Soal Aisyah, coba lihat kultur Arab saat itu, apakah pernikahan dengan wanita di bawah umur dianggap tidak lajim? Pedhofil itu ketertarikan kepada anak di bawah umur, sementara Muhammad menikahi Aiysah tidak berangkat dari ketertarikan, tetapi dari penghormatan kepada ayahnya Abu Bakar yang meminta Muhammad menikahi Aisyah untuk mengikatkan tali kekerabatan. Pedhofil itu terkait hubungan badan dengan anak yang belum baligh, memangnya Muhammad mencampuri Aiysah dalam kondisi belum baligh?
Tentang Maria Qibthiyah r.a. yang berasal dari desa Anshina, beliau adalah hadiah dari Raja Muqauqis seorang penguasa suku Qibthi di Alexandria Mesir. Nabi bermalam bersama Maria dengan status milk al-yamin (hamba sahaya), dan hal itu diperkenankan dalam kultur Arab saat itu atau bukan merupakan sesuatu yang menyimpang. Kemudian Muhammad mengubah statusnya menjadi istri. Dengan demikian Muhammad tidak memiliki cela dalam hal ini.
Tentang Zainab r.a., sangat jelas bahwa Zainab adalah bekas istri Zaid anak angkat Muhammad. Di dalam Islam, anak angkat adalah orang lain dan bukannya anak sendiri, sehingga bekas istri anak angkat sama dengan bekas istri orang lain. Muhammad menikahi Zainab yang sudah bercerai dari Zaid. Pernikahan itu tercela jika dilakukan dengan wanita yang masih menjadi istri orang lain, dan Muhammad tidak melakukannya. Dengan demikian Muhammad tidak memiliki cela dalam hal ini.
Tentang Raihanah r.a. yang pada awalnya merupakan tawanan dari bani Quraizah. Muhammad pernah bermalam bersama Raihanah dengan status milk al-yamin (hamba sahaya), dan hal itu diperkenankan dalam kultur Arab saat itu atau bukan merupakan sesuatu yang menyimpang. Setelah Raihanah memeluk Islam, Muhammad membebaskannya dan menikahinya pada bulan Muharam 6 H di rumah Salma binti Qais al-Najjariyah. Dengan demikian Muhammad tidak memiliki cela dalam hal ini.
Tentang Safiyah r.a., beliau memiliki garis keturunan dari Nabi Harun A.S. Para lelaki kaumnya dijatuhi hukuman mati oleh Sa’ad mengikuti hukum konvensional Arab saat itu atas kesalahan penghianatan yang tidak termaafkan. Dalam bukunya, Karen Armstrong menuliskan bahwa hukuman konvensional seperti itu difahami dan bisa diterima oleh orang Arab saat itu, dan hukuman mati atas suku Quraizah atas dasar politik (yakni penghianatan) dan bukan perintah agama. Sebelumnya Muhammad tidak menjatuhi suku Nadhir dan Qaunika dengan hukuman konvensional tersebut melainkan hukuman pengusiran dari Madinah.
Pada awalnya Safiyah sebagai tawanan perang dengan status milk al-yamin diberikan Muhammad kepada Dihyah namun setelah dinasihati oleh seseorang tentang keutamaan Safiyah akhirnya Muhammad menyuruh Dihyah untuk mengambil selain Safiyah.
Anas berkata bahwa Muhammad menikahi Safiyah setelah dibebaskan dari status tawanan perang bukan sebagai ummul walad (hamba sahaya) tetapi sebagai istri. Tatkala Muhammad menawarkan dibebaskan atau masuk Islam, Safiyah memilih, “Aku lebih memilih Allah dan Rasul-Nya” (Riwayat Jabir).
Tamam ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Ja’far ibn Abdullah al-Junaid menyebutkan dalam kitab Fawa’id, dari Anas dia mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah berkata kepada Safiyah, “Apakah engkau mau bersamaku?”. Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, itulah yang aku harapkan selama aku masih berada dalam kemusyrikan. Bagaimana tidak, Allah ternyata membukakan jalan itu kepadaku setelah aku masuk Islam.”
Abi Ya’la meriwayatkan dengan sanad hadist sahih, dari Safiyah r.a. dia berkata, “Ketika Rasulullah menawanku, tidak ada orang yang paling aku benci selain dia. Betapa tidak, dia adalah orang yang telah membunuh ayah dan suamiku dalam perang (Khaibar). Setelah kejadian tersebut, beliau tidak henti-hentinya meminta maaf dan mengatakan ‘Wahai Safiyah, sesungguhnya ayahmu adalah orang yang senantiasa mencekoki orang-orang Arab untuk terus menentangku.’ Hingga akhirnya, kebencianku terhadap Rasulullah menjadi luntur dan hilang. Maka saat ini, tidak ada datupun orang yang paling aku cintai kecuali Nabi SAW.”
Dengan demikian Muhammad tidak memiliki cela dalam hal ini, sekalipun orang kafir dan munafik tidak menyukainya.
Sebagai catatan Karen Armstrong mengatakan bahwa hukum konvensional / tradisional yang berlaku di Arab saat itu kepada penghianat adalah membantai para lelaki dan menjual perempuan dan anak mereka sebagai budak atau dipaksa untuk melakukan kegiatan prostitusi. Tragedi Quraizah sekalipun tidak dapat diterima pada masa kini, tetapi merupakan hal yang tidak terelakan pada masa itu di dalam kultur Arab yang memiliki hukum konvensional. Dan Muhammad bersikap sebagai kepala suku Arab yang menghormati hukum tradisional sekaligus meluruskannya (seperti misalnya menghilangkan praktik mutilasi terhadap mayat yang menjadi korban perang dalam hukum perang Islam).
jadi menurut anda tindakan tindakan nabi tersebut adalah sesuai kultur arab saat itu dan bukan merupakan bagian ajaran islam dan sunah nabi yang harus selalu diikuti dan diteladani?
BalasHapusIslam telah secara tuntas mendorong masyarakat membebaskan hamba sahaya. Masyarakat dunia kini bahkan sepakat, hamba sahaya atau perbudakan dihilangkan sebagaimana semangat awal Islam. Kini semua orang adalah manusia merdeka, sehingga hampir tidak ditemukan lagi praktik perbudakan atau seseorang yang memiliki hamba sahaya. Kondisi tersebut secara otomatis menghilangkan kultur sebelumnya yang pernah dijalani pada masa Ibrahim hinggga Muhammad SAW. Praktik mengawini hamba sahaya sebagaimana yang dilakukan Ibrahim dan Muhammad SAW sekalipun hukumnya masih tetap halal, tapi hampir tidak terjadi pada masa sekarang. Dalam kondisi seperti ini, syariat ini secara otomatis tidak dapat dipraktikan karena hampir umumnya muslim tidak ada yang memiliki hamba sahaya.
BalasHapusAdapun suku Quraizah dijatuhi hukuman mati oleh Sa'ad berdasarkan hukum mereka, yakni hukum Yahudi. Sementara Rasulullah SAW menerapkan hukum lainnya terhadap dua suku Yahudi, yakni pengusiran, hukum yang diberlakukan Qurais kepada Muslim Mekah.
Mengawini hamba sahaya dihalalkan menurut syariat Islam, sementara hukuman mati ala 'Quraizah' merupakan syariat Yahudi.