Menurut kamus daring Collins, Buzzer adalah orang atau sesuatu yg berdengung, yakni suara yang panjang dan terus menerus, seperti suara yang dihasilkan lebah saat terbang. Di media sosial, Buzzer dikenal sebagai orang atau sekumpulan orang yg dibayar jasanya utk membangun opini publik tentang seseorang atau sesuatu. Buzzer memiliki jumlah pengikut yg jauh lebih sedikit dibandingkan Key Opinion Leader (KOL) yg merupakan sosok terkenal. Buzzer digunakan oleh KOL utk menaikan engagement dari opini KOL agar menjadi viral dan mempengaruhi masyarakat.
Menurut kamus Cambidge, post-truth berkaitan dengan situasi di mana orang lebih suka menerima argumen berdasarkan perasaan dan keyakinannya, dibandingkan berdasarkan fakta. Menurut Katherine Connor Martin, kepala divisi Kamus AS Oxford, post-truth menunjukan keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dari pada daya daya tarik perasaan dan kepercayaan pribadi. Oleh karenanya, opini publik dapat terbentuk oleh hoax atau kecurigaan.
Internet memberi kesempatan bagi setiap orang utk membuat dan menyebarkan berita di media sosial tanpa melalui proses pemeriksaan yg ketat sebagaimana halnya media mainstream. Hal demikian memungkinkan beritanya merupakan opini yg dibangun oleh perasaan dan kepercayaan pribadi yg tdk sesuai dgn fakta sebenarnya. Sebagian di antara opini tersebut merupakan hasil pengaruh kampanye KOL dan/atau Buzzer. Berbeda dgn Buzzer, para pembuat opini ini tdk mendapatkan bayaran, tetapi mendapatkan manfaat lain, misanya terpenuhinya perasaan suka atau bencinya kepada seseorang atau sesuatu.
Dalam struktur pohon yg melibatkan KOL dan Buzzer, para pembuat opini ini merupakan daun dari ranting Buzzer yg terhubung ke akar KOL. Namun banyak pula yg tdk terhubung dgn Buzzer atau KOL, mereka membuat opini atas inisiatifnya sendiri. Menariknya, sebagian kalangan menyebut mereka sebagai Buzzer karena opininya sejalan dgn opini yg dibangun oleh Buzzer atau sejalan dgn kepentingan Buzzer. Padahal mereka membangun opini atas inisiatifnya sendiri, bukan berdasarkan kontrak bisnis seperti Buzzer.
Istilah Buzzer kini digunakan oleh sebagian orang utk melabeli orang lain yg pendapatnya di medsos dianggap memihak seseorang atau sesuatu yg tdk disukainya. Pelabelan ini terjadi karena post truth, di mana yg menjadi sandaran pelabelannya bukanlah fakta, tetapi perasaan atau keyakinan pribadi. Faktanya, orang lain yg disebut sebagai Buzzer tersebut bukanlah orang yg dibayar jasanya utk membangun opini publik tentang seseorang atau sesuatu.
Seseorang dapat menganggap buruk Buzzer yg membangun opini baik tentang seseorang atau sesuatu yg tdk disukainya. Saat mengalami fallacy berupa generalisasi keliru, Ia menyebut siapapun yg membangun opini seperti itu dgn panggilan Buzzer, sekalipun faktanya orang yg dituduhnya itu tdk memiliki kontrak jasa kampanye seperti Buzzer.
Fallacy adalah salah satu faktor yg mempengaruhi perasaan atau keyakinan pribadi yg buruk atau aneh. Fallacy menjauhkan siapapun yg mengidapnya dari kebenaran, di mana antara fakta dgn selainnya nampak tdk ada perbedaan, di saat perasaan atau keyakinan pribadi menjadi lebih dominan. Dengan demikian, kunci dari seluruh masalah yg disampaikan sebelumnya adalah kemampuan berfikir. Setiap orang harus mampu berfikir dgn berbagai pendekatan teori kebenaran, dan terbiasa utk cek fakta. Peningkatan indeks literasi dapan membangun kemampuan tersebut.
#PersepsiCahyana
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya