Dini hari, tgl 23 Januari 2021, saya bermimpi duduk dlm halaqah alm Gus Dur. Dlm pembicaraannya, beliau menyebut orang yg kepanjangan namanya adalah nama tempat di Bogor. Lalu ada seseorang yg bertanya, "Dia orang mana Gus?".
"Ya orang Bogor", jawab beliau
Saya dan semua orang yg hadir di sana tertawa.
Anak muda di samping kanan saya menanyakan jati diri saya. Saya jawab, "Alumni kampus STTG".
Sayapun ingin mengakrabkan diri dgn seseorang yg duduk di antara saya dan anak muda tersebut. Saya bertanya, "Anda dari mana?".
"Dari Muhammadiyah", jawab pria tersebut.
"Oh, saya juga pernah jadi mahasiswa di STAIDA", saya melanjutkan perbincangan tsb.
Pria tersebut bertanya, "STAIDA yang mana?"
Saya mulai berfikiri keras utk mengidentifikasi lokasi kampus yg dimaksud. Dan seperti biasanya, saat logika mulai bekerja, saya keluar dari alam mimpi dan terbangun.
...
Cerita saya tentang menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Arkom Muhammadiyah memang benar adanya, walau baru mendaftar dan tdk sempat duduk di bangku kuliahnya. Selepas kuliah sarjana, saya mengambil studi peradaban Islam dgn tujuan utk menunjang pengembangan radio Yamusa FM yg merupakan Edutainment Station yg diharapkan bernuansa Islami.
Waktu itu saya sampaikan inisiatif kuliah tsb kpd almarhum pak Abdullah Margani Musaddad. Beliau berkata, "Utk apa menghabiskan waktu utk kuliah di jenjang yg sama?".
Maksud beliau, seharusnya saya kuliah Magister saja yg menunjang pekerjaan saya di kampus sebagai pengajar.
Inisiatif saya masuk ke studi peradaban Islam dgn biaya sendiri selain utk alasan tersebut, juga saya merasa perlu melengkapi keilmuan teknik / keduniaan dgn bidang keagamaan. Kebetulan saat itu saya sedang menikmati bacaan terkait peradaban dan pergerakan Islam di Indonesia dan di luar negeri.
Saya tdk pernah masuk kelas di kampus tsb krn mendengarkan nasihat almarhum. Setelah beliau wafat barulah saya kuliah Magister di ITB dgn biaya dari kampus, tepatnya saat prof Ali Ramdhani sebagai ketua STT Garut.
Ada rentang waktu yg lama antara obrolan saya dgn almarhum sampai kuliah Magister. Alasannya krn saya menyibukan diri dgn kegiatan pengembangan infrastruktur TI kampus, dan saya bukan tipikal orang yg terbiasa meminta kpd orang lain. Jangankan kpd orang lain, kpd keluarga pun tdk terbiasa meminta. Maksudnya, bila saya saat itu meminta disekolahkan Magister seperti keinginan almarhum, mungkin saja beliau akan menyekolahkan.
Kampus mendorong saya utk mendaftar kuliah Pascasarjana. Saat itu saya mengikuti saran prof utk mendaftar ke ITB. Saat menerima surat hasil ujian masuk ITB dari pejabat STTG yg saat itu berkumpul dgn beberapa staf, nampak roman kebahagiaan. Saya pun membacanya, dan tertulis bahwa saya diterima.
Saya sampaikan kpd prof bhw saya hanya punya niat dan tdk punya biaya. Oleh krnnya, tdk ada masalah bagi saya utk tdk melanjutkan prosesnya. Tetapi prof memutuskan saya akan dibiayai kampus sampai selesai.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 2011, sayapun lulus kuliah. Kampus membuat syukuran utk kelulusan saya tsb. Bahkan istri saya pun diminta hadir. Kebetulan kampus merayakannya dgn hidangan Pizza yg disukasi oleh istri.
Dlm acara tersebut saya mengucapkan terima kasih kpd kampus yg telah membantu proses penyelesaian studi. Kuliah pulang pergi Garut - Bandung tiap hari memang terasa melelahkan dan bahkan membuat sakit. Tetapi saya menikmatinya sebagai bagian dari proses kesungguhan dlm belajar. Teringat DR Husni Sastramiharja berkata di ruang kelasnya di ITB, "Rinda sudah khatam jalan Garut - Bandung. Tularkan semangat itu kepada yg lainnya".
...
Hari ini, setelah saya menuliskan cerita ini, saya menyadari bahwa akhirnya harapan almarhum terpenuhi. Saya telah mendengarkan dan memenuhi nasihatnya yg bermanfaat. Ada banyak pintu kesempatan setelah saya kuliah Magister, mulai dari mendapatkan sertifikasi dosen hingga kesempatan2 dlm kegiatan pengabdian kpd masyarakat.
Saya teringat perkataan pak Wahid dari Radnet, "Biasanya lulusan ITB itu suka banyak kegiatan di luar". Dan benar saja, ada banyak kegiatan yg saya lakukan di luar, mulai dari membangun jejaring kerjasama utk kampus, hingga menjadi narasumber di banyak kegiatan.
Saya begitu menikmati kegiatan lapangan ini sehingga hampir jarang duduk di kursi jabatan tugas tambahan saya di kampus. Tetapi ada banyak hasil kegiatannya yg memberi angka kredit bagi akreditasi, mulai dari kegiatan lokal, nasional, hingga internasional. Dan berkas luaran saya di Google Drive terkait tugas tambahan ini juga sangat banyak dan bermanfaat sebagai bukti utk akreditasi.
Semua itu terjadi krn saya lebih banyak kerja remote dan WFH, sebelum jaman WFH era pandemi. Waktu kerja saya tdk dibatasi waktu kerja kantor. Saya tdk memperdulikan apakah pekerjaan tsb dianggap lembur atau saya dianggap tdk hadir, yg terpenting saya menikmatinya dan hasil kerja yg terekam di Google Drive / Laptop menunjukan kehadiran saya utk berkontribusi mengembangkan kampus almamater. Alumni yg menikmati studinya akan selalu mencintai almamater dan berbuat yg terbaik semampunya.
...
Bacaan pergerakan membuka pintu penerimaan saya kepada pemahaman atau semangat keagamaan yg ekstrem. Tetapi dominasi bacaan jihad besar melawan hawa nafsu membuat pintu tersebut banyak tertutup. Suatu ketika prof berkata bahwa hanya sedikit polesan lagi saya bisa lebih moderat dlm beragama. Dan sepertinya perkataan beliau tsb merupakan doa, sehingga saya sekarang ini mulai menikmati alam moderasi dlm beragama.
Seringkali saya tersenyum saat melihat banyak teman kondisinya seperti saat saya mempelajari pemahaman keagamaan ekstrem. Seringkali saya disebut tdk pro Islam, liberal, hingga munafik oleh orang yg tdk banyak mengetahui apa yg pernah saya baca dan alami. Saya tersenyum bukan menertawakan mereka, tetapi mengingat hidup saya yg berproses, di mana saya bersyukur telah melewatinya dan berada di alam fikir keagaamaan yg jauh lebih baik dari masa lalu. Teringat perkataan ust. Aidid, guru fiqh saya, bahwa kita akan tersenyum saat mengingat bagaimana kita dulu.
Saya tdk lagi melihat sinis kpd mereka yg sikap dan perkataannya besebrangan dgn ajaran Islam, tetapi mengasihinya; seraya memahami bahwa hidup ini berproses, dan tdk ada yg tahu akhir hidup ini siapa yg akan lebih beruntung. Hal tsb mengharuskan saya utk belajar bersikap tawadhu kpd siapapun, pelajaran yg teramat sulit di saat semangat masih meletup-letup.
#BiografiCahyana
http://rindacahyana.sttgarut.ac.id/2021/01/tidak-jadi-kuliah-sarjana-lagi.html
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya