Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Permendikbud 49/2014 Pasal 1:14)

Kamis, 24 Februari 2022

Memahami Pernyataan Menag


Kalau dicermati videonya, Menag sebenarnya tdk menyamakan suara adzan dgn suara anjing, tapi memberi contoh gangguan suara. Contoh pertama, gangguan suara serentak yg tdk teratur dari rumah ibadah yg dirasakan oleh kalangan lain yg tdk satu keyakinan. Contoh kedua, gangguan suara anjing dari rumah2 tetangga yg mengganggu tetangga lainnya yg tdk memelihara anjing.

Pernyataan Menag tsb bagi saya terlalu jauh utk disebut menyamakan atau menganalogikan. Di antara dua contoh gangguan suara dipisahkan dgn kalimat, "yg paling sederhana lagi". Kata "lagi" menunjukan bahwa gangguan yg ditimbulkan adzan itu contoh paling sederhana, dan gangguan yg ditimbulkan oleh suara anjing itu contoh paling sederhana lainnya. Mari kita kontruksi kalimatnya menjadi demikian:

"Contoh paling sederhana gangguan suara adalah suara dari banyak tempat ibadah yg volumenya keras dan terasa mengganggu bagi kalangan yg tdk seiman. Contoh paling sederhana lagi adalah suara keras hewan peliharaan dari banyak rumah tetangga yg terasa mengganggu tetangga lain yg tdk memeliharanya".

Kontruksi demikian muncul dalam fikiran saya sebagai pemahaman thd apa yg dikatakan oleh Menag. Kontruksinya tentu saja akan berbeda saat pernyataan Menag saya fahami sebagai menyamakan atau menganalogikan suara adzan dgn suara anjing. Saya akan memahaminya demikian kalau ada kata "seperti" atau "seupama". Kalimat berikut ini bisa difahami sebagai menyamakan: "Suara adzan itu seperti suara anjing". Kalimat berikut ini bisa difahami sebagai menganalogika: "Suara adzan itu seupama suara anjing".

Memang tdk mudah utk memahami hal terkait keyakinan ini. Sebagian kalangan mungkin sulit utk memahami, bagaimana bisa sebagian orang merasa tdk nyaman dgn suara lonceng gereja, tetapi tdk demikian dgn lonceng lainnya. Semakin banyak sumber lonceng gerejanya, semakin kuat gangguannya. Begitu pula sebagian kalangan merasa tdk nyaman dgn suara adzan dan semakin tdk nyaman saat sumber suaranya banyak, suaranya keras dan tdk dilantunkan dgn indah.

Saya melihat pengaturan ini semacam upaya utk menurunkan level ketidaknyamanan yg dirasakan sebagian kalangan tsb, selain juga agar terwujud ketertiban suara yg merambat melalui udara. Sulit bagi kita utk merubah hati kalangan tsb, sebab yg bisa merubahnya hanyalah Tuhan. Pengaturan diharapkan bisa mencegah timbulnya ekses negatif akibat perilaku buruk kalangan tsb yg muncul saat ketidaknyamanannya memuncak. Beberapa kasus pernah terjadi krn ekses tsb.

Agama mengajarkan kita utk tdk berlebihan, termasuk dlm menggunakan volume speaker. Sikap berlebihan dalam soal apapun dapat berdampak buruk bagi diri dan orang lain, dan menimbulkan kerusakan. Instruksi Dirjen tahun 1978 terkait pengaturan volume spekaer masjid yg didorong sosialisasinya dgn surat edaran menteri merupakan ikhtiar mencegah sikap berlebih dan kerusakan yg ditimbulkannya.

#PersepsiCahyana

0 comments :

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya