Dijejali dengan teori-teori konspirasi, ujaran-ujaran kebencian dan fitnah-fitnah, demokrasi tidak lagi menjadi arena adu argumen, melainkan berubah menjadi sesi-sesi provokasi yang menghipnosis massa dengan sentimen-sentimen kolektif. Tujuan utamanya bukanlah menyampaikan informasi yang bernas, namun sekadar menggugah emosi bahkan kemarahan atau kebencian pada yang lain. Reproduksi hoaks, ujaran kebencian, fitnah, teror dan berbagai kekerasan simbolis lainnya memang meningkatkan kompleksitas sosial dan dapat menggiring pada chaos, namun hukum qua sistem mereduksi kompleksitas itu.
Berbagai komponen demagogi post-truth, seperti hoaks, berita palsu, ujaran kebencian, sentimen dikenal sebagai patologi komunikasi. Post-truth semakin mudah menyebar bila disertai dengan atribut kesakralan dengan sentiment keagamaan. Akbatnya timbul rasa kebencian dan intoleransi. Persatuan nasional mendapat ancaman dari maraknya berita bohong, ujaran kebencian dan intoleransi.
Daya nalar akan nilai-nilai etik menghilang dikalahkan ego pribadi yang menolak untuk memercayai informasi akurat sekalipun didukung data dan fakta empiris dari sumber yang bereputasi dan terpercaya. Post truth pada akhirnya mudah dan cap berkelindan dengan xenophobia, bigotry dan hipocrycy. Pada akhirnya yang tersisa adalah kedangkalan pemahaman akan realita, glorifikasi kebencian pada siapapun yang tidak sepaham dan merosotnya nalar-etis.
Dikutip dari Putro dkk. (2020)
#LiterasiDigital
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya