Seseorang pernah bertanya, kenapa saya bekerja di Garut?. Padahal menurutnya, Garut bukan kota besar seperti Bandung, bahkan Subang menurutnya jauh lebih baik.
Saya menceritakan salah satu alasannya. Dulu selepas kuliah dan sebelum menjadi PNS, perusahaan multinasional pernah menerima saya bekerja sebagai staf IT di Jakarta Pusat. Walau dijanjikan gaji fresh graduate, tetapi gajinya berlipat dibandingkan honor yg saya terima dari kampus. Tetapi setelah memperoleh informasi diterima bekerja, satu hari kemudian saya putuskan utk mengundurkan diri. Saya kirimkan surat pengunduran diri melalui surat.
Alasan pengunduran diri saya saat itu adalah karena merasa tdk cocok dgn suhu udara di sana. Saya merenungkan suhu udara itu saat keluar dari gedung utk mengambil air wudhu. Suhu di luar terasa seperti berada di dekat tungku perapian. Saat itu saya berpikir, lebih baik tinggal di tempat yg tdk panas dari pada gaji besar tapi tubuh tdk nyaman. Jadi pertimbangan saat itu adalah kenyamanan tubuh, bukan finansial atau lainnya.
Saat ini saya terikat tugas di Garut, diperbantukan oleh negara di kampus almamater. Tetapi sebenarnya bukan itu yg membuat saya tetap memilih bertugas di Garut. Saya bisa saja mengajukan pindah tugas ke tempat lain atau memilih utk tdk lagi bertugas sebagai dosen.
Saat itu ada seseorang yg mengingatkan agar saya menjaga kesetiaan pada almamater. Saya meresponnya dgn tersenyum. Bagaimana saya tdk setia? Dulu ada teman SMA yg menawarkan pindah tugas ke perguruan tinggi negeri di tempat yg jauh lebih besar dari Garut, tetapi saya menolaknya. Bahkan sampai saat ini saya hanya mengajar di kampus almamater tempat bertugas. Memang dulu sempat mengajar di kampus lain sekitar dua semester, tapi persentasenya terlalu sedikit jika dibandingkan persentase mengajar di almamater yg sudah akan menginjak 20 tahun.
Kebetulan saya diangkat menjadi PNS barengan dgn kakak. Saya sebagai dosen, dan kakak sebagai guru. Persyaratan kenaikan pangkat dan golongan utk dosen lebih berat dari guru. Misalnya, naik ke III/b harus kuliah S2 dulu dgn biaya yg tdk sedikit. Saya harus pulang pergi Garut-Bandung utk menghemat pengeluaran. Terbayang bila saat itu tugas belajar yg membuat tunjangan berhenti, sudah pasti anak dan istri akan kekurangan biaya hidup. Dengan tunjangan berjalan saja kebutuhan dapur tersita oleh biaya kuliah. Di sisi lain, kalau tdk naik pangkat dan golongan saya pasti akan mendapatkan peringatan.
Oleh karenanya pangkat dan golongan kakak lebih cepat naiknya dibandingkan saya. Melihat hal itu, naluri orang tua pasti hadir, sehingga beliau meminta saya utk pulang ke Subang dan mengambil tugas PNS selain dosen di sana. Tetapi karena tugas ini diperoleh bukan krn keinginan, saya menganggapnya sebagai pilihan Tuhan yg harus dijalani dgn ikhlas. Saya tdk pernah bermimpi utk menjadi dosen sebelum atau setelah lulus kuliah sarjana.
Alasan lain yg membuat tdk beranjak dari Garut adalah karena selepas kuliah saya berniat utk membantu alm Kyai Anwar Musaddad, bukan krn siapa yg memimpin kampusnya. Oleh krn nya saya tdk pernah banyak pertimbangan saat melakukan apapun yg terbaik utk almamater. Ada kesempatan utk memajukan IT kampus, saya lakukan semampunya, bahkan dgn swadaya sendiri dan dgn bantuan adik-adik tingkat. Ada kesempatan utk memperoleh bantuan eksternal, saya kerjakan tanpa terpikir sama sekali soal mencari keuntungan finansial dari bantuan tsb. Saya tdk kaya, tetapi saya merasa cukup kaya dgn membantu.
Namun tentunya ada banyak hal yg dikorbankan. Waktu yg terlalu banyak utk melayani masyarakat membuat kesempatan mengurus diri sendiri, seperti pangkat, golongan, dan jabatan menjadi sedikit. Sikap loyal seperti itu sedikit banyak berdampak pd keluarga dlm jangka panjang. Saya meyakini, Tuhan dapat menunjukan kapan saya harus menyeimbangkan pelayanan kpd diri sendiri dan selainnya, serta memusatkan pandangan pada keluarga, baik dgn atau tanpa meninggalkan Garut.
#BiografiCahyana
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya