Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Permendikbud 49/2014 Pasal 1:14)

Rabu, 03 Februari 2010

Ikhlas dalam Kekhusyuan

Wujud diri sendiri itu adalah dosa paling besar, lebih besar dibandingkan semua dosa yang ada
(Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Sirril Asrar)

Apabila kita khusyu, melihat dengan mata hati kita sehingga tersaksikan oleh kita hal-hal yang mengingatkan kepada sumber ketentraman bathin, maka akan bersinarlah wajah kita. Kita yang tertutup mata hatinya, maka wajah kita tidak bersinar sama sekali. Walau demikian, bukan sinar wajah yang kita butuhkan dan kita tuju, sebab sinar itu merupakan akibat dari khusyu dan ujian keikhlasan. Yang kita tuju adalah khusyu dan khlas, hingga kita benar-benar dekat kepada Allah.

Karena Allah menyeru agar hamba-Nya tidak melupakan dunia dan agama dijadikan-Nya jalan meluruskan jiwa dalam mengelola dunia, maka usaha kita dilaksanakan untuk dua alam, yakni alam duniawi dan ukhrowi. Alam ukrowi tidak seperti duniawi, ia tidak bisa dilihat, karena kita terhijabi oleh usia, dan kita bukanlah orang kepercayaan-Nya yang dimampukan untuk melihat akirat di dunia. Maka penyaksian kita kepada akhirat hanyalah ingatan dan perasaan sebagai penyempurna ingatan. Yang kita perjuangkan adalah menyaksikan dunia dengan penyaksian kepada akhirat, pembandingan-pembandingan, dan konsekuensi di akhirat atas semua amal dunia.

Ikhlas itu adalah kita ingin memberi kemaslahatan kepada orang lain namun tidak menganggap diri mampu memberi kemaslahatan tersebut; Melihat tidak ada kemaslahatan yang dapat diperoleh dari orang lain, namun tetap menuntut diri untuk selalu mengambil manfaat dari keberadaan orang lain. Kemaslahatan itu dari Allah, dan bukan dari mahluk-Nya.

Muamalah dengan manusia adalah untuk menghadapi karunia Allah yang dapat berupa ni'mat mapun bala. Karunia itu diadakan-Nya sebagai jalan untuk mencapai derajat pengbdi yang mengetahui dan memahami Allah Sang Penguji.

Dalam keikhlasan, saat kita memberi dan menyadari bahwa Allah lah yang sesungguhnya memberi, maka kita sirna sebagai subjek pemberi. Tidak ada dalam pemberian itu istilah Allah dan hamba-Nya yang memberi, tetapi Allah lah saja yang memberi. Dengan hadirnya Allah, maka kita harus sirna sebagai subjek pemberi. Namun tidak perlu lupa kepada yang lainnya dalam kehadiran-Nya tersebut, karen kehadiran-Nya bukanlah kehadiran Dzat-Nya.

2 komentar :

  1. Ikhlas bagi hamba Allah yang melayani hamba Allah lainnya adalah dilihat dari keinginan untuk memberi kemaslahatan kepada orang lain. Hamba Allah harus menerima kenyataan bahwa dirinya lemah untuk memberikan kemaslahatan tersebut kecuali dengan izin-Nya. Ia pun tidak dapat mengharapkan bantuan kepada hamba Allah lainnya karena tidak ada kemaslahatan yang dapat diperoleh dari mereka kecuali dengan izin-Nya. Jika Allah memberi izin atas adanya kemaslahatan tersebut, maka hamba Allah akan mendapatkan pertolongan-Nya dan jawaban atas harapan kepada-Nya dari keberadaan orang lain. Karenanya ia tetap menuntut dirinya untuk selalu mengambil manfaat dari keberadaan mereka. Kemaslahatan itu dari Allah, dan bukan dari mahluk-Nya.

    BalasHapus
  2. Wujud diri sendiri dalam konteks Ubudiyah adalah tidak memenuhi hak Allah (sombong). Wujud diri sendiri dalam konteks Rubbubiyah adalah mengakui hak Allah sebagai haknya (tidak mengagungkan Allah). Kebalikannya adalah lenyapnya wujud diri karena terbitnya Cahaya. "Keagungan adalah sarung Ku dan kesombongan adalah pakaian Ku. Barangsiapa merebutnya maka Aku akan menyiksanya" (H.R. Muslim)

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya