Satu saat ada pesan masuk dari alumni yang pernah menjadi bimbingan saya. Ia meminta maaf atas perasaan jengkel dan kesal karena merasa dipersulit dalam pengerjaan skripsi. Ia merasa perasaan tsb berefek buruk pada hidupnya. Ia meminta maaf atas sikap tsb yg disadarinya keliru, dan memohon agar saya berlapang hati memberinya maaf. Ia melakukannya krn merasa diri sebagai murid yg telah memperoleh pengetahuan.
Kepadanya saya sampaikan jawaban. Semoga juga menjawab mahasiswa lainnya yg pernah merasa dipersulit:
Sampai saat ini saya hanya mengingat satu orang bimbingan yg pernah membuat saya kecewa, sehingga saya menolak kiriman makanan darinya yg saya sukai. Saya melakukannya sebagai cara utk memahamkan dirinya bahwa perhatian mentor itu sangat penting utk diindahkan, lebih berharga dari sebanyak apapun keduniaan yg mampu diberikannya.
Sebelumnya ia adalah salah satu mahasiswa yg saya bangun kemampuannya melalui kegiatan relawan. Saat menjadi bimbingan Kerja Praktek, saya ingin ia mampu mengeluarkan potensinya, sehingga ia tdk hanya mewarisi kemampuan terkait tugas relawan, tetapi juga dalam akademik.
Saya merasa kecewa saat tantangan utk memperbaiki draft laporan dijawabnya dgn "sudah malas". Sedekat apapun hubungan personal, tetapi dalam konteks pembelajaran, kalimat seperti itu seharusnya tdk boleh digunakan sebagai jawaban atas tantangan yg diberikan. Saya sampaikan kekecewaan kpd dirinya dan mengatakan bahwa tantangan itu diberikan semata agar ia memiliki luaran kegiatan yang sangat bagus.
Semakin saya memperhatikan bimbingan, semakin banyak dan detail tantangan yg diberikan. Apabila sudah hilang harapan perubahan pada bimbingan, saya akan berlaku sebaliknya. Semua itu dilakukan utk memunculkan kemampuan yg bermanfaat bagi kehidupan di masa depan, bukan utk permainan emosi yg tdk bermanfaat.
Walau saya mengingatnya sampai sekarang, tetapi saya dari dulu sama sekali tdk membencinya. Saya bukan pendidik yg cenderung menikmati persoalan pribadi, fokus saya adalah membangun potensi yg sedapat mungkin tanpa paksaan. Bila bimbingan menunjukan gelagat menyerah dgn pekerjaannya atau tantangan yg diberikan, saya tdk pernah memarahinya, hanya mengingatkan bahwa semua yg telah diberikan kepadanya, baik mudah atau sulit, semata utk memenuhi kebutuhan pengujian dan memunculkan kemampuan hidup di masa depan.
Sebagai pendidik, tugas saya membukakan potensi mahasiswa. Kesan mempersulit itu hanya bahasa mahasiswa yg tdk faham maksud baik tersebut. Saya tdk pernah memperhatikan adanya kesan semacam itu pd mahasiswa, sebab niat saya tdk demikian. Hubungan saya dengan mahasiswa bukan seperti penyedia jasa dengan pelanggannya, di mana seluruh layanan yg diberikan harus menyenangkan dan mudah sesuai keinginan pelanggan. Saya harus membuat mahasiswa bisa memahami bahwa perhatian ini bukan pada apa yg disukainya saja, tetapi juga apa yg dibutuhkannya. Dan utk kebutuhan itu, terkadang terasa berat dan pahit, atau ringan dan manis, tergantung seberapa terbuka potensi atau kemampuan yg diperlukan utk memenuhi kebutuhan tsb.
Siapapun yg pernah saya bimbing tidak perlu meminta maaf apabila pernah memiliki perasaan atau prasangka buruk. Bagi saya, apa yg muncul pd diri mahasiswa adalah milik mahasiswa yg akan dipetik oleh mahasiswa sendiri manfat atau mafsadatnya. Saya berusaha utk memungut manfaat sedekah ilmu dan mengabaikan keburukan yg tdk ada manfaatnya tsb. Saya memaklumi adanya keburukan tsb karena faham bahwa setiap orang memiliki waktunya sendiri utk memahami atau meyadari sesuatu.
Memang tdk ada ruginya meminta maaf, tetapi yg terpenting adalah memperbaiki diri. Segala kekurangan yg telah saya tunjukan namun diabaikan karena perasaan dan prasangka buruk tsb harus diselesaikan. Mungkin masalah hidup itu selalu datang karena kekurangan itu atau semacam itu selalu dihindari dan menggantinya dgn menyalahkan siapapun yg mendatangkan masalahnya. Padahal bila sanggup menyelesaikan masalahnya, tdk ada manfaatnya menyalahkan siapapun yg mendatangkan manfaat tsb.
Hal itu mudah difahami bila membayangkan kembali di masa lalu, di mana saya sebagai pembimbing dianggap memberi beban masalah yg mengesalkan. Padahal beban itu diberikan utk membangun potensi. Tuhan tentunya lebih baik lagi. Dia menguji hamba Nya karena ingin kekhalifahannya atau keutamaannya menjadi terlihat.
Oleh karenanya, mulailah berusaha utk melihat segala kekurangan diri, dan perbaiki. Sikapi semua ujian secara positif, dan percayalah bahwa kesuksesan itu akan datang seiring dgn usaha tsb. Allah tdk merubah nasib kita kalau kita tdk berusaha. Lengkapi usaha itu dengan doa, terutama doa orang tua yg membukakan pintu rejeki. Dan genapkan dgn tawakal.
Sukses selalu.
0 comments :
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya