Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Permendikbud 49/2014 Pasal 1:14)

Sabtu, 26 Februari 2022

Memikirkan Sesuatu dgn Kaidah Berfikir


Rasa terganggu itu bisa sama, lepas dari penyebab gangguannya apa. Namun membayangkannya itu tdk selalu mudah. Yg agak sulit itu membayangkan rasa terganggu oleh sesuatu yg diyakini pasti tdk mengganggu, misalnya muslim pasti tdk terganggu oleh suara adzan. Yg mudah itu membayangkan rasa terganggu oleh sesuatu yg mungkin dapat mengganggu, misalnya muslim mungkin terganggu oleh volume suara adzan yg berlebihan. Dan paling mudah itu membayangkan rasa terganggu oleh sesuatu yg pasti mengganggu siapapun, misalnya semua muslim pasti terganggu oleh suara hewan peliharaan yg berlebihan.

Ada tiga sesuatu yg tersebut dlm paragraf sebelumnya, di mana identitasnya berbeda satu sama lainnya. Hal tsb menunjukan sifat unik, sehingga tdk mungkin sesuatu yg ketiga sama dgn yg kedua, apalagi dgn yg pertama. Dalam ilmu Mantik dikenal kaidah berfikir Qanun al-Huwiyyah (Law of Identity), yakni A=A, B=B, tdk mungkin A=B atau B=A. Meskipun A dan B memiliki esensi yg sama, yakni "sesuatu", tetapi identitas keduanya berbeda, yakni "pasti" bukanlah "tdk pasti".

Bila ada orang yg berpendapat bahwa sesuatu yg ketiga itu sama dgn sesuatu yg pertama, maka pendapat tsb dgn mudah dinyatakan tdk logis. Bagaimana sesuatu yg pasti mengganggu itu sama dgn sesuatu yg pasti tdk mengganggu?

Mungkin sebagian orang yg terbiasa berfikir ascending, ia akan merasa tdk nyaman bila sesuatu yg ketiga bukan C, padahal sesuatu yg pertama adalah A, dan yg kedua adalah B. Bagi orang yg lebih memperdulikan logika, ascending itu hanyalah estetika, selama tdk ada aturan yg mengharuskan sesuatu yg ketiga itu C. Baginya sesuatu yg ketiga itu boleh apa saja, misalnya Z. Yg terpenting baginya, tdk mungkin A=Z, sebagaimana tdk mungkin A=C bila Z=C. Tanpa melibatkan estetika sekalipun, tingkat kesulitan rasa terganggu itu bisa difahami.

Bila tujuannya adalah pemahaman tsb, perhatian terhadap estetika itu hanyalah tambahan yg tdk terlalu penting. Dgn atau tanpa estetika, mau C atau Z, hewan peliharaan atau selainnya, tujuan itu tercapai. Bila seseorang memperhatikan estetika, baik ascending (A,B,C) atau descending (Z,Y,X), maka yg ditujunya bukan sekedar pemahaman tsb, atau memang bukan pemahaman tsb, atau terbiasa merepotkan diri dgn sesuatu yg tdk merubah tujuan tsb.

Namun bagi kalangan estetis, kerepotan utk mencapai estetika itu tujuan utama dari segala tujuan. Suatu tujuan tdk tercapai bila tujuan utama tdk tercapai. Baginya, memilih C itu semudah mendapatkan Z, sekalipun kenyataannya tdk demikian. Utk mendapatkan C, dia harus menghitung dgn benar urutan berikutnya dari urutan tertentu yg harus diidentifikasi dgn benar. Hal berbeda dgn hasil acak, urutan berikutnya setelah B terserah bertambah atau berkurang berapa.

Kalangan estetis mungkin akan berdebat dgn selain mereka, dgn perdebatan yg tdk perlu. Padahal utk apa mempersoalkan pilihan sekumpulan esensi yg berbeda, bila {A,B,C} dan {A,B,Z} sama-sama memiliki tujuan t, terlebih bila C itu sebagaimana Z, tdk sama dgn A. Mau suara hewan peliharaannya itu suara anjing (C) atau burung (Z), suara itu bukan adzan (A). Hubungan logika itu sudah nampak estetis bagi kalangan logis. Bagi mereka, ketidaklogisan itu tdk estetis, sekalipun ketidaklogisannya terwujud demi estetika.

#PersepsiCahyana

0 comments :

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya