Selepas SMA, bapak memasukan saya ke test masuk STPDN. Pertimbangannya adalah krn sekolahnya gratis, dan setelah lulus bisa jadi PNS. Saya memutuskan utk berhenti dari tesnya krn ada hal yg saat itu saya anggap tdk sejalan dgn nilai agama, seperti berdiri telanjang di atas meja utk pemeriksaan kesehatan dgn dilihat oleh banyak peserta lain yg juga dlm kondisi telanjang.
Selepas itu sempat daftar masuk informatika ITB dan manajemen industri IPB, tapi mungkin krn kurang persiapan krn waktu tersita oleh tes STPDN, atau krn peminatnya membludak, saya tdk diterima masuk di sana. Intinya, belum rejekinya masuk dua kampus tsb.
Orang tua kemudian memasukan saya ke kampus Sekolah Tinggi Teknologi Garut yg saat itu muatan pembelajaran agamanya sangat banyak. Mata kuliah agamanya dari semester I sampai VI. Pembelajaran agamanya ditambah selepas Maghrib dan Subuh di ponpes kampus. Pemahaman agama ini menjadi lebih terhubung sanad keilmuannya dan akademis.
Selepas kuliah, saya ikutan tes CPNS Pemkab Garut bareng teman utk bidang informatika. Tesnya tdk pernah saya ikuti krn surat panggilannya tertahan di teman tsb. Saya tdk marah dan menganggapnya angin lalu.
Saya mulai mengajar di kampus setelah ditawari oleh pak kyai yg saat itu menjabat pimpinan kampus dan bu guru yg saat itu menjabat kaprodi. Saya tdk menolak pekerjaan tsb, tetapi juga tdk memberi kepastian tetap akan bekerja di Garut.
Sempat melamar ke perusahaan Multi-Nasional di Jakpus dan diterima, tetapi memilih pulang lagi ke kampus krn pertimbangan spirituil. Saat itu saya berfikir, lebih baik bekerja di lingkungan yg sejuk walau gajinya tdk sebanyak di Jakarta.
Beberapa tahun kemudian, setelah dua tahun menjadi asisten dosen dan diberi info penerimaan CPNS di Kemendikbud RI oleh teman, saya berniat memberi tahu info tsb kpd para guru di kampus. Tapi kemudian malah ikut daftar. Sempat mau mundur dari tesnya, tapi dinasihati oleh guru utk melanjutkannya, sehingga akhirnya diterima masuk CPNS. Dan atas usaha pak kyai, alhamdulillah jadi diperbantukannya di almamater.
Orang tua tentunya senang, sebab akhirnya PNS menjadi pekerjaan kedua anaknya di tahun yg sama, dan sama2 di lembaga pendidikan bidang informatika, hanya jenjangnya saja yg berbeda. Anak lelakinya tdk perlu menjadi PNS melalui jalan yg ada pukulan fisiknya. Bila sdh ditakdirkan, pekerjaan itu tdk akan ke mana. Dan semuanya terwujud krn kesungguhan orang tua dlm mencerdaskan kehidupan anak-anaknya dgn doa dan usaha.
Jalan karir saya memang tdk selancar kakak yg satu angkatan PNS nya. Utk naik ke golongan III/b saya hrs kuliah S2 dulu. Dan utk naik ke golongan IV seperti kakak, saya hrs kuliah S3. Kakak tdk menemui hambatan seperti itu. Ibu sempat menyarankan agar saya pindah tugas, tetapi saya memilih utk ikhlas menjalaninya.
Orang tua sangat demokratis, membiarkan anak memilih yg terbaik dari pilihan terbaik yg ada. Orang tua mengajarkan kepemimpinan, di mana anak harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya atas diri. Hal tsb seakan kebebasan yg menyenangkan, padahal merupakan beban yg besar. Sebab anak hrs bersikap amanah thd kebebasan memilih yg diberikan oleh orang tuanya, tdk mengecewakan orang tuanya.
Saya dapat mensyukuri nikmat ilmu di almamater dgn berkontribusi apapun, seperti membawa mahasiswa asing ke kampus dan membawa mahasiswa kampus ke luar negeri. Nikmat itu ditambah oleh almamater dlm wujud bantuan biaya kuliah saat menempuh pascasarjana di ITB. Allah membukakan jalan mensyukurinya dgn membangun Unit Kerja Sistem Informasi, sesuai konsentrasi bidang ilmu komputasi saya di ITB. Sekarang unit kerja tsb sudah masuk dalam struktur organisasi, dan menjadi ujung tombak pelaporan kinerja tridharma perguruan tinggi. Jalan lainnya yg terbuka selepas kuliah adalah dgn memunculkan mata kuliah pilihan Sistem Informasi dlm kurikulum baru prodi Informatika, lengkap dgn kelompok keilmuannya.
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya