan setelah memiliki kekuatan di Madinah atau setelah terjadi peperangan yg dipicu oleh ancaman perdagangan. Di antara cara kaum Muslimin melawan kekuatan Mekah adalah dgn memperkuat pengaruhnya di pasar Madinah.

Kaum Muslimin memperkenalkan sistem anti ribawi yg cepat populer krn dianggap lebih adil oleh pelaku pasar. Popularitas tsb menjadi ancaman bagi pemimpin perdagangan Madinah dari kalangan Yahudi yg sebelumnya merupakan pemain kunci yg mengendalikan pasar Madinah dan sekitarnya. Sedikit banyak ancaman tsb juga dirasakan oleh mitra dagang mereka, yakni kaum Quraisy di Mekah.

Kaum Muslimin tdk memasang plang ekslusif yg berisi anjuran berjual beli dgn kalangan sendiri, atau larangan berjual beli dgn kalangan lain. Sistem yg ditawarkan kaum Muslimin dan bersumber dari ajaran Islam tsb telah membuat konsumen dari berbagai kalangan masuk dgn sukarela ke dalam pasar. Bila cara tsb diikuti oleh kaum Muslimin saat ini, tentunya tdk akan ada kasus orang dihukum gara-gara merasa terganggu dgn plang ekslusif semacam itu.

Cara boikot terbukti tdk memberikan tekanan yg efektif. Kaum Muslimin masih memperoleh dukungan dari Abu Thalib, paman Rasulullah SAW yg merupakan salah satu tetua dari klan Quraisy yg terhormat dan disegani. Siapapun yg menerapkannya, kelompok yg dianggap baik atau buruk, dan pada jaman kapanpun, pasti akan melihat usahanya itu tdk efektif. Misalnya saat ini, boikot terhadap penjajah telah disuarakan dari dulu, dan menggema saat konflik memuncak. Namun penjajah hingga saat ini masih tetap eksis dan penjajahannya masih terus berjalan. Bila target boikot nya adalah komoditas dari perusahaan yg mendukung penjajah, perusahaan itu tdk mengalami kerugian yg berarti krn pasarnya yg sangat luas. Bahkan bila perusahaannya kolaps, penjajah masih memiliki negara lain yg siap menjadi sponsornya. Pihak yg banyak menanggung kerugian biasanya adalah perusahaan rekanan dan pegawainya dari kalangan pemboikot sendiri krn berhadapan langsung dgn risiko pemberhentian operasi, pelayanan, atau kerja yg diharapkan oleh pemboikot. Bila pemboikot dengan kalangannya sendiri seperti satu tubuh yg saling merasakan, nampak pemboikot menyerang dirinya sendiri secara tdk langsung. 

Di era modern cara boikot dlm bentuk embargo ekonomi diaplikasikan oleh negara adidaya utk menekan negara yg dianggap sumber masalah. Cara tsb nampaknya tdk terlalu efektif bila misalnya kita melihat perkembangan persenjataan Iran yg terus berkembang. Di sisi lain, negara adidaya kewalahan berhadapan dgn kekuatan negara penguasa pasar minyak bumi, di mana pengaruhnya tdk hanya ada saat terjadi konflik saja. Terkadang negara adidaya melunak dgn adanya pengurangan pasokan minyak bumi.

Kembali ke soal boikot. Sebagai anak komputer saya tertarik dgn konten yg tdk memasukan medsos dari daftar boikot. Padahal medsos tsb banyak melakukan counter thd berita yg tdk sesuai dgn selera penjajah, dan itu dapat dianggap sebagai dukungan terhadap penjajahan. Alasannya adalah krn medsos dibangun dgn algoritma yg diwariskan oleh ilmuan islam, Alkhowarijmi. Asal terhubung dgn penemuan Islam, platform digital apapun dapat diabaikan, sekalipun terbukti digunakan utk mendukung penjajah. Pertanyaannya, bagaimana dgn komoditas lain dalam daftar boikot yg dlm proses produksinya menggunakan roda gigi, hasil temuan ilmuan Islam, Aljajiri?

Cara boikot ini bagi saya tdk efektif, sehingga saya tdk terlalu ambil pusing dgn kebingungan istri saat berbelanja sejak daftar komoditas target boikot bersebaran di medsos. Saya pribadi lebih setuju dgn jalan yg ditempuh oleh Nabi di masa lalu, yakni melawan penjajah dgn kekuatan perdagangan dan pasar yg inklusif. Kekuatan itu bisa membuat dukungan siapapun terhadap penjajah menjadi tdk berarti, bahkan dukungan itu bisa berhenti krn ketidak mampuan berhadapan dgn kekuatannya.

Teringat percakapan saya dgn teman di masa lalu. Saat saya menanyakan, apakah ada pengganti dari komoditas yg diboikot? Ia berkata bahwa saya tdk akan mati hanya karena tdk mengkonsumsinya. Ia tdk memahami bila komoditas pengganti itu ada dan lebih unggul, maka semua konsumen dari kalangan pro atau anti penjajah akan bergeser ke sana, sehingga perusahaan yg mendukung penjajah akan mendapatkan tekanan yg kuat dan pada akhirnya berlepas diri dari penjajah. Oleh krn nya, pertanyaan pentingnya bagi saya bukan mana saja komoditas yg harus diboikot, tetapi apakah kalangan yg anti penjajahan telah berusaha mengungguli komoditasnya? Bagi saya, menguasai pasar dgn daya tarik tertentu yg berdaya saing seperti dlm praktik Nabi di Madinah jauh lebih efektif menekan musuh dari pada boikot seperti praktik kaum Quraisy Mekah. Namun, mampu kah? Jgn-jgn tdk mampu krn fokus kampanye nya selama ini adalah menutup krn tdk mampu bersaing, bukan membuka lalu mampu bersaing. Selama kaum Muslimin bagai buih di lautan, tdk disegani, krn tdk memiliki kekuatan yg diperhitungkan, perusahaan dan negara pro penjajah tetap akan merasa tdk terancam dan terus memberikan dukungan.

0 comments :

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya