Di masa lalu, Kartini memperjuangkan kesetaraan gender dengan menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak perempuan dengan tujuan agar memiliki kecakapan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai ibu, pendidik pertama bagi anak. Gagasan tersebut terungkap dalam surat yang ditulisnya berikut ini:
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Kartini, 1901)
Di masa kini, anak-anak perempuan harus memperoleh kecakapan literasi digital dari sekolah atau pegiat literasi digital, agar di masa depan mereka dapat menjadi seorang ibu yang mampu melaksanakan kewajibannya dalam melindungi anak-anaknya dari beragam ancaman digital dan mendorongnya untuk memperoleh daya saing dengan perangkat digital. Oleh karenanya pemerintah Indonesia berupaya dengan sungguh-sungguh / berjihad untuk mewujudkan layanan dan akses universal dengan membangun infrastruktur TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) melalui BAKTI Kominfo dan menyelenggarakan pembangunan sumber daya manusia dalam bidang TIK melalui Gerakan Nasional Literasi Digital. Harapannya semua jihad tersebut dapat mewujudkan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk setara dengan bangsa lain, sebagaimana disampaikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa:
"Teknologi informasi dan komunikasi merupakan jembatan antara negara maju dan berkembang, alat pembangunan ekonomi dan sosial, mesin pertumbuhan, pilar utama bangunan masyarakat dan ekonomi basis pengetahuan global, serta kesempatan bagi negara untuk membebaskan diri dari tirani geografi. Oleh karenanya harus ada layanan dan akses universal, kesamaan kesempatan, keragaman konten, serta kebebasan berekpresi dan akses" (International Telecommunication Union, 2002).
Untuk mewujudkan keuntungan kompetitif dari TIK itu, setidaknya dilakukan daur hidup yang meliputi pembangunan infrastruktur, mobilisasi warga sebagai Relawan yang melaksanakan peran Pandu Digital, dan pembangunan kompetensi literasi digital. Pandu Digital harus terdepan dalam menghantarkan bangsanya ke depan pintu gerbang kemerdekaan dari buta digital yang berdampak pada penambahan populasi melek digital di area geografis tertentu. Mereka dapat melewati tahapan pembangunan literasi digital berikut ini: 1) Penyadaran kebutuhan sektoral terhadap TIK; 2) Pelatihan bagi mereka yang telah memiliki kesadaran tersebut untuk membangun kompetensi literasi digitalnya; 3) Penerapan kemampuan literasi digital dalam kegiatan sektornya; dan 4) Perubahan yang dicapai dengan kreatifitas dan inovasi yang diterapkan dengan piranti digital. Saat mereka berhasil menghantarkan bangsanya ke tahap kedua, saat itu mereka telah membebaskan bangsanya dari buta digital.
Dari kegiatan survei yang melibatkan dua kelompok responden dari Relawan TIK Indonesia, Ikatan Guru Indonesia, Ikatan Guru Vokasi Indonesia, dan Jaringan Sekolah Digital Indonesia diperoleh gambaran kebutuhan prioritas kompetensi literasi digital dengan urutan sebagai berikut:
- Penciptaan konten digital, mencakup pengembangan konten digital sebagai informasi atau pengetahuan baru;
- Keamanan, mencakup proteksi perangkat dan kesehatan pengguna, akurasi data dan proteksi berkas, proteksi lingkungan, etika dan privasi, serta akurasi, proteksi, dan properti Konten;
- Melek informasi, mencakup pencarian, pemilihan, evaluasi dan pengelolaan informasi atau konten digital;
- Komunikasi dan kolaborasi, mencakup interaksi sosial, berbagi informasi atau pengetahuan, pelibatan, dan kolaborasi; dan
- Melek Teknologi Informasi, mencakup pengenalan aktivitas, pengguna, dan komponen teknologi informasi.
Kelima jenis literasi digital tersebut dikutip dari A Global Reference on Digital Literacy Skills for Indikator 4.4.2 yang dipublikasikan oleh Universitas Hongkong. Gerakan Nasional Literasi Digital membangun empat pilar literasi digital, yakni Digital Skills yang mencakup melek teknologi informasi, melek informasi, penciptaan konten digital, komunikasi dan kolaborasi; serta Digital Culture, Digital Ethics, dan Digital Safety yang mencakup keamanan.
Selain dengan komunitas TIK selaku relawan dan komunitas sasaran yang didampinginya, pemerintah juga harus bermitra dengan perusahaan. Pemerintah harus membangun fasilitas digital yang bersifat publik guna mewujudkan kesetaraan akses bagi warga negara. Pemerintah juga harus membangun iklim investasi yang baik untuk perusahaan digital agar mereka nyaman dan menyediakan banyak solusi digital bagi bangsa ini. Komunitas TIK dapat mendampingi komunitas sasaran dalam pemanfaatan solusi digital tersebut. Pemerintah memberdayakan komunitas TIK agar dapat melaksanakan perannya dengan baik dan memberikan dampak yang signifikan bagi pembangunan masyarakat informasi Indonesia. Perusahaan juga dapat memberdayakan komunitas TIK dengan memberikan bantuan program atau berbagi usaha agar komunitas TIK dapat terus menjalankan program pendampingannya di tengah masyarakat.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk membebaskan warga negara Indonesia dari tirani geografis yang membatasi akses internet merupakan #JihadDigital kecil - perjuangan / upaya bersungguh-sungguh dalam mewujudkan kemerdekaan digital. Jihad besarnya adalah upaya kita semua selaku warga negara Indonesia yang baik untuk tidak merespon jihad kecil tersebut dengan ekspresi buruk (ujaran kebencian, hoax, dan lain sebagainya), tetapi dengan turut serta di dalam jihad kecil tersebut dalam beragam peran. Oleh karenanya, merdeka di era digital itu apabila kita dapat mengakses internet di mana saja untuk keuntungan kompetitif, dan dapat mengendalikan diri untuk tidak berekspresi negatif di dunia maya.
Materi:
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya