Pada akhir bulan Oktober ini, semua buku pindah ke lemari pemberian orang tua, termasuk buku fiqh majelis ta'lim Tanjung Pura Pesantren warisan dari alm Mertua yg diberikan sebelum beliau meninggal. Rak buku ini dibawa oleh Bapak dan kakak ipar dari Subang. Alhamdulillah, keinginan ini terkabulkan pd bulan di mana usia bertambah menjadi 41 tahun.
Di masa bujang, buku-buku itu menempati lemari perpusatakaan pesantren, kemudian mengisi lemari bekas kampus yg saya rekondisi saat menempati mess kampus. Setelah menikah, buku-buku itu mengisi rak buku pertama yg saya beli. Dan setelah buku-buku tsb berdesak-desakan, mereka mendapat tempat baru yg dibuatkan oleh bapak dari kayu pohon di kebun kakak. Ibu mendukung pembuatannya.
Teringat pertama kali meminjam buku perpustakaan setelah diajak oleh teman di masa SD dulu. Saat itu saya tidak rutin mendatangi perpustakaan. Saya suka meminjam buku yg cerita fiksi anak desa, teknik, dan kerajinan. Buku-buku tersebut membentuk kemampuan imajinasi dan menuliskannya dalam bentuk cerita, membuat kerajinan senapan dgn kayu, dan bereksperimen membuat heli dgn dinamo kecil di rumah teman.
Setelah bersekolah di SMA, saya bertekad kuat utk disiplin membaca buku dgn mengunjungi perpustakaan sekolah dan mushala sekolah setiap minggu. Akhirnya membaca dan membeli buku menjadi kebiasaan hingga masa kuliah.
Di masa kuliah, kampus memberi saya beasiswa PPA, sehingga saya bisa membeli buku setiap bulannya. Seiring dgn waktu, buku-bukunya memenuhi satu baris rak di perpustakaan pesantren yg saya tinggali. Perjalanan membaca di usia remaja itu bergerak dari pustaka tasyawuf hingga harokah. Dengannya saya menyelami kedalaman hati dan menjelajahi permukaannya utk meraba hati dan mensejahterakan jiwa (Ratisejiwa): Tenang, Damai, Kuasai Segalanya.
Sewaktu di pesantren, ustadz mengingatkan agar buku tdk sekedar menjadi pajangan. Alhamdulillah, buku itu memberi manfaat, menjadi bahan diskusi di waktu malam di rumah para ustadz. Terkadang dari diskusi itu saya memperoleh informasi buku yg kemudian saya cari keberadaannya di toko Kamus. Bila sedang membaca karya ulama tertentu, hati ini sangat terdorong utk membeli karya tulisnya yg ada di etalase toko atau di mana saja saya melihatnya. Oleh krn nya, teman di Subang yg sering menjadi kawan diskusi berkata, bhw fikiran dan perkataan saya dipengaruhi oleh penulis yg buku2nya sedang saya konsumsi.
Saya sangat senang menyimak teman Senat Mahasiswa di kampus yg apabila berdiskusi selalu menyampaikan judul buku dan pengarangnya. Hal demikian memerlukan rasa suka yg mendalam kpd bukunya. Rasa suka itulah yg membuat kita hafal apa yg disampaikan oleh siapa di dalam buku yg mana pada bagian apa.
Sekitar 3/4 lemari buku itu merupakan buku keagamaan, dan selebihnya adalah buku informatika. Hal tsb menggambarkan 3/4 masa kuliah sarjana saya dihabiskan tdk dgn menekuni informatika. Sampai detik ini saya melihat buku keagamaan itu manfaatnya tdk lekang dimakan waktu. Buku yg dibaca di masa remaja pun masih menarik utk dibaca kembali setelah dewasa. Berbeda dgn sebagian buku komputer yg terkadang tdk lagi bermanfaat krn platform teknologi nya sdh tdk digunakan lagi.
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya