Di masa SMA dulu, saya pernah diberi tahu oleh mas Yudho sebuah buku yang berjudul al-Hikam. Saya temukan buku itu di perpustakaan masjid sekolah pada jam istirahat. Begitu saya baca, ternyata isinya menarik. Tulisan Ibnu Athaillah tersebut memunculkan dorongan jiwa untuk membangun perasaan dekat dengan Sang Pencipta. Dorongan yang terbentuk dengan sendirinya, seakan bacaan itu adalah makanan hati yang membuat hati tumbuh dan sehat. Dorongannya semakin kuat saat saya mengikuti kebiasaan memperbanyak bacaan dzikr di dalam hati yang menjadi kebiasaan beberapa teman di Generasi Muslim al-Muhajirin. Umumnya kami saat itu selalu membawa tasbih 33 biji atau alat penghitung mekanis. Pada puncaknya, saya memilih untuk melepaskan alat hitung tersebut karena merasa dzikir nya tidak perlu dihitung dan tidak perlu terlihat oleh siapapun. Dzikir pilihan saya waktu itu adalah "Allah" dan dilafadzkan di dalam hati seharian terus menerus.
Rasa kedekatan dan dzikir itu masih ada saat saya mengikuti OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) di Sekolah Tinggi Teknologi Garut. Setiap hari di awal waktu kegiatannya, kami dibariskan sesuai jurusan dan memasuki sesi uji mental. Melihat kegiatan uji mental di awal waktu itu mengingatkan saya kepada kegiatan uji mental yang dilakukan oleh alumni pramuka saat perkemahan pramuka penggalang. Dari dulu saya tidak pernah memahami manfaatnya sehingga saya tidak menyukainya. Ketidaksukaan itulah yang membuat saya dulu menolak permintaan pembina Pramuka di SMA untuk bergabung di pramuka penegak dan lebih memilih aktif di Palang Merah Remaja.
Saat duduk berbaris itu, saya memilih untuk tidak menyibukan hati dengan kegiatan yang secara pribadi dianggap tidak bermanfaat. Suruhan panitia agar teman saya menghisap banyak rokok sekaligus sebagai hukuman hanya memberikan kesenangan bagi panitia tetapi tidak memberikan faidah apapun bagi teman saya tersebut. Mata ini dipejamkan lalu dzikir pun dilisankan di dalam hati. Anehnya karena memilih kesibukan seperti itu, saya hampir "tidak disentuh" oleh kakak tingkat sampai akhir kegiatan. Sementara saya mendengar beberapa teman di sekitar menjadi objek uji mental. Dan pada suatu kesempatan ada kakak tingkat yang menyempatkan memeriksa denyut nadi. Sepertinya saya disangka sakit, mungkin karena terlihat tidak banyak bergerak atau merespon lingkungan.
Mungkin agak sulit bagi siapapun untuk memastikan kondisi saya hanya dengan melihat penampakan lahir saja. Lain halnya dengan sopir yang kendaraan umumnya saya naiki. Saat itu saya duduk di jok depan. Dalam perjalanan saya memutuskan untuk melaksanakan salat Ashar di dalam kendaraan. Beberapa waktu kemudian, saya mendengar sopir menurunkan penumpang. Saat kondektur mau menurunkan saya, sopirnya melarang. Begitu selesai salat, saya melihat kendaraan sudah terparkir di terminal Cileunyi. Sopirnya masih duduk di kursinya. Saya pun pamit meninggalkan mobil elf tersebut.
Di hari terakhir itu ada mahasiswi dari panitia OSPEK yang membuka komunikasi dengan saya. Bagian perbincangan yang masih diingat adalah tentang apakah saya sudah memiliki kekasih atau belum. Waktu SMA dulu saya memegang prinsip, tidak akan mencintai siapapun (memiliki kekasih) sebelum mampu mencintai Allah dengan benar. Saat itu saya merasa belum dapat mencintai Allah dengan benar sehingga tidak layak menjadi kekasih siapapun. Oleh karenanya hingga masa menjadi mahasiswa baru saya memilih untuk menjomblo. Rasa suka saya terhadap teman di SMA atau di Generasi Muslim al-Muhajirin saya tepiskan karena prinsip tersebut.
Mungkin karena pemahaman dan istiqamah dalam prinsip tersebut, pertanyaan kakak tingkat tersebut saya jawab "sudah", tetapi dengan pemahaman di dalam hati bahwa kekasih yang dimaksud adalah Allah. Saat ia bertanya di mana kekasih tersebut, saya jawab, "ada di mana saja". Saat mahasiswa kakak tingkat lain yang berkaca mata mengatakan bahwa saya play-boy, saya tidak menanggapi. Jawaban tersebut yang disampaikan dengan sikap merendah bagi orang yang tidak faham maksud kekasihnya akan terasa provokatif. Hasilnya saya dicecar dengan pertanyaan lainnya yang sampai kapanpun tidak akan bertemu karena si penanya dan yang ditanya berhadapan dengan noise semantik akibat perbedaan konteks tersebut.
Semua ungkapan tentang Allah itu membukakan celah di dalam hati sehingga munculah gelombang rasa yang memicu banjir air mata. Saya benar-benar tidak bisa menahan dan menghentikannya, bahkan hingga acara mushofahah antara mahasiswa baru dengan panitia. Kakak tingkat itu menyatakan permohonan maafnya, dan saya tidak bisa berkata apa-apa karena merasa bukan kesalahannya yang menyebabkan air mata ini mengalir. Air mata itu disebabkan karena pilihan jawaban dari dua pilihan yang saya ambil. Mahasiswi itu kini menjadi istri salah satu wakil ketua Sekolah Tinggi Teknologi Garut. Ia selalu menyapa dengan ramah hingga sekarang kalau bertemu di kampus.
Selepas OSPEK itu saya tetap memandang uji mental dan perpeloncoan sebagai aktivitas tidak bermanfaat. Sebagian adik tingkat dan teman seangkatan yang menjadi panitia OSPEK pada tahun 2001 itu tidak menyukai pandangan tersebut. Mereka ingin uji mental dan perpeloncoan yang sudah menjadi tradisi turun temurun tersebut tetap ada. Walau demikian, ketua BEM sependapat dengan saya dan meminta agar dibuatkan buku panduan OSPEK untuk merubah tradisi tersebut. Kesempatan tersebut saya gunakan dengan baik dengan niat untuk membangun perubahan.
Sofyan Munawar (ujung kiri), Ketua BEM STTG era 2001
Di dalam buku tersebut saya sampaikan bahwa pengalaman penting yang dibutuhkan oleh mahasiswa baru adalah simulasi pengalaman perkuliahan dan sikap intelektual. Perpeloncoan yang dilakukan oleh siapapun demi kesenangan emosional tidak boleh menjadi bagian dari budaya intelektual. Secara ekstrim saya menyebut perpeloncoan sebagai aksi balas dendam yang rantainya harus diputus. Itulah sebab kenapa sebagian panitia OSPEK menyoraki saya saat dipanggil ke depan untuk diperkenalkan kepada mahasiswa baru. Bagi saya saat itu, kritik terhadap perpeloncoan dan perubahan lebih berharga dari menanggapi sorakan kekanak-kanakan tersebut.
Pada akhirnya kementrian riset teknologi dan pendidikan tinggi menerbitkan kebijakan baru OSPEK tahun ajaran 2015/2016. Kepanitian tidak lagi dipegang oleh mahasiswa, tetapi oleh lembaga. Menteri riset teknologi, dan pendidikan tinggi mengatakan bahwa aturan baru diberlakukan untuk menghindari kecenderungan panitia dalam melakukan misi balas dendam kepada mahasiswa baru. Kementrian mengundang pimpinan perguruan tinggi untuk mencegah OSPEK menjadi ajang perpeloncoan.
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya